close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi musisi indie. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi musisi indie. Alinea.id/Dwi Setiawan
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 13 Oktober 2020 12:26

Pedih pandemi bagi musisi indie

Segala cara dilakukan oleh musisi yang terimbas pandemi untuk menyambung hidup.
swipe

Setelah 10 tahun berkarier di jalur musik independen, band Aestees akhirnya punya kesempatan untuk menggelar tur di berbagai kota. Beragam kerja sama untuk manggung sudah disepakati. Rencana perjalanan pun telah disusun. 

Akan tetapi, wabah pandemi Covid-19 sekonyong-konyong melanda Indonesia. Di Jakarta dan beberapa kota lainnya, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan. Kegiatan-kegiatan yang potensial mengumpulkan massa turut dilarang pemerintah, termasuk di antaranya konser musik. 

"Andai saja tidak ada pandemi, mungkin kami sudah tur keliling kota-kota untuk pertama kalinya. Rencananya kami bakal ke Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali," kata vokalis Aestees, Ainu Ropiq saat berbincang dengan Alinea.id di kawasan Kalideres, Jakarta Barat, belum lama ini. 

Aestees ialah grup musik beraliran death metal asal Ibu Kota. Selain Ropiq atau yang akrab disapa Opiq, band itu digawangi Bebby Fisher, Rizal Arifin, Pagan Zulfikar, dan Hanjar Purwohadi. Pada Oktober 2020, Aestees bakal genap berusia satu dekade. 

"Rencananya kami juga ingin berkerja sama dengan beberapa label di luar Jawa, seperti di Makassar dan Sumatera. Tahun kemarin kami baru rilis album," ujar Opiq mengungkap sejumlah rencana perayaan hari jadi Aestees yang turut batal karena pandemi. 

Opiq mengatakan, pandemi tak hanya merenggut mimpi mereka untuk tur. Karena tak ada jadwal manggung, ia dan rekan-rekannya hampir tak punya pendapatan sama sekali. Apalagi, penjualan album dan pernak-pernik turut sepi selama pandemi. 

"Band indie kayak kami memang sangat bergantung dari jadwal. Tahun 2019, kita hampir tiap bulan ada (jadwal manggung). Tapi, pas pandemi kosong total. Untuk ngandelin penjualan rilisan juga sulit karena orang enggak butuh CD untuk saat ini," tutur Opiq. 

Sesekali, Aestees manggung via live streaming di akun media sosial komunitas musik. Namun, sebagaimana dituturkan Bebby sang gitaris, aksi pangggung daring itu dilakukan hanya demi mempertahankan eksistensi Aestees. Terlebih, live streaming tergolong ribet dan tak murah. 

"Karena kita butuh nyewa studio. Belum lagi nyewa kamera, videografer, editing, dan sewa lampu segala macam. Banyak orang yang terlibat. Biayanya cukup besar, sementara kami pemasukan benar-benar enggak ada," ujar Bebby. 

Demi menyambung hidup selama pandemi, Bebby mengatakan, para personel Aestees banting setir ke beragam pekerjaan lain. Aktivitas bermusik pun tak lagi rutin dijalankan. "Ada yang fokus kerja, ada yang bisnis tanaman obat, ada yang nyari kerja freelance," ungkap Bebby.

Di Semarang, Jawa Tengah, nasib serupa juga dialami grup musik Rumah Pancasila. Sejak pandemi diumumkan pemerintah, semua jadwal manggung  di hotel-hotel dan kafe "langganan" Rumah Pancasila di kota itu dibatalkan. 

"Padahal, itu merupakan tumpuan bagi kami yang berkarier sebagai band indie. Saya dan teman-teman band makan dari musik. Ya, efeknya memang sumber pendapatan kami batal semua," kata vokalis Rumah Pancasila, Jefri Parera kepada Alinea.id

Selain Jefri, Rumah Pancasila beranggotakan Yuli Bohemian (gitar akustik/vokal), Eka Setiawan (gitar elektrik), Adit Bireng (drum/vokal), Wahyu Paimo (bass), dan Micky (keyboard). 

Selama pandemi, sumber pendapatan satu-satunya Rumah Pancasila datang dari proyek album kompilasi yang diinisiasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang. Mengambil tema "Kita Masih Ada", proyek itu digarap 28-30 band. 

"Jadi, walaupun kita tidak bisa mencari pekerjaan seperti sebelum pandemi, tapi temen-temen masih mampu berkarya dan bisa menghasilkan album kompilasi itu. Yang menyumbangkan lagunya kemarin itu dapat dana dari album kompilasi itu. Ya, itu cukup membantu," Jefri.

Bantuan dari Pemkot Semarang juga sempat datang dalam bentuk paket-paket sembako. Namun, paket-paket sembako itu hanya dua kali sampai ke tangan Jefri dan rekan-rekannya, yakni pada Juni dan Juli. "Setelah itu, tidak ada lagi sampai sekarang," terang Jefri.

Sebagaimana para personel Aestees, para penggawa Rumah Pancasila pun harus bekerja serabutan untuk mencari tambahan pendapatan. "Yang penting dapet duit. Saya, misalnya, bantu istri jualan donat untuk mencari pendapatan lain. Lalu, pemain keyboard kami itu jadi sopir pas siang. Apa pun kami lakukan," ujar Jefri.

Penampilan Aestees band saat menjadi pembuka konser Sabbat dan Metalucifer di Jakarta pada 2019. Foto Instagram @aestees

Berdagang buku, bikin koperasi 

Seolah tak pandang bulu, band mapan di skena indie seperti Efek Rumah Kaca (ERK) pun turut terpukul selama pandemi. Kepada Alinea.id, Cholil Mahmud mengatakan, ia dan rekan-rekannya kehilangan mata pencaharian utama karena deretan jadwal manggung yang batal. 

"Dari bulan Maret itu sudah ada sekitar 20 event yang masuk sampai bulan Agustus atau September. Tapi, itu semua di-cancel dan di-pending. Pendapatan jelas menurun jauh," ujar Cholil saat dihubungi, Senin (4/10).

ERK digawangi Cholil, Akbar Bagus Sudibyo (drum), dan Poppie Airil (bass). Band bergenre pop rock itu sudah merilis tiga album, yakni Efek Rumah Kaca (2007), Kamar Gelap (2008), dan Sinestesia (2015). Pada awal 2020, ERK juga merilis EP bertajuk Jalan Enam Tiga. 

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menurut Cholil, ia dan rekan-rekannya bergantung pada duit tabungan. Sedangkan untuk gaji kru dan manajemen, Cholil mengandalkan kinerja kafe kopi dan buku Kios Ojo Keos, unit usaha ERK di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. 

Meski penjualan sedang tidak optimal lantaran kafe harus tutup selama pandemi, Cholil mengatakan, pernak-pernik ERK dan produk Kios Ojo Keos masih lumayan laku di market place. "Kios Ojo Kios harus terus bisa jalan dan pegawai-pegawai bisa digaji," imbuhnya. 

Tak lagi sekadar sebagai kurator, Cholil pun kini merangkap sebagai pedagang buku di Kios Ojo Keos. Penggawa ERK lain pun ikut terlibat menggenjot pendapatan. 

"Yang lain kayak Poppie itu biasanya desain. Dia bikin flyer. Kalau Akbar (drummer), itu biasanya edit video. Jadi, kami beralih fungsi mengerjakan hal-hal lain," jelas Cholil. 

Selama pandemi Covid-19, aktivitas bermusik tetap dijalankan ERK. Beberapa kali, Cholil dan rekan-rekannya bikin live Instagram atas permintaan para fans. 

"Nanti videonya diedit terus dimasukkin ke YouTube. Selama enam bulan pandemi ini, ada orang pengin minta main, ya, terus kita rekam videonya. Lebih kompleks dibanding main secara live. Kalau kita rekaman, lebih susah," ujarnya

Tak sekadar meratapi nasib, Cholil mengatakan, ia dan rekan-rekannya juga berstrategi untuk saling membantu dalam kondisi sulit. Salah satunya ialah dengan membentuk Koperasi Ojo Keos Simpan Pinjam alias Koperasi Oke Sip. 

Koperasi itu, lanjut Cholil, didirikan guna memberikan bantuan finansial bagi kru atau manajemen ERK yang butuh dana mendesak. "Paling tidak kami punya tempat pinjaman uang untuk sementara waktu, baik itu untuk keperluan mendesak atau butuh modal untuk memperluas usaha," ujar Cholil.

Menurut Cholil, sejauh ini belum ada bantuan dari pemerintah yang mengalir ke ERK. Bantuan hanya pernah datang dari M Bloc Space. "Kami pernah kerja sama dengan mereka. Mereka sempat galang dana untuk pekerja panggung. Nah, kami dapat," ujarnya.

Sepengetahuah Cholil, kondisi serupa dialami hampir semua musikus indie selama pandemi. Sejumlah musikus dan kru bahkan harus merelakan alat-alat musik mereka dijual supaya dapur keluarga mereka bisa tetap ngebul

"Apalagi kru. Kalau musisi mungkin karena dibayar paling gede, mereka masih punya tabungan. Tapi, kru mungkin sudah tidak punya (tabungan) lagi," kata Cholil. 

Musikus indie asal Bali, Sandrayti Fay. Foto Instagram @sandrayatifay

Membenahi ekosistem musik era digital

Direktur Industri Kreatif Musik, Seni Pertunjukan dan Penerbitan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Mohammad Amin mengakui belum semua musisi tersentuh insentif pemerintah selama pandemi.

Ia mencontohkan stimulus lewat konser virtual bertajuk "Ngamen Dari Rumah" yang hanya menyasar 200 pemusik jalanan. Padahal, menurut catatannya, perekonomian sebanyak 95% musikus terkena dampak pandemi Covid-19.

"Kami akan melebarkan lagi bantuan pemerintah dengan melibatkan musisi wedding, musisi kafe, musisi orkestra, dan musisi indie band. Jadi, tidak hanya pengamen jalanan," ujar Amin kepada Alinea.id, Selasa (6/10).

Rencananya, Kemenparekraf bakal menggelar konser virtual "Ngamen Dari Rumah" jilid II pada Februari atau Maret 2021. Modelnya seperti konser virtual "7 Ruang" yang digagas pemilik DSS Recording Studio, Donny Hardono. Untuk ikut serta, musikus wajib membawakan lagu karya sendiri.

"Nanti ada penjurian, ada kurasi. Yang terseleksi akan diberi penghargaan, baik insentif keuangan atau penghargaan lain. Ngamen dari rumah itu sekaligus untuk memberi pesan bahwa berkarya itu bisa dari rumah. Karena itu, bisnis digital itu menjadi penting," jelas Amin.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Dijelaskan Amin, saat ini pemerintah tengah berupaya membangun ekosistem musik era digital supaya kaum musisi mendapatkan royalti dari setiap karya yang dipakai orang lain untuk kepentingan bisnis. Yang terdekat, Kemenparekraf bakal meluncurkan aplikasi Portamento atau big data yang berisi lagu-lagu yang diunggah para musisi. 

Platform itu, kata Amin, bisa melacak dan memvalidasi karya musisi yang mestinya mendapatkan royalti lantaran banyak dieksploitasi. "Ketika orang mendapatkan lagu itu, langsung terkonfirmasi sehingga performing rights itu terjaga. Jadi, ini bisa memudahkan pembayaran performing rights," kata dia. 

Berbarengan dengan itu, Amin mengungkapkan, pemerintah juga tengah menyusun peraturan menteri untuk mengatur performing rights. Sasarannya adalah perusahaan karaoke, hotel, dan event organizer (EO) yang kerap abai membayar performing rights untuk kaum musisi.  

"Upaya ini untuk memberikan insentif dan stimulus kepada para musisi. Ini pun untuk menjawab persoalan mengenai keterpurukan yang dialami para musisi akibat pandemi Covid-19," kata dia. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan