Pentingnya deteksi dini kanker paru
Aktris dan model senior Kiki Fatmala meninggal dunia pada Jumat (1/12). Keluarga menyatakan, aktris berusia 56 tahun itu wafat karena komplikasi akibat kanker. Pada November 2021, Kiki sempat mengungkapkan, ia divonis kanker paru-paru stadium 4. Komplikasi tadi muncul usai Kiki sebelumnya dinyatakan sembuh dari kanker paru pada April 2022.
Retno Noto Sudjono, 81 tahun, juga pernah divonis terkena kanker paru pada 1991. Noto, sapaan akrabnya, mengatakan gejala awal yang dirasakannya adalah gampang batuk. Namun, karena sedari kecil ia memang mengalami asma, ia berpikir itu batuk akibat asma.
“Lama-kelamaan dokter saya curiga karena saya sering mengeluh batuk. Saya didorong untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, sehingga saya dikirim ke Tokyo, Jepang,” ujar Noto kepada Alinea.id, Sabtu (2/12).
Dari pemeriksaan dokter di Tokyo itu, Noto didiagnosis positif terkena kanker paru stadium awal, dengan besar noda dua sentimeter. Ketika dilakukan penelitian, ternyata ditemukan flek baru di paru-paru kiri bagian atas.
“Ternyata saya ada double primary (kanker primer),” kata dia.
Ia kemudian menjalankan operasi pengangkatan paru-paru kiri bagian atas pada Oktober-Desember 1991. Menurut Noto, kanker parunya itu disebabkan paparan asap dan zat rokok.
“Saya perokok pasif. Mengingat, suami saya adalah perokok berat sejak kami menikah tahun 1964,” ujarnya.
Sebab dan pencegahan
Setelah dioperasi pengangkatan paru-paru kiri bagian atas di Tokyo, kini Noto sembuh. Ia menekankan, pentingnya deteksi dini saat kanker ditemukan masih pada stadium awal. “Untuk itu, saya menganjurkan masyarakat melaukan deteksi dini kanker, turuti kata dokter, tidak takut dioperasi, dan jangan ke (pengobatan) alternatif,” tutur dia.
Menurut dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur, Ungky Agus Setyawan, prevalensi penyakit kanker paru di Indonesia meningkat tajam. Bahkan, di Asia Tenggara, Indonesia mengalami peningkatan paling tinggi.
“Nah, diperkirakan tahun 2024 ini peningkatannya berkali-kali lipat. Bahkan, ada data (kanker paru) itu (bisa) meningkat sampai 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya,” ujar Ungky, Sabtu (2/12).
Merujuk data Global Burden of Cancer Study (Globocan) tahun 2020, terdapat 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia dan 30.843 penderita meninggal dunia. Penyakit ini punya angka kematian paling tinggi dibanding jenis kanker lainnya. Diketahui, lebih dari 70% pasien kanker paru di Indonesia merupakan usia produktif.
Ungky menyebut, banyak faktor penyebab kanker paru pada perempuan. Faktor risiko paling utama adalah kebiasaan merokok.
Menurut Ketua Bidang Ilmiah Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Elisna Syahruddin, kanker paru sangat erat kaitannya dengan kebiasaan merokok. Sebab, katanya, rokok yang terbakar pada suhu tinggi, menghasilkan ribuan bahan kimia.
“Menyebabkan perokok menghirup campuran zat yang sebagian besar adalah karsinogen dan racun, sehingga asap rokok menyebabkan kanker,” tutur dia, Selasa (5/12).
Celakanya, perokok aktif berusia lebih muda meningkat di Indonesia. Data riset kesehatan dasar (riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, terjadi peningkatan prevalensi merokok penduduk berusia 10 tahun, dari 28,8% pada 2013 menjadi 29,3% pada 2018.
Elisna menjelaskan, perokok aktif memiliki risiko 20 kali terkena kanker paru dibanding yang tidak merokok. Namun, perokok pasif juga salah satu faktor risiko dari seseorang terkena penyakit mematikan itu.
“Perokok pasif memiliki risiko meningkat 20% dibandingkan mereka yang bukan perokok,” ujar Elisa.
Selain itu, sebut Ungky, faktor terkena kanker paru lainnya, yakni zat-zat karsinogen, genetik, usia atau pola makanan tidak sehat.
Data Globocan tahun 2012 menyebut, kejadian kanker paru pada laki-laki menempati urutan pertama, sebanyak 16,8% (34,2 per 100.000 penduduk), sedangkan pada perempuan menempati urutan kedua setelah kanker payudara, sebanyak 8,8% (13,6 per 100.000 penduduk).
“Meski rata-rata pria yang terkena kanker paru, namun menurut data Globocan 2020, terdapat 6,2% perempuan Indonesia terkena kanker paru,” ucap Elisna.
Risiko perempuan terkena kanker paru, menurut Ungky, disebabkan polutan pembakaran, terutama ketika memasak. “Asap pembakaran (dari) kayu bakar dan sebagainya bisa saja sebagai pemicu kanker paru,” tutur dia.
“Kalau ventilasi dapurnya tidak bagus, juga akan terpapar asap secara terus menerus.”
Perokok pasif—terkena paparan asap rokok—dapat pula meningkatkan risiko terkena kanker paru pada perempuan, yang sering tidak disadari. Faktor lainnya terkait usia.
“Semakin tua, maka dia akan risiko terjadi kanker paru karena ada proses inflamasi, oksidan, penuaan, tumor supressor gen yang berkurang, dan sebagainya yang mungkin akan memudahkan sel bermutasi ke tidak normal,” kata Ungky.
Namun, Elisa menyebut pula, berdasarkan penelitian American Cancer Society, memakan makanan yang sehat, seperti buah dan sayuran bisa melindungi kita dari kanker paru. “Baik itu pada mereka yang merokok dan yang bukan perokok,” tutur dia.
Ungky menjelaskan, gejala terkena kanker paru tidak spesifik atau khas. Jika masih dalam stadium awal, seseorang tak merasakan gejalanya. Pasien rata-rata bakal ke rumah sakit bila sudah stadium lanjut, yaitu stadium 3 atau 4. Data yang ada, 91% pasien kanker paru di RSUD Dr. Saiful Anwar sudah stadium lanjut.
“(Kenyataan) di Indonesia kayak gitu karena rendahnya proses skrining dan deteksi dini kanker paru,” ujar Ungky.
Padahal, menurut Ungky, gejala kanker paru bisa dilihat dari batuk kering dan atau batuk darah. Kemudian nyeri dada, penurunan berat badan, dan bisa muncul benjolan di leher. Bila berat, bisa sesak.
“Primernya (terjadi di) paru, tapi bisa menyebar ke organ lain, misal ke kepala (otak) pasien, bisa saja (menyebabkan) nyeri kepala yang dikeluhan, sedangkan gejala paru tidak muncul secara khas,” tuturnya.
Ungky menerangkan, pasien kanker paru bisa saja sembuh, tetapi tergantung stadiumnya. Jika stadium 1 dan 2, atau disebut stadium awal, bisa diobati dengan pembedahan atau radiasi dan target terapi. Dengan begitu, pasien dapat sembuh, kanker bisa hilang.
“Jadi kita lakukan pembedahan atau radioterapi pada stadium awal, terapi tersebut bisa mengangkat atau menghilangkan kankernya secara bersih,” ujar dia.
Lalu, jika penyakitnya sudah mencapai stadium 3 dan 4, atau stadium lanjut, pengobatannya menjadi lebih kompleks. Perlu multimodality terapi dan tim multidisiplin.
“Tujuan pengobatannya istilahnya paliatif,” kata Ungky.
Tujuan paliatif, kata Ungky, meningkatkan angka tahan hidup dan kualitas hidup, sehingga pasien bisa beraktivitas seperti biasa. Pengobatannya, sebut Ungky, cukup banyak. Mulai dari kemoterapi, radioterapi, target terapi, imunoterapi, hingga pembedahan paliatif pada kondisi tertentu.
“Saat ini kan pengobatan-pengobatan kanker paru banyak yang baru. Banyak sekali obat baru yang efektivitasnya cukup tinggi, sehingga ada kemungkinan sembuh, dan yang pasti ditambah dengan doa,” ucap Ungky.
Elisa menerangkan, beberapa jenis kanker paru dapat dianggap sembuh, jika didiagnosis sebelum menyebar. Meski, sebut Elisa, para ahl jarang menggunakan kata “sembuh” untuk menggambarkan kanker.
“Istilah yang lebih umum adalah ‘kambuh’ pada pasien yang mengalami pembedahan,” ujar Elisa.
“Jika tidak terjadi kekambuhan dalam lima tahun, dapat dikatakan sembuh, meskipun angka yang sembuh itu tidak 100%.”
Pada kelompok lain yang tak menjalani pembedahan setelah mendapat terapi sistemik atau kemoterapi, terapi target atau imunoterapi, dan tak ada bukti penyakit memburuk atau progresif, Elisa mengatakan, disebut dengan istilah stabil atau terkontrol.
Namun, Ungky mengakui, pengobatan kanker paru tak mudah dan membutuhkan biaya yang banyak. Maka, pencegahan terjadinya kanker paru menjadi penting, sehingga bisa menurunkan kejadian kesakitan serta kematian.
Untuk mengurangi risiko terkena kanker paru, Ungky mengingatkan, agar dilakukan identifikasi faktor risiko. Misalnya, dengan mendeteksi orang-orang yang berisiko tinggi, seperti perokok aktif maupun pasif, ada riwayat keturunan kanker, dan lain-lain.
“Itu yang saat ini sedang kami jalankan. Dokter Paru Indonesia sekarang menggalakan melakukan skrining dan deteksi dini kanker paru, dimulai dari fasilitas layanan kesehatan tingkat satu secara berjenjang” katanya.
“Kemudian, kalau risiko tinggi, maka nanti perlu dirujuk ke dokter paru dan dilakukan pemeriksaan lanjutan. Salah satunya adalah dengan low dose CT scan.”
---
*Artikel ini telah mengalami perubahan, dengan penambahan keterangan dari Ketua Bidang Ilmiah Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Elisna Syahruddin pada Selasa (5/12).