Pemicu mahasiswa memilih tindakan ekstrem bunuh diri
Seorang mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), JAA, 18 tahun, ditemukan meninggal dunia di halaman sebuah apartemen di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat pada Selasa (19/11) pagi. Diduga, dia melompat dari lantai 27 apartemen itu. Ada dugaan, JAA mengalami tekanan akibat beban akademis yang berat.
Kasus ini menambah deretan tindak bunuh diri yang dilakukan mahasiswa sepanjang 2024. Sebelumnya, pada Jumat (4/10) mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Tarumanagara (Untar), Jakarta, berinisial E, 18 tahun, mengakhiri hidup dengan cara melompat dari lantai empat gedung kampusnya.
Lalu, pada Kamis (3/10), seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) berinisial VIS, ditemukan tewas tergantung di kamar indekosnya di Kelurahan Sekaran, Kecamatan Gunungjati, Semarang, Jawa Tengah.
Kemudian, pada Selasa (1/10) seorang mahasiswa Universitas Kristen Petra, Surabaya berinisial RD, tewas usai melompat dari lantai 12 gedung kampusnya. Pada Rabu (18/9), seorang mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya berinisial SN, 20 tahun, ditemukan tewas usai diduga bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 22 gedung kampusnya.
Tak kalah miris, pada Senin (12/8), seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) berinisial F, ditemukan tewas dengan cara gantung diri di kamar indekosnya di daerah Pogung, Kecamatan Mlati, Sleman, Yogyakarta.
Salah satu motif mahasiswa melakukan tindakan nekat mengakhiri hidup karena beban akademis. Menurut salah seorang mahasiswa di sebuah universitas negeri bilangan Depok, Jawa Barat, Dara Arafaf, tekanan akademis, seperti tugas yang bertumpuk, tekanan untuk mendapatkan nilai yang bagus, hingga ekspektasi dari keluarga sering kali menjadi beban berat bagi mahasiswa.
“Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, mahasiswa bisa merasa terisolasi, tidak berdaya, dan pada akhirnya memicu depresi yang parah,” ujar Dara kepada Alinea.id, Jumat (29/11).
Dara mengatakan, lingkungan kampus harus proaktif dalam membantu mahasiswa yang mengalami tekanan akademis. Pertama, kata dia, kampus mesti menyediakan layanan konseling psikologi yang mudah diakses mahasiswa. Kedua, menciptakan suasana perkuliahan yang lebih suportif.
“Misalnya dengan memberi fleksibilitas pada tugas atau penjadwalan ulang ujian, jika ada mahasiswa yang terbukti mengalami tekanan berat,” ujar Dara.
“Selain itu, mengadakan seminar atau pelatihan tentang kesehatan mental juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran.”
Di sisi lain, teman atau keluarga, menurut Dara, punya peran yang sangat besar. Teman dekat, kata dia, harus peka terhadap perubahan perilaku yang mencurigakan. Sedangkan keluarga, terutama orang tua, perlu lebih memahami kondisi anak mereka.
“Jangan hanya menuntut hasil akademik, tetapi juga memberi dukungan emosional,” kata Dara.
Sementara itu, psikolog Diah Nurayu Kusumawardani menjelaskan, tekanan psikologis yang berat, terutama yang berujung pada tindakan ekstrem seperti bunuh diri, biasanya terjadi setelah dialami dalam kurun waktu yang cukup lama.
Terkait kasus mahasiswa ITB yang bunuh diri, menurut Diah, perlu ditinjau lagi apakah sebelum masuk dunia perkuliahan, korban telah mengalami peristiwa yang memberikan tekanan psikologis signifikan. Tindakan ekstrem seperti bunuh diri, ujar Diah, umumnya bukan hal yang terjadi secara tiba-tiba, tetapi akumulasi dari tekanan yan menumpuk dalam waktu panjang.
“Selain itu, sering kali individu tersebut telah mencoba berbagai cara untuk mengatasi masalahnya, tetapi merasa usaha tersebut tidak efektif, sehingga akhirnya memilih jalan terakhir yang tragis,” tutur Diah, Jumat (29/11).
Diah mengakui, tuntutan akademis dapat memengaruhi kondisi psikologis mahasiswa. Terutama beban tugas yang banyak, tekanan dari keluarga untuk berprestasi, atau karakteristik perfeksionis yang dimiliki mahasiswa.
Segala hal itu, kata Diah, sering kali dianggap sebagai beban atau ancaman, yang kemudian mendorong mahasiswa untuk mengevaluasi sumber daya yang dimiliki, seperti waktu, tenaga, pengetahuan, atau dukungan sosial dalam menghadapi tekanan itu. Jika sumber daya yang dimiliki dirasa cukup, mahasiswa cenderung dapat menyelesaikan masalah, tanpa merasa stres.
“Namun, jika tidak mencukupi, stres pun muncul,” tutur Diah.
Lebih lanjut, Diah menerangkan, stres akademis dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal biasanya berkaitan dengan karakteristik pribadi seseorang, seperti kecenderungan perfeksionis atau mudah cemas.
Individu perfeksionis, kata dia, cenderung menetapkan standar tinggi yang melebihi kapasitasnya, sehingga merasa terbebani. Sementara individu yang mudah cemas, sering memunculkan pikiran antisipatif yang imajinatif atau overthinking, yang membuat mereka terlalu fokus pada kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang sulit mereka hadapi.
“Di sisi lain, faktor eksternal, seperti hubungan yang kurang baik dengan orang tua atau tugas akademis yang terlalu banyak, juga dapat memicu stres. Kondisi ini umum dialami oleh mahasiswa dan menjadi tantangan yang perlu diatasi dengan strategi pengelolaan stres yang tepat,” ucap Diah.
Diah mengingatkan, penting untuk memperhatikan perubahan perilaku yang signifikan pada teman. Sering kali, seseorang yang mengalami masalah psikologis, tidak langsung menyadari kondisinya atau enggan mencari bantuan.
“Sebagai teman dekat, kita biasanya memahami pola perilaku mereka sehari-hari. Jika ada perubahan yang mencolok, misalnya dari yang biasanya ceria, aktif, dan berprestasi, menjadi murung, menarik diri dari aktivitas sosial, malas mengerjakan tugas, atau tidak berpartisipasi dikelas, dan hal ini berlangsung konstan selama satu hingga dua minggu, maka kondisi ini patut dicurigai,” ucap Diah.
Diah menyarankan, sebagai langkah awal, tawarkan bantuan dengan mendengarkan keluhannya, tanpa menghakimi atau memberikan saran secara langsung. Jika mereka bersedia berbagi cerita, Diah mengatakan, pastikan respons kita tidak menggurui atau memaksakan pendapat.
“Jika teman tersebut belum siap berbicara, kita bisa memberikan rekomendasi untuk mencari bantuan profesional, seperti menghubungi psikolog atau biro konseling terpercaya,” kata Diah.
“Sikap yang empatik dan tanpa tekanan dapat membantu mereka merasa diterima dan didukung dalam menghadapi kondisinya.”
Di samping itu, Diah mengatakan, untuk membantu mahasiswa mengelola stres, kampus dapat menyediakan layanan konseling dan psikoedukasi. Menurut Diah, beberapa kampus telah menyediakan layanan konseling yang terjangkau atau gratis, yang bisa diakses kapan saja dengan perjanjian.
“Namun, sering kali peminat layanan ini terlalu banyak, sehingga akses menjadi sulit,” ujar Diah.
“Oleh karena itu, langkah adaptif seperti memperluas jangkauan layanan konseling di seluruh kampus di Indonesia menjadi solusi yang baik untuk membantu mahasiswa mengelola stres secara efektif.”
---
Peringatan: Artikel ini tidak ditujukan untuk melakukan hal serupa. Jika Anda, teman, atau keluarga Anda memiliki gejala depresi dengan kecenderungan pemikiran untuk bunuh diri, segera berkonsultasi dengan profesional, seperti psikolog, psikiater, atau klinik kesehatan mental.