Patah hati bisa membuat mati?
Tak jarang kita mendengar, ada orang yang melakukan tindak bunuh diri karena alasan patah hati. Patah hati memang menimbulkan perasaan emosional yang sesak. Konselor dan profesor di Northern Illinois University, Suzanne Degges-White dalam Psychology Today mengatakan, ketika kita mengalami tekanan psikologis, hal ini memicu bagian otak yang sama dengan respons bahaya fisik.
Dengan kata lain, tekanan emosional dapat dirasakan secara fisik dan patah hati menyebabkan rasa sakit fisik. Misalnya, pada orang tertentu, bisa saja menimbulkan gangguan pencernaan.
Dalam dunia medis, dikenal sindrom patah hati atau kardiomiopati takotsubo atau kardiomiopati stres. Istilah takotsubo berarti perangkap gurita. Bentuknya mirip dengan penampakan balon apikalsistolik pada ventrikel atau bilik jantung kiri. Menurut penulis Thomas R. Verny, dikutip dari Psychology Today, kardiomiopati takotsubo diterangkan pertama kali pada 1990 di Jepang.
“Kondisi ini biasanya disebabkan stres emosional atau fisik yang parah, seperti penyakit yang tiba-tiba, kehilangan orang yang dicintai, kecelakaan serius, atau bencana alam,” kata Verny.
Pemicu fisik yang sering dikaitkan dengan sindrom patah hati, menurut Verywell Health, antara lain trauma pembedahan, serangan asma, penyakit mikrovaskuler yang memengaruhi kesehatan pembuluh darah, diabetes, depresi, penggunaan narkoba, perubahan hormonal, serta kelainan genetik.
Riset yang diterbitkan di StatPearls Publishing (Januari, 2024) menyebut, sindrom patah hati terjadi pada 1% hingga 2% pasien yang diduga menderita sindrom koroner akut. Ada kecenderungan kuat kardiomiopati takotsubo menyerang perempuan pascamenopause.
Mayo Clinic menyebut, kebanyakan orang yang mengalami sindrom patah hati berusia di atas 50 tahun. Namun, sebut Degges-White, perempuan punya tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Alasannya, laki-laki cenderung mengalami lebih banyak komplikasi atau masalah mendasar yang kritis.
“Hal ini juga menunjukkan laki-laki cenderung tidak mencari pengobatan, jika mengalami gejala,” tulis Degges-White.
Menurut Verny, gejala sindrom patah hati menyerupai serangan jantung, seperti nyeri dada yang parah, keringat dingin, sakit kepala ringan, kelelahan yang sering, dan sesak napas. Namun, sindrom patah hati berbeda dengan serangan jantung. Dilansir dari Mayo Clinic, serangan jantung disebabkan penyumbatan total atau hampir total pada arteri jantung. Sedangkan dalam sindrom patah hati, arteri jantung tak tersumbat, tetapi aliran darah di arteri jantung mungkin berkurang.
Verywell Health menjelaskan, sindrom patah hati disebabkan karena hormon stres yang disebut katekolamin menumpuk hingga mencapai tingkat racun dalam tubuh. Hormon-hormon ini menyebabkan stres oksidatif, perubahan kadar kalsium, serta aliran darah yang dapat menyebabkan gejala seperti nyeri dada dan sesak napas.
“Stres mengubah cara kerja jantung, sehingga menimbulkan rasa sakit. Sindrom patah hati tidak disebabkan oleh penyumbatan,” tulis Verywell Health.
Walau demikian, Verny tak yakin pelepasan hormon stres adalah penyebab utama sindrom patah hati. Dalam tulisannya di Psychology Today, ia justru menekankan terhubungnya poros otak dan jantung yang menyebabkan timbulnya risiko penyakit itu.
Verny menjabarkan sejumlah penelitian untuk mendukung argumentasinya. Menurut dia, peneliti di Jepang pernah mengukur aliran darah otak pada pasien kardiomiopati takotsubo fase akut dan kronis. Pada semua pasien, aliran darah otak meningkat secara signifikan di hipokampus, batang otak, dan ganglia basalis, lalu menurun secara signifikan di korteks prefrontal pada fase akut.
“Perubahan ini mereda dengan pemulihan penuh,” kata Verny.
Penelitian J. A. Armor dari Montreal Sacred Heart Hospital, ujar Verny, menemukan jantung manusia menandung sistem saraf intrinsik yang menunjukkan fungsi memori jangka pendek dan panjang. Sistem saraf intrinsik jantung ini terdiri dari sekitar 40.000 neuron yang disebut neurit sensorik, yang meneruskan informasi ke otak.
Temuan itu, sebut Verny, didukung riset lainnya dari Buenos Aires, Argentina dan Texas, yang menyebut perubahan yang disebabkan ritme aktivasi jantung bertahan lama usai pemicu yang menyebabkan perubahan tersebut dihilangkan. Respons terhadap stimulus yang sama di kemudian hari, jauh lebih besar dibandingkan respons sebelumnya.
“Para ilmuwan menyimpulkan, jantung seperti sistem saraf, memiliki sifat memori dan adaptasi,” tulis Verny.
“Penelitian-penelitian ini membuktikan adanya hubungan erat antara jantung dan otak, keduanya mengandung sejumlah besar kenangan dan emosi yang bekerja sebagai sistem umpan balik, saling melengkapi dan membentuk bagian terbaik dari pikiran kita.”
Terlepas dari itu, jarang sekali sindrom patah hati menyebabkan kematian. Verywell Health menulis, hanya 9% kasus sindrom patah hati menyebabkan kematian. Akan tetapi sebagian besar hanya bersifat sementara. Sekitar 90% orang yang mengalami sindrom patah hati pulih dalam empat hingga delapan minggu. Kambuh bisa terjadi, tetapi biasanya menyasar pada orang yang sudah mengalami komplikasi pada awal penyakitnya atau yang punya kondisi medis kompleks.
Pengobatan sindrom patah hati dilakukan dengan obat-obatan untuk meningkatkan fungsi jantung kiri, meningkatkan aliran darah, mengendurkan otot jantung, menurunkan tekanan darah, mencegah pembekuan darah, mengontrol tekanan darah, mengatasi penyumbatan, meningkatkan sensitivitas jantung, serta mengurangi beban kerja pada jantung. Terpenting, karena sindrom patah hati terkait erat dengan emosi dan psikis, maka langkah-langkah untuk mengelola stres bisa membantu mencegah penyakit ini.
Di samping itu, menurut Verny, penting pula menjaga hati dan memandangnya sebagai pusat hubungan emosional seseorang dengan diri sendiri dan orang lain. Sebab, hati merupakan kompas yang memandu seseorang menjalani kehidupan, membentuk lanskap batin, dan menuntun menuju transformasi spiritual.
“Upaya kecil sehari-hari untuk menghadapi kenyataan perasaan yang terkadang sulit, mungkin membuat kita lebih mudah menerima perubahan besar ketika sesuatu terjadi,” kata Verny.