Belakangan ini, beberapa negara di Asia Tenggara mengalami kenaikkan suhu yang sangat ekstrem. Dikutip dari The Telegraph pada akhir April 2024, di Vietnam suhu mencapai 44 derajat celsius, di Laos suhu tertinggi mencapai 43,2 derajat celsius, di Myanmar suhu melampaui 48,2 derajat celsius, di Thailand suhu berkisar 43-52 derajat celsius, dan di Filipina suhu melampaui 40 derajat celsius pada 30 wilayah negara itu.
World Meteorological Organization mencatat, wilayah Asia memang mengalami pemanasan lebih cepat dibandingkan rata-rata global—nyaris dua kali lipat sejak periode 1961-1990.
Indonesia pun merasakan cuaca panas. Dilansir dari Antara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, ada peningkatan suhu di Jayapura sebesar 35,6 derajat celsius, Surabaya 35,4 derajat celsius, Palangka Raya 35,3 derajat celsius, serta Pekanbaru, Melawi, Sabang, dan Jakarta masing-masing 34,4 derajat celsius.
Menurut Deputi Meteorologi BMKG Guswanto, dikutip dari Antara, Kamis (2/5) merujuk pada data rekapitulasi meteorologi BMKG selama 24 jam terakhir, suhu sebagian besar wilayah Indonesia meningkat sebesar lima derajat celsius di atas suhu rata-rata maksimum harian, dan sudah bertahan sekitar lebih dari lima hari.
Menanggapi masalah ini, peneliti ahli utama klimatologi dan perubahan iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus profesor riset bidang iklim dan cuaca ekstrem, Erma Yulihastin menuturkan, peningkatan suhu yang cukup signifikan di negara-negara Asia Tenggara terkait dengan El Nino, yang pemanasannya terjadi pada suhu muka laut dan mengurangi curah hujan di wilayah terdampak.
Berdasarkan hasil kajian timnya di BRIN, suhu panas di Indonesia disebabkan fenomena hot spells. Hot spells adalah temperatur tinggi yang bertahan selama beberapa hari dan frekuensinya akan meningkat di masa depan. Hot spells terjadi saat cuaca di atas 27,5 derajat celsius selama lima hari berturut-turut.
Erma dan timnya menggunakan perhitungan jangka panjang sekitar 30 tahun terakhir dari data satelit untuk membuat kajian hot spells di Indonesia. Kemudian, mencoba memetakan fenomena hot spells dari suhu udara di permukaan.
“Jadi kalau kita bicara suhu itu, ada suhu maksimum, suhu minimum, dan suhu rata-rata. Nah, fenomena yang sekarang mengemuka di Asia, beberapa wilayah merasakan 40 derajat celsius lebih itu merupakan suhu maksimum, bukan suhu rata-rata,” ujar Erma kepada Alinea.id, Jumat (3/5).
Menurut Erma, ada pula suhu aktual (feels like) yang dirasakan oleh kulit. Suhu aktual adalah suhu yang tercatat alat ukur di permukaan, bukan satelit.
“Kalau kita mau melihat suhu real, suhu aktual, baiknya kita meletakkan instrumen pengukur suhu yang terverifikasi dari automatic weather station,” kata dia.
“Jadi bukan data dari hasil model atau data satelit maupun data reanalisis, tapi benar-benar suhu yang terukur dari alat pencatat suhu di stasiun.”
Di Indonesia, kata Irma, hampir tidak mungkin terjadi gelombang panas atau heatwave. Karena syarat heatwave, suhu aktualnya harus di atas 40 derajat celsius dan terjadi minimal tiga hingga lima hari berturut-turut. Lalu, disebut wave atau gelombang karena menjangkau area yang begitu luas.
“Untuk kondisi wilayah di Indonesia yang dua pertiganya adalah lautan, kalau kita bicara variasi suhu, itu tidak setinggi di negara-negara lintang-menengah,” tutur Irma.
“Mengapa? Karena laut itu berfungsi untuk menetralisir atau menyeimbangkan suhu di darat, dengan melepaskan kelembapan yang mencukupi, sehingga ada curah hujan dan sebagainya.”
Kelembapan yang tinggi ini, ujar dia, bisa “menurunkan” suhu yang terlalu ekstrem. Lebih lanjut, ia menjelaskan, hot spells terjadi di kota-kota pesisir dan kota-kota besar, seperti Palembang, Jambi, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Pangkalnya, selain pemanasan global, timbul pula masalah pemanasan lokal di kota-kota tadi.
“Pemanasan lokal itu kaitannya dengan unsur klimatologi perkotaan. Artinya, bagaimana kota-kota itu berubah menjadi wilayah yang semakin emmanaskan kondisi kotanya karena faktor lingkungan yang semakin terdegradasi,” ujar dia.
“Karena faktor urbanisasi, semakin banyak daerah permukiman, maka kota-kota besar itu juga mengalami ancaman dari pemanasan lokal.”
Irma mengatakan, pemerintah sudah berusaha menangani masalah kenaikan suhu di Indonesia, terutama Jakarta, dengan mengoperasikan transportasi publik ramah lingkungan beberapa tahun terakhir. “Masyarakat bisa melakukan mitigasi, seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor (konvensional) dan listrik,” kata Irma.