Iskandar Dzulkarnain, warga Sumenep, Madura, Jawa Timur, memilih terapi untuk penyembuhan penyakit strok. Dia harus mondar-mandir ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumenep, setiap kali ingin terapi. Namun, di RSUD tersebut, dia harus rela antre karena penuh dengan pasien strok. Sebab, terapi itu tidak bisa dilakukan di puskesmas.
“Sudah sejak 1998, dari usia masih 18 tahun, saya sudah ada strok. Jadi, harus bolak-balik RSUD,” kata Iskandar kepada Alinea.id, Kamis (21/11).
Ketiadaan ahli terapi saraf untuk penderita strok di puskesmas, membuat penderitanya harus dirujuk ke rumah sakit. Hal serupa dialami Aswadi, 46 tahun, penderita strok asal Cipondoh, Tangerang, Banten. Dia harus terapi ke Rumah Sakit Hermina, Daan Mogot, Jakarta Barat jika ingin terapi penyembuhan penyakit strok.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut, penanganan penyakit yang memerlukan tenaga spesialis, seperti strok, pada tahap penanganan kuratif memang harus ilakukan di rumah sakit.
“Namun, jika untuk terapi, seharusnya bisa di puskesmas. Dari enam pilar transformasi kesehatan, salah satunya adalah layanan primer. Memang layanan primer ini harus diperkuat,” ujar Timboel, Kamis (21/11).
Dia menilai, persoalan terapi yang tidak tertangani di puskesmas, membuat pasien menumpuk di rumah sakit. Oleh karena itu, sebaiknya pasien strok yang ingin terapi, bisa ditangani di puskesmas.
“Harus juga bisa membangun rumah sakit yang lebih banyak di daerah-daerah, sehingga (pasien) tidak numpuk,” ucap Timboel.
“Jangan sampai numpuk di RSUD hanya gara-gara terapi. Jadi, kalau untuk terapi saja, seharusnya layanan di puskesmas bisa.”
Sementara itu, Senior Program Manager of Primary Health Care Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Agatha Tyas menjelaskan, strok merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), strok menyebabkan 11,2% dari total kecacatan dan 18,5% dari total kematian. Merujuk data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi strok di Indonesia mencapai 8,3 per 1.000 penduduk. Strok pun merupakan salah satu penyakit katastropik dengan pembiayaan tertinggi ketiga, usai penyakit jantung dan kanker, yakni mencapai Rp5,2 triliun pada 2023.
Orang berusia lebih dari 75 tahun terkena strok paling banyak, sebesar 41,3%. Diikuti usia 65-74 tahun sebesar 35,4%. Lalu, usia 55-64 tahun sebesar 23,6%, 45-54 tahun 8,9%, 35-44 tahun 2,0%, 25-34 tahun 0,5%, dan 15-24 tahun 0,1%.
“Berdasarkan penyebabnya, strok terbagi atas strok iskemik (terjadi karena penyumbatan pembuluh darah) dan strok hemoragik (terjadi karena pecahnya pembuluh darah),” kata Agatha, Kamis (21/11).
“Strok disebabkan berbagai kondisi dan faktor risiko, seperti tekanan darah yang tinggi (hipertensi), diabetes, kolesterol yang tinggi, hingga obesitas. Penyakit tidak menular dan gaya hidup tidak sehat dikatakan sebagai faktor risiko penyebab terjadinya strok.”
Agatha mengatakan, dari tingkat kompleksitasnya, strok memang perlu ditangani di rumah sakit. Akan tetapi, peran puskesmas sangat diperlukan untuk menjangkau kelompok masyarakat lebih luas dari sisi tindakan promotif dan preventif. Sebab, puskesmas memahami karakter dan kompleksitas budaya masyarakat, sehingga terhindar dari faktor risiko penyakit tidak menular, salah satunya strok.
“Strok memang merupakan penyakit mematikan. Kendati demikian, tingkat keparahannya cenderung bisa dicegah, yakni dengan mencegah keberlanjutan penyakit yang mengawalinya. Misalnya hipertensi dan diabetes melitus,” ujar Agatha.
Salah satu yang bisa dilakukan untuk mengontrol hipertensi dan diabetes, menurut Agatha, adalah dengan melakukan kontrol rutin ke layanan kesehatan, seperti puskesmas. Sayangnya, berdasarkan data SKI 2023, Agatha menuturkan, terjadi penurunan rutinitas kontrol strok dari usia 55-64 tahun ke kelompok usia lebih dari 75 tahun.
“Puskesmas memiliki peran strategis untuk mencegah risiko strok di masyarakat, melalui kunjungan rumah atau dengan mengadakan pos pelayanan terpadu bagi lansia dengan gejala strok,” kata Agatha.