Perang tak kunjung usai melawan pembajakan film
Pada awal 2021, sutradara sekaligus pendiri rumah produksi Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko berhasil menyeret tersangka pembajakan film yang dirilis Visinema, yakni Keluarga Cemara, ke meja hijau. Film yang tayang di bioskop pada 2019 itu dicuri, diunggah, dan ditayangkan secara ilegal di situs web DuniaFilm21.
“Saya orang pertama yang berhasil masukin pembajak (film) ke penjara,” kata Angga saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (26/9).
Terbaru, Visinema melaporkan dugaan pembajakan film besutan Angga, yakni Mencuri Raden Saleh pada Rabu (21/9). Film yang pertama kali tayang di bioskop pada 25 Agustus 2022 itu termasuk sukses, meraih lebih dari dua juta penonton. Ada tujuh situs web yang dilaporkan karena menayangkan film itu secara ilegal.
Angga mengatakan, tak ada satu pun film garapannya yang luput dari pembajakan, sejak awal ia berkarier sebagai sutradara. “Semua film saya pasti dibajak. Enggak cuma saya, semua teman saya filmnya dibajak,” ujar dia.
Pembajakan tak henti-henti
Sutradara Anggy Umbara pun mengeluh hal serupa. Ia mengaku, tak satu pun film yang digarapnya luput dari pembajakan. Sepanjang kariernya menjadi sutradara, ia menyebut film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (2016) merupakan yang paling banyak dicuri.
“Kalau dibilang (pembajakan film) makin parah, ya (memang) makin parah,” katanya, Rabu (28/9).
Tak hanya film layar lebar, seorang pembuat film dokumenter, Wasis Wardhana juga mengaku sudah sering mengalami pencurian rekaman video tanpa izin untuk kepentingan promosi wisata. Bedanya, pembajakan di film dokumenter tidak diambil utuh.
“Dia (pembajak) paling ambil yang unik, semisal hewan langka atau scene film yang memotret tempat yang sulit dijangkau, seperti hutan Papua,” ujar Wasis, Rabu (28/9).
Biar pun yang dicuri hanya beberapa penggalan video, Wasis mengatakan hal itu sudah bagian dari pembajakan. “Apalagi itu diambil untuk kepentingna komersial,” kata dia.
Wasis menuturkan, pembajakan film dokumenter yang paling sering terjadi karena pihak pengguna jasa film itu tak izin terlebih dahulu ketika ingin menyebarluaskan untuk kepentingan lain di luar kontrak.
“Semisal, di kontrak kalau saya sama klien itu ada pemakaian film di luar ketentuan kontrak, itu harus izin dulu sama kami. Biar pun film itu sudah menjadi kuasa dari klien. Biar tidak terjadi penyalahgunaan,” tuturnya.
Anggy mengungkapkan, pembajakan di dunia film punya banyak modus. Salah satunya, seseorang sengaja datang ke bioskop untuk merekam film yang sedang tayang. Ada pula pencurian file film yang dilakukan lewat praktik gelap jual-beli antara pembajak dan rumah produksi.
Walau mengakui pembajakan film sudah ada sejak dahulu, tetapi Angga merasa, sekarang tambah masif seiring dengan perkembangan teknologi digital. Angga dan Visinema sudah berulang kali mewanti-wanti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), untuk jangan diam memerangi pembajakan film nasional.
“Sebenarnya Kominfo itu punya instrumennya, enggak perlu ribet. Tinggal mau kerja apa enggak,” ujar Angga.
“Kalau konten porno bisa dia stop, kenapa konten bajakan dia enggak bisa stop?”
Menurut Angga, Kominfo setengah hati memerangi pembajakan film Indonesia, tetapi trengginas memblokir situs porno. Padahal, kata dia, pembajakan itu sangat merugikan industri film dari segi hak cipta dan komersial.
“Kemarin Kominfo gembar-gembor melakukan pendaftaran aplikasi. Yang daftar kan tinggal seleksi saja. Yang enggak daftar berarti ilegal. Tinggal di-block. Selesai masalahnya,” ucapnya.
Anggy juga memandang, pemerintah belum serius menangani pembajakan. Bahkan, belakangan Kominfo terkesan angkat tangan dengan masalah ini.
"Jadi tidak ada usahanya untuk membendung pembajakan perfilman. Barangkali mungkin enggak ada untungnya buat mereka," ucap Anggy.
Berdasarkan pengalaman Angga berperkara dengan pembajak film, ia menduga pembajakan film terkait erat dengan bisnis judi online. Sebab, semua situs yang menayangkan film bajakan dipenuhi dengan iklan judi online.
“Semua konten bajakan, situs itu yang didanai atau dijadikan tempat beriklan judi online. Berarti ada perputaran uang yang lebih besar dari film bajakannya,” kata Angga.
Di sisi lain, menurut Anggy, yang tak kalah serius adalah pencurian ide naskah film oleh rumah produksi, sebelum penulis skenario memproduksi film yang ditulis.
"Gampangnya idenya dicuri. Ada yang penulisnya enggak diberikan haknya. Jadi skenario itu dia tulis dan dibuatkan ceritanya oleh PH (production house),” ucap Anggy.
“Terus intelektual propertinya didaftarkan oleh si PH atau si produsernya. Sedangkan pembuat ceritanya tidak mendapatkan hak kekayaan intelektualnya.”
Anggy mengatakan, pencurian ide skenario di industri film belum banyak tersentuh penanganan hukum. Bahkan banyak penulis skenario kalah dari rumah produksi atau produser, hanya karena kalah cepat merilis film.
"Ini masalah yang sudah sejak lama. Bahkan seperti sudah tenormalisasi," kata Anggy.
Aksi dan regulasi
Berdasarkan data Kominfo dari 2015 hingga 26 September 2022, tercatat sebanyak 9.687 kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual di berbagai platform, seperti situs, internet protocol (IP), file sharing, Telegram, Google/YouTube, Twitter, dan Facebook/Instagram. Sebanyak 9.101 kasus ada di situs web. Tahun 2021 paling banyak, ada 3.451 kasus.
Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, sepanjang 2019 dan 2021 adalah periode yang sangat banyak serangan pembajakan. Kominfo, ia akui, kewalahan mengatasinya.
“Itu tahun yang luar biasa pembajakan. Terutama situs ‘XXI’ di internet itu yang paling sering ganti website,” ucap Semuel, Rabu (28/9).
“Kita sampai September (2022) 400, 600, 700, atau 900-an streaming kami blokir.”
Semuel menilai, Indonesia memang menjadi ladang subur film bajakan. Alasannya, masyarakat masih banyak yang lebih suka nonton film gratis, ketimbang pergi ke bioskop.
"Tapi sekarang makin banyak layanan berbayar itu terjangkau. Supaya akhirnya masyarakat makin nyari yang legal," kata Sammy.
Ia keberatan bila Kominfo disebut lepas tangan atau kurang serius mengatasi pembajakan film. Sebab, hingga kini Kominfo terus memantau film nasional yang rawan dibajak.
"Sampai saat ini saya (Kominfo) sudah memblokir beberapa situs dengan asosiasi. Saya kerja sama dengan asosiasi," katanya.
Teranyar, pihaknya menangani pembajakan film Miracle in Cell No. 7 produksi Falcon Pictures, yang sudah beredar di situs film bajakan. “Kami sudah lakukan pemblokiran,” tuturnya.
Kata Semuel, sejak para produser dan sutradara berhimpun dalam sebuah asosiasi, pihaknya lebih mudah bekerja sama dalam memerangi pembajakan. Dengan begitu, pendataan pemilik hak cipta bila ada laporan pembajakan film, menjadi lebih gampang.
“Begitu mereka bisa memberi data, kita langsung tindak," kata Semuel.
Menurut Semuel, lebih mudah menindaklanjuti laporan dari asosiasi, ketimbang perorangan. Pasalnya, laporan perorangan mesti diverifikasi dahulu, apakah benar yang bersangkutan pemegang hak cipta film tersebut.
Kendati begitu, Semuel mengaku hanya bisa memblokir situs yang kedapatan menayangkan film bajakan, namun tak bisa memprosesnya ke ranah hukum. “Kalau mau melaporkan atau membawa ke ranah hukum, ya pemilik hak cipta harus membuat laporan ke polisi,” ucapnya.
Ia mendorong semua insan perfilman inisiatif memberi laporan ke Kominfo, jika mengalami pembajakan. Tanpa laporan, terkadang Kominfo luput memperhatikan pergerakan film bajakan.
"Begitu Anda kasih notice ke kami, kami akan memverifikasi benar enggak punya orang itu pemegang hak ciptanya," kata Semuel.
Ia mengakui, terkadang membutuhkan kerja ekstra dalam melayani laporan perorangan lantaran mesti dibuktikan terlebih dahulu status kuasa dan pemegang hak kekayaan intelektual film tersebut di Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), agar tak mendatangkan masalah tuntutan lain di kemudian hari.
Sementara itu, pengamat film sekaligus produser Alex Sihar memandang, persoalan pembajakan film di era digital tak lepas dari masalah Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang sudah tak sesuai dengan model pembajakan di ranah digital.
“Mesti direvisi itu Undang-Undang Hak Cipta karena sudah tak sesuai untuk melindungi pembajakan era sekarang,” kata Alex, Sabtu (1/10).
Menurut Alex, UU Hak Cipta masih menggunakan logika pembajakan era kaset. Lagi pula, beleid tersebut masih menggunakan logika delik aduan, bukan delik umum. Akibatnya, hanya bisa ditindaklanjuti bila sang pemilik hak cipta film mengadukan kasus pembajakan kepada polisi. Padahal, saat ini mestinya pembajakan diperkuat dengan logika delik umum, sehingga penegak hukum bisa menindak tanpa ada aduan terlebih dahulu.
"Tapi delik umum itu polisi bisa seenaknya menutup berbagai macam hal. Kan juga enggak benar," ujarnya.
Alex mengatakan, skema tersebut perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan pemangku kepentingan yang terkait, seperti Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkum HAM, Polri, Kejaksaan, serta Kominfo untuk merumuskan perlindungan hak cipta perfilman, supaya lebih pas dengan pelanggaran pembajakan di era digital.
"Jadi logika besarnya harus dirumuskan ulang. Semua orang harus duduk. Sebenarnya yang harus dilindungi apa sih? Itu dulu,” katanya.
“Harus disesuaikan dengan masalah yang dilahirkan di era digital sekarang. Tapi juga kita harus melindungi publik.”
Lebih lanjut, ia menekankan, ada dua pihak yang mesti terlindungi, jika UU Hak Cipta direvisi, yakni hak insan perfilman yang mesti dijaga di platform digital dan hak publik yang saat ini gandrung menonton film lewat aplikasi streaming. Ia menyebut, penggandaan di ranah digital perlu pula dirumuskan.
"Pada intinya, logika perlindungan intelektual di Undang-Undang Hak Cipta sudah enggak relevan,” tuturnya.
“Karena teknologi berubah dan cara orang mengonsumsi film juga berubah. Tapi aturan masih aturan lama, zaman kaset bajakan.”