close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi gangguan psikologi bipolar./ Pixabay
icon caption
Ilustrasi gangguan psikologi bipolar./ Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 29 Agustus 2018 13:33

Pengakuan si penderita bipolar

Dengan menyebut bipolar itu hanya berada di kepala, sama halnya dengan meremehkan dan merendahkan kemampuan bertahan para penyintasnya.
swipe

Sampai pada Agustus tahun lalu, mood atau suasana hati Anugrah Bagus Pekerti masih baik-baik saja. Ia masih bekerja dengan baik di kantor konsultan tempatnya bekerja dan masih periang. Hingga datanglah bulan September dan seketika ia berubah depresif.

Bagus, sapaan akrabnya, mulai merasa tidak semangat bekerja, kurang motivasi, selalu ingin tidur, dan merasa tidak memiliki energi. Ia lalu memutuskan untuk menemui psikolog. Oleh psikolognya, ia didiagnosis memiliki indikasi depresi dan menyarankannya menemui psikiater.

Psikiater lalu memberikan obat antidepresan. Baginya, obat tersebut lumayan efektif mengurangi depresi. Namun, tetap saja depresinya tak menghilang hingga Januari 2018. Di bulan tersebut, suasana hatinya berubah total. Bagus menjadi penuh semangat dan energi.

“Saya mania itu sekitar satu bulan, semangat banget. Nah, setelah ada mania itu deh baru kita bisa didiagnosis jadi bipolar. Kalau depresi doang belum bisa didiagnosis bipolar,” kata Bagus saat ditemui Alinea di kawasan Gandaria, pekan lalu.

Bipolar merupakan gangguan mental yang menyebabkan pergantian suasana hati secara ekstrem seperti yang dialami Bagus. Terdapat dua episode dalam gangguan bipolar, yaitu episode depresi dan mania.

“Episode depresi, itu pengidap bipolar akan merasa sangat, sangat, terpuruk. Terus ada istilahnya intrusive thought, atau pikiran-pikiran yang mengganggu tidak bisa mereka enyahkan, seperti pikiran untuk bunuh diri atau pikiran melihat diri itu negatif seperti saya enggak bisa apa-apa, saya salah. Kontras sekali saat mereka berada di episode mania,” kata Andry Waseso, pegiat Psikoedukasi, Jumat (24/8).

Pikiran untuk bunuh diri saat episode depresi juga dialami oleh Bagus. Ia bahkan mengakui dirinya telah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua kali saat mengalami depresi.

“Usaha yang pertama itu saya ngumpulin obat-obat dari klinik-klinik, obat tidur sih. Saya kumpulin, saya minum bareng. Namun, ternyata overdosis-nya itu jauh, jadi ternyata enggak overdosis, cuma tidur lama doang. Saya enggak tahu waktu itu, saya pikir waktu itu, kalau saya minum ini, bakal mati cepat, enggak ada rasa sakit,” cerita Bagus.

Percobaan bunuh diri kedua dilakukan Bagus saat ia berada di Sanatoriun Dharmawangsa. Di sana, ia mencoba untuk menggantung diri dengan menggunakan ikat pinggang yang tidak disita oleh susternya.

“Namun ikat pinggangnya itu enggak cukup kuat untuk nahan badan saya, jadi ikat pinggangnya putus. Itu saya coba di rumah sakit, di Sanatorium Dharmawangsa,” kata Bagus. Kegagalan melakukan percobaan bunuh diri tersebut mengubah pandangannya pada kehidupan. Kini, ia bersyukur aksi bunuh dirinya gagal.

Sementara itu saat episode mania, Bagus merasakan dirinya sangat semangat dan tak kekurangan energi. “Saya jadi semangat banget, berlebihan, jadi pemikirannya super positif, dalam arti enggak realistis. Saya juga enggak berhenti melakukan hal yang bikin saya senang kayak nyanyi, ngomong jadi cepat banget, terus berpindah-pindah topik,” ucap Bagus.

Selain itu, ia juga menghabiskan uang tabungannya saat episode mania, karena hal tersebut membuatnya merasa senang. “Belanja itu kenceng, sampai duit saya habis. Terus enggak bisa tidur, lupa minum obat segala macem. Karena lupa minum obat itu, jadi enggak bisa tidur. Pokoknya super hiperaktif,” jelasnya lagi.

Andry Waseso mengatakan, bipolar memang sangat sulit untuk didiagnosis. “Butuh sangat teliti diagnosisnya. Penyebabnya belum pasti, riwayat keluarga juga sangat memengaruhi,” jelasnya.

Pada beberapa kasus bipolar pada artis atau seniman, lanjut Andry, mereka bisa mendapatkan keuntungan saat episode mania. “Jadi di saat itu mereka justru sangat kreatif, bisa meluap-luap motivasinya. Misal mereka melukis, itu bisa jadi sangat bagus dan itu bisa berlangsung dalam hitungan jam bahkan hitungan bulan. Saat masa mania, mereka merasa benar-benar powerful, superior, mereka tidak butuh istirahat, dan sebagainya. Mereka sering menolak diberi obat,” jelas Andry.

Bipolar, kata Andry, adalah kondisi yang akan diidap penderitanya seumur hidup. Bagus pun mengakui hal tersebut. “Untuk bipolar ini memang ini kenyataan sih, enggak bisa disembuhkan. Jadi minum obatnya harus terus menerus. Mungkin bisa dikurangi obat-obatnya, tapi harus dilihat kondisi mood-nya,” jelasnya.

Obat yang dikonsumsi Bagus pun terbilang cukup banyak. Dalam sehari, alumni Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang ini mesti mengkonsumsi lima macam obat agar mood-nya tetap stabil.

“Obatnya banyak. Obat pertama itu antidepresan. Kedua ada mood stabilizer, ini dikasih ke saya waktu saya lagi mania. Ketahuan ini bipolar ya, jadi ini dikasih obat untuk menstabilkan mood. Jadi kalau depresi jarang dikasih obat ini, cuma antidepresan doang. Yang ketiga itu namanya antipsikotik. Obat ini untuk menghindari halusinasi atau waham-waham tertentu saat sedang di episode mania,” jelas pria kelahiran Semarang itu.

Akibat dari konsumsi obat tersebut tak main-main. Bagus mesti rutin melakukan tes darah karena obat-obatan tersebut bisa merusak ginjalnya secara perlahan. “Efek sampingnya untuk saya sendiri, tangan saya tremor sih, itu saja,” ujar Bagus.

Stigma negatif masyarakat

Kesadaran akan kesehatan mental di Indonesia tergolong cukup rendah. Banyak dari kita yang kemudian merundung bahkan melabeli pengidap penyakit mental sebagai orang lemah atau lebay. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui jika depresi bisa membuat paranoid dan memunculkan pikiran untuk bunuh diri.

Ilustrasi fase depresi dalam bipolar./ Pixabay

Dalam laporan yang berjudul “The Stigma of Mental Illnes in Asian Cultures” mengatakan, masyarakat Asia Tenggara masih berada dalam fase penolakan jika disebut memiliki penyakit mental. Akibatnya, orang-orang yang memiliki gangguan mental enggan menemui tenaga psikolog atau psikiater, karena malu dengan stigma negatif tersebut.

“Kalau misal sudah ada perasaan yang menganggu fungsi dan enggak bisa kita kendalikan, nahan itu enggak bisa, muncul terus kepikiran di luar kehendak kita, segera kunjungi tenaga medis profesional,” saran Andry.

Selain itu, masih dari laporan yang sama, faktor seperti kepercayaan spiritual dan agama masih memengaruhi pandangan masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara dalam memandang penyakit mental. Kepercayaan jika penyakit mental merupakan hukuman dari Tuhan atau akibat dari sihir dukun, masih berkembang di masyarakat Asia Tenggara.

Stigma-stigma negatif tak sekali dua kali diterima oleh Bagus sendiri. Di masa awal ia depresi, ia berbicara dengan keluarganya dan mendapatkan respons negatif. Stigma sebagai orang yang kurang berusaha dan kurang beriman pun pernah didapatkan Bagus. Ia bahkan sempat akan di-ruqyah oleh keluarganya karena gangguan bipolar yang ia derita.

“Soalnya kan banyak stigma, mereka (keluarga) baru mendukung setelah saya benar-benar enggak bisa berfungsi sampai kayak duduk di kamar terus enggak mau ngapa-ngapain, enggak bisa ngapa-ngapain, bangun dari tempat tidur saja susah. Terus nyalahin diri terus kayak gitu. Mereka mungkin kasihan lihat saya kayak gitu jadinya mereka support,” ungkap Bagus.

Selain itu, kata-kata seperti “itu (bipolar) cuma di kepalamu,” terdengar menyakitkan bagi Bagus. “Memang sih ini cuma di kepala, tapi itu bukan cara yang baik untuk menyemangati orang, karena yang berperan di sini kan hormon, bukan pikiran. Jadi kita enggak bisa ngendaliin,” kata Bagus.

Bagus mengatakan dengan menyebut bipolar itu hanya berada di kepala, sama halnya dengan meremehkan dan merendahkan kemampuan bertahan orang-orang dengan bipolar.

Menghadapi orang dengan gangguan bipolar

Menghadapi orang dengan gangguan bipolar bisa jadi menyulitkan dan membutuhkan kesabaran. Salah berucap atau berperilaku pada orang bipolar, bisa membuat hal-hal yang tak diinginkan terjadi.

“Yang pertama yang bisa kita lakukan adalah membuat orang itu merasa aman, itu yang paling utama. Ketika depresi, dia punya kemungkinan bunuh diri, sedangkan saat mania dia punya risiko untuk terlibat dengan hal-hal berbahaya dan dia enggak merasa ketakutan sama sekali,” jelas Andry.

Ilustrasi konsumsi obat-obatan oleh penderita bipolar./ Pixabay

Andry juga menyarankan, hindari untuk menghakimi orang dengan bipolar. Pasalnya, penghakiman itu membuat mereka merasa lebih terpuruk lagi jika sedang berada dalam episode depresi. Sementara, jika mereka berada di episode mania, mereka akan melakukan penyangkalan.

“Kemudian dengarkan, jangan menilai. Mungkin bisa dilihat jika sesuatu yang salah terjadi segera disarankan ke dia atau ke orang dekatnya. Khususnya ketika dia ada di episode mania, jangan diladeni secara serius karena belum tentu benar,” imbuh Andry.

Terakhir, menurutnya, perhatikan kesehatan orang dengan bipolar. Kebutuhan dasar seperti makan dan minum, perlu diperhatikan. Selain itu, sambungnya, ventilasi udara juga perlu diperhatikan karena ketika depresi, orang bipolar memiliki kecenderungan untuk menutup diri. Penutupan diri tersebut dipandang secara kesehatan juga tidak baik.

Sementara menurut Bagus, cara terbaik untuk menghadapi orang bipolar bergantung sedang dalam kondisi seperti apa. “Mungkin bisa tanya mood-nya dulu, kalau misal dia depresi, cara bantu orang depresi itu gampang, yaitu dengan didampingi saja. Enggak usah kasih nasihat, enggak usah kasih saran apapun, kita nemenin aja tuh sudah seneng banget,” jelasnya.

Ketika sedang dalam fase mania, Bagus menyarankan untuk lebih tegas kepada orang bipolar. Sebab, menurut pengalamannya, ketika sedang mania perilakunya cenderung tidak baik. “Kalau lagi mania itu kita perlu mengerti keinginannya untuk melakukan sesuatu itu tak bisa dikontrol” pungkasnya.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan