Seorang pria bernama Agus Herbin Tambun, 47 tahun, tega menikam istrinya, Hertalina Simanjuntak, 46 tahun, ketika tengah berkaraoke bersama saudaranya yang disiarkan langsung di media sosial. Peristiwa yang terjadi di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Sabtu (2/11) itu menyebabkan Hertalina tewas usai mendapat lima tikaman pisau.
Sebelumnya, pada Senin (28/10) di Sidoarjo, Jawa Timur, seorang pria bernama Imam Susilo, 35 tahun, membunuh istrinya sendiri, Unik Margareta, 33 tahun, dengan memukulkan bambu besar ke kepala karena diduga istrinya selingkuh.
Lalu, pada Selasa (15/10) di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, seorang ayah berusia 65 tahun membunuh anak kandungnya sendiri yang berusia 38 tahun. Lantas, pada Sabtu (2/11) di Kabupaten Jember, Jawa Timur, seorang anak membunuh ayah kandungnya karena persoalan tanah warisan.
Crime Traveller menyebut, familisida didefinisikan sebagai salah satu anggota keluarga yang membunuh anggota keluarga lainnya. Istilah ini paling sering digunakan untuk menggambarkan kasus-kasus di mana orang tua, biasanya sang ayah, membunuh istri dan anak-anaknya, lalu bunuh diri.
Namun, Crime Traveller menjelaskan, familisida termasuk ke dalam beberapa jenis pembunuhan keluarga, yang di antaranya pembunuhan terhadap ayah (patricide), pembunuhan anak sendiri (filicide), dan pembunuhan terhadap istri (uxoricide).
Dosen senior di Social Justice and Sociology, University of Notre Dame Australia, Denise Buiten dalam the Conversation menulis, pembunuhan keluarga tidak selalu didahului oleh kekerasan. Keinginan dan rasa berhak untuk mengendalikan, terutama atas keuangan dan harta keluarga, adalah faktor yang lebih umum. Pembunuhan keluarga sering terjadi ketika kontrol atas area-area ini semakin hilang, terutama oleh kepala keluarga laki-laki.
“Hilangnya kendali atas ranah ‘maskulin’ merupakan inti dari pembunuhan dalam keluarga, bahkan di tempat yang tidak memiliki riwayat kekerasan dalam rumah tangga yang jelas,” tulis Buiten.
Crime Traveller menulis, para peneliti mengidentifikasi empat faktor yang menjadi penyebab pembunuhan keluarga, antara lain retaknya hubungan keluarga, kekhawatiran mengenai uang dan kesulitan finansial, penghormatan kultural, serta penyakit mental.
Dalam Journal of Family Violence (2014) psikolog Sharon Mailloux, dikutip dari Crime Traveller, menyebut pelaku sebagian besar adalah laki-laki dan punya hubungan jangka panjang dengan kecenderungan posesif terhadap keluarganya.
“Masalah pekerjaan, penyalahgunaan zat terlarang, dan riwayat kekerasan dalam rumah tangga juga ditampilkan dalam kasus-kasus yang ditelitinya. Perceraian atau perpisahan ditemukan sebagai titik pemicu,” tulis Crime Traveller.
Pada 2017, peneliti dari Tampere University melakukan riset soal faktor-faktor yang menjadi latar belakang pembunuhan keluarga di negara-negara Eropa. Mereka menemukan, pelaku pembunuhan keluarga sebagian besar adalah pria berpendidikan tinggi dengan masalah psikologis, depresi, keinginan merusak diri sendiri, dan penyalahgunaan zat terlarang.
“Perilaku kekerasan di masa lalu dan hubungan sosial yang tidak stabil juga lazim terjadi,” tulis Crime Traveller.