Pentingnya konseling dalam dunia pendidikan
Tak kurang dalam jangka waktu tiga bulan, tiga mahasiswa Universitas Padjadjaran melakukan bunuh diri. Peristiwa pertama terjadi pada 17 Desember 2018. Saat itu, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ditemukan tak bernyawa di rumah kontrakannya di Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Selang seminggu kemudian, tepatnya pada 24 Desember 2018, mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) juga meninggal dunia di kamar indekosnya. Kasus terakhir terjadi pada 8 Maret 2019. Ketika itu, seorang mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) pun ditemukan sudah tak bernyawa di kamar indekosnya.
Semua mahasiswa tadi meninggal dunia dengan kondisi serupa. Mereka gantung diri. Semuanya juga sama-sama mahasiswa tingkat akhir.
Tingkat stres yang tinggi
Menanggapi kasus memprihatinkan ini, psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim mengatakan, beban akademis bisa menjadi salah satu faktor penyebab bunuh diri pada mahasiswa tingkat akhir.
“Bisa karena skripsinya, karena ada mata kuliah yang belum dia penuhi, itu secara akademis,” kata Rose saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (11/3).
Belum lagi, kata Rose, kehidupan sosialnya saat mahasiswa itu mengerjakan skripsi yang jarang bertemu teman. Beban itu, belum ditambah bila si mahasiswa bekerja. “Dia bisa stres,” ujar Rose.
Menurut Rose, stres pada mahasiswa tingkat akhir pun bisa disebabkan karena ia tak bisa berhubungan baik dengan dosen pembimbing skripsi. Beberapa mahasiswa, lanjut Rose, takut berbicara dengan pihak kampus. Hal ini menambah beban pikirannya.
Rose menuturkan, peran pembimbing akademis ini menjadi penting. Pembimbing akademis, katanya, tak boleh bertemu mahasiswa hanya sekali dalam satu semester.
“Di Universitas Indonesia, mahasiswa bisa berkonsultasi dengan pembimbing akademisnya. Jika masalahnya tak bisa diselesaikan, nanti pembimbing akademis akan merujuknya ke konselor atau psikolog,” kata Rose.
Rose pun menyarankan, jika memiliki masalah terkait kejiwaan atau muncul pikiran ingin bunuh diri, bisa pergi ke Klinik Satelit Universitas Indonesia atau rumah sakit terdekat. "Biasanya di rumah sakit sudah ada psikolog," ujarnya.
Masyarakat, saran Rose, juga bisa menghubungi hotline darurat 119 untuk mencegah aksi bunuh diri, ketimbang sekadar berkeluh kesah.
Pentingnya konseling
Beberapa universitas negeri memang memiliki klinik untuk bimbingan konseling. Di Universitas Indonesia misalnya, mereka memiliki Badan Konseling Mahasiswa (BKM) yang ada di Gedung Klinik Satelit Makara Universitas Indonesia, Depok.
Rose mengatakan, klinik itu bisa dikunjungi mahasiswa Universitas Indonesia maupun masyarakat umum. “Di Fakultas Psikologi kami juga punya Klinik Terpadu untuk asesmen dan konsultasi psikologi kasus-kasus individual,” ujar Rose.
Para mahasiswa ditangani psikolog dengan serangkaian wawancara. Bahkan, kata Rose, orang tua dan teman-teman terdekat mahasiswa juga akan didatangkan dan diwawancarai oleh psikolog.
“Sebab, tak jarang masalah tersebut bukan hanya terletak pada diri mahasiswa sendiri,” ucap Rose.
Salah seorang alumnus Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Syefri Luwis, pernah menikmati fasilitas Klinik Terpadu di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ia mengunjungi klinik itu saat masih duduk di semester dua.
“Waktu itu saya enggak percaya diri dengan jurusan yang saya ambil dan IPK hancur. Terus saya cari tahu, inisiatif sendiri, dan dapat informasi bisa konsultasi di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI,” kata Syefri saat dihubungi, Selasa (12/3).
Setelah ke Klinik Terpadu, Syefri mengaku, rasa percaya dirinya kembali. “Semua jawaban kan sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Saya juga sebenarnya butuh teman untuk ngobrol. Mereka (psikolog) cuma memberi petunjuk,” ujar Syefri.
Sementara itu, pemerhati pendidikan Doni Koesoema Albertus mengatakan hal senada dengan Rose. Menurutnya, untuk menangkal kemungkinan mahasiswa depresi dan nekat bunuh diri, kampus-kampus harus menyiapkan pendampingan psikologis.
“Sejak awal mahasiswa harus dites kejiwaannya,” kata Doni saat dihubungi, Selasa (12/3).
Penulis buku Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter (2009) ini mengatakan, di sejumlah kampus memang belum memiliki unit pendampingan psikologis.
Namun, sayangnya di beberapa kampus yang sudah memiliki fasilitas tersebut, Doni mengatakan keberadaannya tak disosialisasikan. Malah mahasiswanya yang dianggap sudah mandiri dan bisa mencari informasi sendiri.
“Semestinya fasilitas seperti itu harus disosialisasikan,” katanya.
Stigma konseling di sekolah
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah disebutkan, tujuan Bimbingan konseling adalah memfasilitasi perkembangan peserta didik untuk mencapai kemandirian dalam kehidupannya.
Maka, bukan hanya di institusi setingkat universitas yang memiliki fasilitas konseling. Di sekolah tingkat SMP dan SMA pun ada guru bimbingan konseling.
Untuk mencapai tujuan yang disebutkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tadi, Doni mengatakan di sekolah bimbingan konseling harus menghilangkan stigma bahwa mereka adalah tempat siswa-siswa nakal yang menerima hukuman.
Menurut Doni, siswa-siswa yang lambat menerima pelajaran dan nilai di sekolahnya jelek, harus mendapatkan perhatian dari guru bimbingan konseling.
“Bimbingan konseling belum sampai ke sana, dan belum bisa intensif wawancara dengan siswa,” tutur Doni.
Doni pun melihat, ada kecenderungan guru bimbingan konseling yang sekadar mengajar, tidak sebagai konselor. Selain itu, jumlah siswa tak sebanding dengan banyaknya guru bimbingan konseling. Ia mencontohkan, 150 siswa hanya memiliki satu guru bimbingan konseling.
“Hal ini tak memungkinkan konseling lebih mendalam terjadi,” ucapnya.
Di samping itu, masalah lainnya, kata Doni, mayoritas guru bimbingan konseling berasal dari Jurusan Pendidikan Bimbingan Konseling, yang tak terlalu detail memahami masalah psikologis siswa.
“Makanya butuh kerja sama juga dengan universitas-universitas,” ujar Doni.