Apa peran kearifan lokal terhadap mitigasi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki?
Sejak awal November 2024, Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami erupsi. Gunung setinggi 1.584 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut, sepanjang 2024 sudah mengalami lebih dari 900 kali erupsi.
Dikutip dari Kompas, laporan pos pengamatan Lewotobi Laki-laki menyebut, hingga Rabu (13/11), erupsi masih terjadi dengan tinggi kolom mencapai 2.000 meter di atas kawah. Akibat erupsi yang menimbulkan sebaran abu vulkanik, Bandara Lombok membatalkan 26 penerbangan dan menunda 14 penerbangan lainnya.
Hingga Selasa (12/11), Jumlah pengungsi bencana erupsi ini mencapai 11.553 orang. Belasan ribu pengungsi berada di enam lokasi di Flores Timur dan dua titik di Sikka. Erupsi juga menyebabkan 10 orang meninggal dunia.
Bagaimana masyarakat lokal memandang Gunung Lewotobi?
Dilansir dari Mongabay, orang Flores mengangap Gunung Lewotobi sebagai tempat leluhur mereka. Jika gunung itu meletus, bisa diartikan para leluhur sedang marah.
Gunung Lewotobi dikenal sebagai gunung kembar, yang terdiri dari Lewotobi Laki-laki dan Lewotobi Perempuan—disimbolkan sebagai sepasang suami-istri. Jarak antara puncak dua gunung tersebut sekitar dua kilometer. Gunung ini dipercaya punya anak yang dinamakan Ile Muda, sebuah gunung dengan tinggi 881 meter di utara Lewotobi.
Baik Lewotobi Laki-laki dan Lewotobi Perempuan, keduanya masih dalam status aktif. Lewotobi Laki-laki lebih sering erupsi ketimbang Lewotobi Perempuan.
Letusan Gunung Lewotobi Perempuan terjadi pada 1921 dan 1935. Selain itu, dikutip dari Antara, peningkatan aktivitas gunung tersebut terjadi pada 2011 dan 2023 lalu. Sedangkan Lewotobi Laki-laki mengalami erupsi pertama kali pada 1861. Lalu, berulang pada 1865, 1868, 1869, dan 1907. Gunung ini pun erupsi beberapa kali di tahun-tahun berikutnya.
Bagaimana peran kearifan lokal terhadap bencana erupsi gunung berapi?
Menurut Eko Hariyono dan Solaiman Liliasari dalam Bencana Alam: Penilaian Risiko dan Pengurangan Kerentanan (2018), masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana memiliki kecerdasan tradisional dalam menghadapi bencana, yang terbentuk dari pengenalan lingkungan fisiknya.
Kepercayaan bahwa meletusnya gunung api merupakan manifestasi kemarahan penjaga gunung, membuat masyarakat selalu taat pada tradisi untuk melakukan upacara penghormatan.
Secara ilmiah, hal ini sangat tidak lazim. Namun, kepatuhan pada tradisi dan budaya setempat, memberikan keuntungan bagi masyarakat untuk tetap merasa aman dalam menghadapi ancaman letusan gunung api.
Salah satu buktinya, tulis Eko dan Solaiman, sesaji yang dilakukan masyarakat sekitar Gunung Kelud setiap tanggal 1 Suro. Sebagian besar masyarakat Kediri (82,61%) menganggap upacara sesaji itu penting. Alasannya untuk mendapat keselamatan Tuhan dari bahaya letusan Gunung Kelud. Kekuatan spiritual itu membuat masyarakat merasa aman dan terlindungi dari bencana.
Masyarakat di sekitar gunung berapi, ujar Eko dan Solaiman, punya cara sendiri dalam menghadapi ancaman letusan. Kerap kali masyarakat kurang memahami informasi geologi yang disampaikan pemerintah, tetapi lebih memahami perubahan lingkungan akibat tanda-tanda alam.
“Fakta ini memperkuat perlunya memadukan informasi geologi dan kearifan lokal dalam pengambilan keputusan yang tepat dalam menghadapi bencana alam,” tuis Eko dan Solaiman.
Bagaimana mitigasi masyarakat lokal terhadap erupsi Lewotobi Laki-laki?
Komunitas masyarakat yang telah menempati kawasan rawan bencana Gunung Lewotobi Laki-laki—secara turun temurun dan berulang kali mengalami bencana erupsi—tulis Yasinda Gekeng Mare, Ignasius Suban Angin, dan Arfita Rahmawati dari Universitas Nusa Cendana dalam penelitian yang diterbitkan Jurnal Geografi (2021), diduga terdapat kearifan lokal dalam menghadapi bencana yang terbentuk sebagai hasil pengenalan terhadap lingkungan geografis.
Yasinda, Ignasius, dan Arfita meriset mitigasi bencana Gunung Lewotobi Laki-laki berbasis kearifan lokal masyarakat Desa Nawokote di Flores Timur. Menurut mereka, kearifan lokal masyarakat Desa Nawokote berbentuk semiotika analitik dan deskriptif.
Semiotika analitik atau natural, kata mereka, berupa semiotika faunal, vegetal, dan fisikal. Sedangkan semiotika deskriptif atau kultural berupa semiotika sosial dalam wujud ajaran-ajaran atau nasihat dari generasi terdahulu mengenai tanda-tanda akan terjadi bencana erupsi dan penanganannya.
Semiotika faunal berupa perilaku hewan, seperti kera atau ular, yang menjauh dari Gunung Lewotobi Laki-laki hingga mencapai permukiman warga. Semiotika vegetal berwujud kondisi tumbuhan, terutama tanaman pertanian, yang mati karena kering atau layu. Sementara semiotika fisikal berbentuk tanda-tanda alam, terutama cuaca.
“Umumnya sebelum terjadi erupsi, masyarakat telah dapat memperkirakan berdasarkan suhu udara yang lebih panas dibandingkan dengan hari-hari biasanya, terdengar suara gemuruh dari arah Gunung Lewotobi Laki-laki, serta terjadi kilat,” tulis para peneliti.
Lalu, semiotika kultural dijumpai dalam wujud ritual adat Tuba Ile—ritual “memberi makan” kepada Gunung Lewotobi untuk menjaga hubungan baik antara manusia dan alam. Gunung kembar itu pun dipercaya sebagai tempat tinggal leluhur mereka yang sudah meninggal.
Yasinta Gekeng Mare yang juga meneliti mitigasi bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki berbasis kearifan lokal masyarakat Desa Nawokote dalam skripsinya di Universitas Nusa Cendana (2021) menyebut, tingkat pemahaman komunitas masyarakat Krowe di Desa Nawokote terhadap mitigasi bencana letusan Gunung Lewotobi Laki-laki tergolong baik.
Yasinta menambahkan, dalam semiotika kultural juga berupa nasihat adanya arak-arakan pasca terjadi bencana erupsi dan nasihat tentang penanganan situasi darurat bencana berdasarkan pengalaman erupsi terdahulu.
“Arak-arakan itu dimaknai sebagai aliran banjir lahar yang terdiri dari material debris dan sedimen konsentrasi tinggi,” tulis Yasinta.