Pelajaran dari konser dan festival musik yang gagal
Baru setengah jalan, konser band rock asal Inggris Bring Me The Horizon (BMTH) di Ancol Beach City International Stadium, Jakarta Utara pada Jumat (10/11) dihentikan mendadak. Personel BMTH tiba-tiba kembali ke belakang panggung, usai membawakan lagu “Darkside”. Penonton sempat menunggu nyaris setengah jam dalam area konser indoor yang sesak.
Tak lama, promotor Ravel Entertainment muncul ke panggung. Ia menjelaskan, ada masalah di panggung dan terpaksa menghentikan konser. Hal itu membuat penonton marah dan memicu keributan di area konser. Seharusnya, BMTH manggung dua kali, pada Jumat (10/11) dan Sabtu (11/11). Konser hari kedua pun ditiadakan.
Melalui Instagram Story @bringmethehorizon pada Sabtu (11/11), vokalis BMTH Oliver Sykes, menjelaskan penyebab konser dihentikan. Katanya, personel meninggalkan panggung karena ada kekhawatiran dari kru soal keadaan tempat dan panggung konser.
Menurut Sykes, panggung secara struktur tak aman karena menimbulkan getaran, sehingga monitor video dan speaker goyang-goyang. Ia khawatir, masalah itu bisa menimbulkan jatuhnya korban.
Kekecewaan dan bagaimana seharusnya
Salah seorang fan BMTH, Andreansyah Dwi Julianto sangat kecewa terhadap kejadian itu. Soalnya, seingat dia, BMTH terakhir konser di Indonesia 12 tahun yang lalu. Ia mengatakan, pemberitahuan konser pun sudah dilakukan jauh-jauh hari.
“Kecewa beratnya karena di hari pertama (tiket) sold out,” ujar Andreansyah kepada Alinea.id, Senin (13/11).
Andreansyah gagal menonton BMTH di konser hari pertama. Namun, ia berhasil mendapatkan tiket di konser hari kedua. Sebagai penggemar, ia tentu kecewa lantaran konser hari kedua ditiadakan, insiden di hari pertama.
Walau tak hadir di konser hari pertama BMTH, ia berpendapat, promotor bertanggung jawab menyiapkan apa pun untuk kelancaran konser. “Jadi, ketika ada kelalaian, yang aku lihat di sini, dari promotor itu (harusnya melihat) dari set (konsernya) yang enggak proper kan,” kata dia.
Promotor, kata Andreansyah, seharusnya sudah berpikir matang-matang soal panggung karena sudah mengetahui konser BMTH di Jepang dan Inggris. “Cuma aku salut sama promotornya, ada refund (pengembalian dana pembelian tiket),” ujarnya.
Menurut Andreansyah, pengembalian uang tiket di konser hari pertama dilakukan secara proporsional. Sedangkan konser hari kedua, uang dikembalikan sepenuhnya. “Jadi, sudah ada statement itu dari promotor, cuma untuk mekanisme refund-nya kita belum ada info lagi nih,” tuturnya.
“Yang aku takutkan sih kalau skema refund-nya terlalu ribet atau lama, atau (nilai) refund-nya di luar ekspektasi.”
Selain keadaan tempat dan panggung yang kurang baik, Andreansyah mengkritik beberapa kelemahan konser itu. Pertama, tak ada aturan soal larangan penonton membawa rokok atau vape. Kedua, ventilasi udara di ruangan konser kurang. Lalu, ada penonton yang menerobos antrean ketika akan masuk ke tempat konser.
“Mungkin dari segi keamanan juga ini patut dipertanyakan, sih,” tutur dia. “Kalau dinilai secara keseluruhannya, menurutku, kita kecewa, sih.”
Andreansyah menambahkan, seharusnya promotor tahu apa yang harus dilakukan saat konser dan setelah konser selesai. “Aku takutnya si BMTH enggak bakal konser di sini lagi,” ujarnya.
Menurut peneliti musik dan etnomusikolog dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Aris Setyawan, promotor BMTH, yakni Ravel Entertainment sesungguhnya punya kapabilitas dan reputasi yang bagus.
“Namun, sangat disayangkan kenapa bisa kecolongan dan melakukan kesalahan teknis dengan memilih venue Beach City International Stadium, yang secara keamanan sangat riskan karena tidak memiliki pintu keluar darurat,” kata Aris, Selasa (14/11).
Selain itu, promotor juga melakukan kesalahan fatal lantaran menyediakan panggung yang tak sesuai standar dan tak stabil. Dengan situasi demikian, Aris menganggap wajar kalau pihak BMTH memutuskan menghentikan pertunjukan atas dasar kekhawatiran terhadap keselamatan personel band dan penonton.
Aris juga menyorot cara berkomunikasi pihak Ravel Entertainment, yang menurutnya harus diperbaiki. “Karena dari video yang tersebar, tampak Ravel Junardy, pemilik promotor ini, bukannya menenangkan penonton, malah seolah menyuruh penonton untuk segera keluar dari venue dengan chill (santai),” kata dia.
“Wajar jika penonton marah dan kemudian merusuh.”
Meski begitu, ia mengapresiasi promotor karena itikad baiknya melakukan pengembalian dana tiket konser kepada penonton. “Artinya, Ravel bertanggung jawab atas apa yang mereka buat,” tutur dia.
Selain konser BMTH yang dihentikan, sebelumnya festival musik Greenlane Festival dibatalkan. Greenlane Festival, yang semula akan berlangsung di Laswi Heritage, Bandung pada Minggu (5/11) itu gagal terselenggara karena dana yang seharusnya digunakan untuk mengadakan acara itu ditilap seorang oknum panitia.
Awalnya, dana masuk sebesar Rp1,5 miliar dari investor. Namun, ia gunakan dana tersebut buat foya-foya, membayar utang, dan memenuhi kehidupan pribadinya.
Terkait Greenlane Festival, Aris melihatnya sebagai tanda banyak promotor musik pemula yang mengalami “gagap” pasca-pandemi. Festival dan konser musik selama dua tahun sempat dilarang karena pandemi.
“Ujungnya, banyak promotor pemula yang gagap, lalu aji mumpung mencoba membuat festival musik,” ucapnya.
“Padahal, promotor Greenlane (Festival) belum memiliki pengalaman yang cukup, wajar jika festival ini gagal.”
Gagalnya penyelenggaraan Greenlane Festival, kata Aris, bisa menjadi pelajaran berharga untuk promotor pemula. Sebelum membuat festival musik, mereka harus benar-benar siap.
“Karena jika sebuah festival musik batal, yang dirugikan bukan hanya penonton, tapi juga musisi, vendor, tenant, hingga stakeholder lainnya,” ujar dia.
Terlepas dari itu, Aris menjelaskan, agar tak terjadi kasus seperti Greenlane Festival dan konser BMTH, harus ada persiapan yang matang dalam urusan pendanaan. Bagi Aris, promotor harus paham betul perputaran keuangan di konser atau festival tersebut, dengan memperkirakan berapa uang yang tersedia—baik dari sponsor maupun penjualan tiket—dan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membayar musisi, menyewa tempat, membayar vendor, dan sebagainya.
“Kemudian, profesionalitas seluruh awak promotor harus dipastikan,” ujarnya.
“Agar setiap orang bekerja sesuai porsinya, dan bekerja sama dengan baik demi lancarnya konser atau festival.”
Selanjutnya, promotor pun harus meyakinkan benar, dari segi keamanan dan kenyamanan mesti diprioritaskan. Hal ini, lanjut Aris, bisa dilakukan dengan memilih tempat yang sesuai kapasitas penonton, serta punya standar operasional prosedur (SOP) keamanan yang mumpuni.
“Promotor juga harus menyediakan venue dan piranti sesuai spesifikasi yang diminta musisi, agar tidak terjadi insiden seperti di konser BMTH di mana stage yang disediakan ternyata berbahaya karena rawan roboh dan menciderai personel band dan penonton,” tutur dia.
Di sisi lain, sebagai konsumen, penonton punya hak menuntut, jika ada pembatalan sebuah acara musik. Terlebih kalau pembatalan itu terjadi karena kesalahan penyelenggara.
“Setidaknya penonton berhak mendapatkan refund dari tiket yang sudah mereka tebus. Atau kompensasi lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama penyelenggara,” kata Aris.