Sosok pendeta Emmy Sahertian tak asing lagi bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Terutama perempuan mantan pekerja migran ilegal. Sudah lebih dari 10 tahun dia mengadvokasi perempuan NTT yang tersangkut kasus pekerja migran ilegal ulah sindikat perdagangan manusia.
Rata-rata korban sebagian besar pulang dari negara tujuan dengan kondisi tidak bernyawa. Realita ini membuat Emmy terus mendesak pemerintah pusat hingga level desa menyadari betapa masyarakat NTT hidup getir dalam pusaran perdagangan orang.
Bagaimana awal mula Anda terjun menangani perdagangan orang di NTT?
Awal mula terlibat menangani isu perdagangan orang di NTT, ketika tahun 2013 saya kembali bergabung dengan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), di mana mulai santer kasus perekrutan, penyekapan, dan penyiksaan sejumlah anak perempuan di bawah umur, juga orang tua tunggal untuk bekerja di perusahaan sarang burung walet di Medan, Sumatera Utara. Sejak itu, saya dilibatkan dalam beberapa pelayanan penyambutan jenazah PMI (pekerja migran Indonesia) yang meninggal, baik di Hong Kong atau Malaysia.
Tahun 2016 saya kemudian menjadi Ketua Badan Pembantu Pelayanan (BPP) Advokasi Hukum dan Perdamaian Sinode GMIT hingga 2019, yang banyak menangani kasus umat sebagai korban perdagangan orang, bersama-sama dengan jaringan masyarakat sipil NTT yang peduli dan memang sudah cukup lama menangani kasus-kasus TPPO (tindak pidana perdagangan orang).
Beberapa kasus besar yang ditangani, seperti kasus kematian Yufrinda Selan (pekerja migran yang meninggal di Malaysia pada 2015), kasus penyiksaan Mariance Kabu (pekerja migran yang dianiaya di Malaysia pada 2014), kasus kematian Milka Boymau (pekerja migran yang meninggal di Malaysia pada 2018), kasus Adelina Sau (pekerja migran yang meninggal di Malaysia pada 2018), juga beberapa kasus lainnya.
Termasuk ikut berinisiatif mengembangkan pelayanan penyambutan jenazah PMI di kargo Bandara El Tari, Kupang, bersama Sr. Laurentina dari JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation) PI NTT sejak 2015 hingga hari ini. Kasus PMI yang pulang hidup ada sekitar 30-an. Sementara jenazah yang kami sambut sudah lebih dari 600 hingga saat ini.
Apa akar masalah yang membuat perdagangan manusia marak di NTT?
Akar dari maraknya perdagangan orang di NTT adalah kondisi ekonomi keluarga di daerah terpencil atau perdesaan yang mengalami pergumulan karena kurangnya lahan produktif akibat konflik agraria, akses pasar yang tidak memadai, pendidikan yang bermasalah sehingga banyak yang putus sekolah, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berbasis ketidakadilan gender dan budaya, serta masalah administrasi kependudukan yang ikut mewarnai ketidakadilan sosial sehingga rakyat menjadi miskin juga lemah dalam keterampilan bekerja.
Sementara itu, ada kebutuhan negara tetangga terhadap pekerja sektor informal, buruh kasar, dan rendah keterampilan, serta murah harga jasanya untuk ditempatkan di perkebunan dan pertanian, pekerja rumah tangga, pekerja bangunan dan kerja-kerja kasar lainnya yang dibayar rendah, membuat mereka rentan menjadi korban perdagangan orang. Diperkuat dengan adanya jaringan mafia, baik lokal, nasional, maupun transnasional yang di-back up oknum aparat.
Pola-pola sindikat perdagangan orang di sana seperti apa?
Penyelundupan orang dilakukan dengan membawa korban dari daerah ke daerah-daerah transit atau perbatasan, melalui jalur laut. Digitalisasi perekrutan melalui media sosial, sehingga korban memilih pergi secara sukarela dan individual, kejahatan scam online, dan modus magang kerja sambil kuliah.
Juga multilevel mafia yang jaringannya terputus-putus, sehingga sulit untuk ditelusuri aktor utama. Yang dibekuk malah aktor lapangan yang notabene adalah korban yang hidupnya miskin.
Apa yang harus dilakukan untuk memberantas praktik perdagangan orang di NTT?
Harus ada affirmative action dari pemerintah daerah, di mana penyelesaian holistik dari hulu ke hilir memerlukan regulasi baru. Kerja sama intersektoral diperkokoh di tingkat akar rumput, bukan hanya kuat di tingkat nasional dan provinsi.
Hal ini dilakukan dengan ketulusan instansi-instansi terkait untuk menghilangkan ego sektoral policy, yang membuat penanganan tidak utuh, tumpang tindih, serta tidak berdampak apa-apa. Lalu mempertimbangkan bahwa NTT adalah provinsi kepulauan, di mana pelayanan satu atap tidak hanya berkonsentrasi pada kota-kota tertentu, tetapi bila perlu ada di tiap desa atau kecamatan, sehingga pemantauan, deteksi dini, mudahnya informasi, serta urusan imigrasi aman lebih disosialisasikan. Sekaligus mendukung rakyat untuk melawan sindikat, bukan hanya aparat saja, di mana sudah ada bukti bahwa keterlibatan oknum aparat itu juga marak melanggengkan TPPO.
Hal penting lainnya adalah soal balai latihan kerja yang hanya terdapat di beberapa tempat saja, baik di Kupang, Flores, dan Sumba, yang belum memadai untuk melengkapi kebutuhan para calon PMI. Faktor geografis, akses pelatihan yang sulit, dan jarak tempuh yang jauh, memakan banyak biaya, sehingga rakyat lebih berminat untuk menempuh jalur non-prosedural, tanpa keterampilan memadai.