close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi keluarga./Foto towbar/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi keluarga./Foto towbar/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Hubungan dan Percintaan
Kamis, 19 Desember 2024 06:12

Parenting snowplow: Pola asuh yang membunuh kedewasaan anak

Over parenting berakibat buruk pada perkembangan anak, terutama saat dewasa.
swipe

Polisi sudah menetapkan Fadillah alias Datuk sebagai tersangka penganiayaan terhadap seorang dokter koas yang menjadi ketua kelompok program koas dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri) bernama Lutfhi Hadhyan pada Sabtu (14/12). Penganiayaan itu terjadi di sebuah restoran di Kota Palembang, Sumatera Selatan pada Selasa (10/12). Video penganiayaan sempat viral di media sosial.

Sebelum terjadi pemukulan, korban menjadwalkan rekannya yang juga koas bernisial LAP untuk berjaga di rumah sakit pada malam tahun baru. Dia tidak terima. Lantas mengadu kepada ibunya berinisial SM.

SM kemudian mengajak Luthfi dan dua koas lainnya bertemu di sebuah restoran untuk membahas jadwal jaga. Dia bersama sopirnya, yakni Fadillah alias Datuk. Setelah cekcok mulut, akhirnya terjadilah pemukulan oleh Fadillah terhadap Luthfi. Polisi menjelaskan, motif pemukulan tersebut didasarkan pada kekesalan pelaku karena nada bicara korban dinilai korang sopan terhadap SM.

Terlepas pemukulan itu, warganet menyoroti keterlibatan SM yang terlalu jauh terhadap anaknya, LAP, perkara jadwal jaga. Sikap itu mendekati ciri-ciri parenting snowplow atau pengasuhan gaya pendorong salju.

Parenting snowplow disebut juga lawnmower parenting (pengasuhan pemotong rumput) atau bulldozer parenting (pengasuhan buldoser). Menurut psikolog klinis dan Direktur Newport Healthcare Center for Research and Innovation, Michael Roeske, dikutip dari Verywell Mind, parenting snowplow berusaha menghilangkan semua rintangan dari kehidupan anak agar mereka tidak mengalami kesedihan, rasa sakit, kegagalan, atau ketidaknyamanan.

Mengutip Parents, istilah ini dipopulerkan artikel “Operation Varsity Blues” dalam The New York Times, yang merujuk pada skandal penerimaan mahasiswa baru pada 2019.

Parenting snowplow adalah salah satu bentuk pengasuhan berlebihan, saat orang tua menjadi terlalu protektif terhadap anak-anak mereka dan sangat fokus pada kehidupan anak. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang tua yang terlalu banyak campur tangan dalam kehidupan anak-anak mereka, dengan menghilangkan hambatan dan tantangan supaya anak-anak bisa mencapai kebahagiaan dan kesuksesan.

Serupa bentuk over parenting lainnya, parenting snowplow berawal dari perasaan cinta dan kepedulian terhadap kesejahteraan anak. Selain itu, Verywell Mind menyebut beberapa alasan orang tua terjebak dalam pola asuh snowplow, antara lain terlalu protektif, ancaman yang dipersepsikan lewat berita dan informasi media sosial, pengalaman pribadi, masalah kecemasan, pengaruh budaya, serta kompetisi sosial.

Psikoterapis anak dan remaja Tarja Witte-Heimbockel, dikutip dari Business Insider yang menerjemahkan artikel Bild menyebut, sering kali masalah pengasuhan anak bermula dari masa kecil orang tua. Keinginan untuk mendapatkan lebih banyak perhatian atau dukungan dari orang tua mereka, kini tercermin pada anak sendiri.

Menurut penulis How to Stop Losing Your Sh*t with Your Kids, Carla Naumburg, dalam Parents, generasi orang tua kini mengasuh anak di era yang penuh kecemasan. Sebab, ada siklus berita 24 jam dan media sosial.

“Yang mengingatkan kita tentang segala hal buruk yang terjadi di dunia,” kata Naumburg.

Penulis The Gift of Failure: How the Best Parents Learn to Let Go So Their Children Can Succeed, Jessica Lahey, juga dikutip dari Parents, mengakui media menciptakan jenis pola asuh snowplow. “Media membuat kita percaya bahwa anak-anak kita selalu dalam bahaya, dengan bahaya yang mengancam dari segala arah,” ujar Lahey.

Kemajuan teknologi, semisal telepon pintar, ikut pula melanggengkan pola asuh snowplow. Menurut penulis Raising an Organized Child, Damon Korb, sekarang orang tua dengan mudah bisa mengirimkan keluhan lewat surat elektronik kepada guru anak mereka.

Meski terlihat positif bagi anak, tetapi melindungi anak dari setiap tantangan dan kegagalan justru bisa menghambat perkembangan pribadi mereka, serta kemampuan untuk menangani kesulitan hidup secara mandiri.

Psikolog dari University of the Sunshine Coast, Rachael Sharman, dalam tulisannya di The Conversation menyebut, pola asuh snowplow pada akhirnya menghasilkan anak yang rapuh secara psikologis, takut, dan menghindari kegagalan.

“Konsekuensi negatif jangka panjang dari obsesi melindungi anak-anak dalam menghadapi kesulitan memastikan mereka tidak akan belajar memecahkan masalah, tidak akan belajar bangkit kembali dari kegagalan, dan tidak akan belajar menyesuaikan pendekatan mereka,” tulis Sharman.

“Singkatnya, mereka tidak akan mempelajari keterampilan yang mereka butuhkan untuk menavigasi jalan menuju masa depan yang sukses.”

Di samping itu, Roeske dalam Verywell Mind menyebut, dampak dari pola asuh ini, di antaranya anak jadi bergantung pada dukungan orang lain, tidak bisa mengatur emosi, kecemasan, dan menimbulkan rasa berhak.

Roeske mengingatkan pula, parenting snowplow dapat berlanjut hingga anak beranjak dewasa. Misalnya, orang tua mengingatkan anaknya yang sudah dewasa memastikan mereka banguntepat waktu atau terus memberikan dukungan keuangan.

Terlepas dari itu, Witte-Heimbockel menjelaskan, jika anak-anak tidak belajar cara menghadapi situasi yang sulit atau mengalami kegagalan, mereka tidak akan pernah belajar mengatasi stres atau mencoba strategi alternatif secara mandiri.

“Anak-anak perlu belajar bahwa mereka bisa kalah, menunggu sesuatu, dan bertahan dalam situasi yang tidak selalu berjalan mulus. Jika tidak, mereka tidak akan memiliki stabilitas psikologis dan persiapan yang diperlukan untuk kehidupan,” ujar Witte-Heimbockel.

 

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan