close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aksi Koalisi Buruh Migran Berdaulat di depan Kedubes Malaysia untuk Indonesia di Jakarta, Kamis (25/11/2021). Dokumentasi KBMB
icon caption
Aksi Koalisi Buruh Migran Berdaulat di depan Kedubes Malaysia untuk Indonesia di Jakarta, Kamis (25/11/2021). Dokumentasi KBMB
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 06 Februari 2025 16:15

Pelik persoalan pekerja migran ilegal di Malaysia

“Penembakan WNI memang kasus ekstrem, tapi isu pelanggaran hak pekerja sehari-hari banyak terjadi, lebih sering dan seperti hal biasa.”
swipe

Fajar Sentoadi, salah seorang pekerja migran Indonesia yang lama bekerja di Malaysia mengaku, kekerasan dan diskriminasi yang dialami pekerja migran di negara tetangga itu masih terjadi. Penyebabnya, masalah bertumpuk yang saling memengaruhi sikap diskriminatif. Salah satunya, banyak pekerja yang datang ke Malaysia secara ilegal.

Kasus kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia berulang kali terjadi. Teranyar, insiden penembakan terhadap lima pekerja migran yang diduga ilegal oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia pada Jumat (24/1). Akibatnya, dua pekerja migran tewas.

Menurut catatan Migrant Care, ada 75 kasus penembakan sepanjang tahun 2005-2025. Hampir semuanya tidak ada penyelesaian yang serius.

“Masalah pekerja tak berdokumen yang berpuluh tahun tak pernah selesai,” ujar Fajar kepada Alinea.id, belum lama ini.

“Penembakan WNI memang kasus ekstrem, tapi isu pelanggaran hak pekerja sehari-hari banyak terjadi, lebih sering dan seperti hal biasa.”

Persoalan ini diperburuk dengan penegakan hukum di Malaysia yang lemah dan tidak memihak pekerja. Dampaknya, banyak majikan atau pihak yang memanfaatkan kelemahan hukum, mengeksploitasi pekerja. Termasuk pekerja asal Malaysia sendiri. Lebih jauh, status pekerja migran ilegal, memicu sentimen anti-migran.

Dia menilai, sentimen anti-migran di Malaysia juga dipengaruhi situasi dan kondisi yang menormalisasi pekerja migran tanpa dokumen resmi. Hal ini tidak ditangani serius oleh penegak hukum di Malaysia maupun Indonesia.

Akibatnya, sesampainya di Malaysia, pekerja migran ilegal asal Indonesai tidak mendapat perlindungan. Terlebih jika mendapat majikan yang doyan melakukan kekerasan.

“Ini menyebabkan maraknya kasus penipuan dan ekploitasi,” kata Fajar.

“Meskipun perangkat perlindungan hukum yang ada tidak sempurna, kalau dilakukan dengan konsisten dan pekerja memahaminya, kasus pelanggaran berkurang, walau tidak hilang sama sekali.”

Di sisi lain, pekerja migran ilegal yang datang ke Malaysia, sering kali sulit memiliki akses layanan perbankan, sehingga tak punya rekening bank lokal. Imbasnya, transaksi gaji tidak tercatt. Membuat gaji pekerja mudah diakali majikan.

“Celakanya lagi, pekerja tidak memandang akses bank itu penting. Ini hanya salah satu contoh kultur dan cara pikir pekerja migran,” tutur Fajar.

“Meskipun pekerja migran tidak bisa disalahkan sepenuhnya dalam hal ini. Mereka menjadi penerima akibat buruk sistem dan praktik majikan serta birokrasi yang tidak tegas dalam hukum.”

Selain itu, pekerja migran di Malaysia tidak terlalu menganggap penting jaminan sosial ketenagakerjaan. Kendati Malaysia juga punya undang-undang terkait itu, sama seperti Indonesia. Akhirnya, saat terjadi kecelakaan kerja atau meninggal dunia, mereka tidak mendapat jaminan sosial. Namun memunculkan kesan penelantaran oleh pihak Malaysia.

Sementara itu, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Faudzan Farhana menilai, persoalan pekerja migran di Malaysia sangat pelik. Sebab, secara tradisional, sudah ada pola migrasi dengan motif ekonomi yang besar. Sedangkan dari sisi pemerintah Indonesia, menurutnya, tidak mampu menahan laju pekerja migran yang ilegal.

“Masyarakat cenderung abai dengan peraturan yang diberlakukan, baik oleh negara asal (Indonesia) maupun negara penerima (Malaysia),” ujar Farhana, belum lama ini.

Oleh karena itu, insiden penembakan yang dilakukan otoritas Malaysia terhadap pekerja migran, kata dia, perlu dipandang dengan cara legal formal dari sisi Indonesia. Meski cara-cara legal formal sulit diberlakukan dalam pendekatan pola migrasi tradisional yang berbenturan dengan batas negara—membuat arus migrasi tradisional dianggap ilegal.

“Kesulitan ekonomi dan biaya migrasi legal yang cenderung mahal dan berbelit-belit, membuat masyarakat terpaksa menggunakan cara lain yang dianggap lebih murah dan lebih cepat,” ucap Farhana.

“Sayangnya, cara-cara ini biasanya dipandang ilegal atau melanggar hukum bagi aparat penegak hukum yang bekerja berdasarkan aturan yang berlaku.”

Lebih lanjut, Farhana menuturkan, pendekatan legal formal tidak akan pernah menghentikan arus migrasi masyarakat karena alasan berpindah bukan mencari keamanan yang bisa diberikan melalui jalur hukum. Akan tetapi mencari penghidupan lebih baik, yang sulit dibendung dengan aturan legal formal batas negara.

“Ini penjelasan mengapa pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan sikap lebih tegas terhadap aksi aparat Malaysia. Satu, karena apa yang dialkukan aparat itu sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah kedaulanan mereka,” tutur Farhana.

“Kedua, posisi tawar pemerintah lebih rendah karena penyebab kegiatan migrasi adalah hingga hari ini pemerintah belum mampu memperbaiki kondisi sosial-ekonomi di wilayah perbatasan.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan