Sudah tiga tahun Febby Glory Manurung tinggal di Jakarta. Ia merantau dari Tebing Tinggi, Sumatera Utara untuk menempuh studi di Politeknik Negeri Jakarta. Meski dikelilingi teman-teman yang selalu memberikan dukungan, Febby terkadang merasa kesepian karena jauh dari keluarga.
“Gue sering banget ngerasa sendiri,” kata Febby kepada Alinea.id, Senin (25/12). “Biasanya kalau ngerasa kesepian, yang bisa gue lakuin cuma nangis aja sih.”
Febby merasa, tak ada teman dekat yang bisa menjadi tempat ia berkeluh kesah. Selain itu, ia mengaku mengalami trauma dengan seseorang yang membuatnya enggan untuk membuka diri terkait cerita-cerita pribadinya kepada orang lain. Kondisi ini membuatnya merasa terisolasi.
Terpisah, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta lainnya, Hanna Aprelia Elfrida Saragi sudah merantau dari Sibolga, Sumatera Utara dan tinggal di Jakarta selama dua tahun. Menurut Hanna, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi anak rantau adalah rasa homesick yang berlebihan. Ia mengakui, perbedaan antara kehidupan di rumah dengan indekos di Jakarta, yakni segala hal harus dilakukan mandiri.
“Faktor yang membuat gue merasa sendiri dan kesepian karena gue mengatur kehidupan sendiri di umur yang dibilang sangat muda,” ujar Hanna, Senin (25/12).
“Dan karena harus melalui banyak hal yang begitu sulit yang harus gue tanganin sendiri.”
Untuk mengatasi rasa kesepian dan rindu rumah, Hanna menjalankan aktivitas yang menyenangkan baginya. Ia pun sering melakukan panggilan video dengan orang tuanya.
“Gue sendiri tidak pernah berpikir untuk bergabung ke komunitas yang sepemikiran (sejalan dengan minatnya), tetapi kadang sharing bareng teman yang sama-sama merantau,” ujar Hanna.
Pengalaman Febby dan Hanna sejalan dengan temuan riset Health Collaborative Center (HCC), yang dirilis beberapa hari lalu. HCC yang melakukan jajak pendapat terhadap 1.226 responden menemukan, 44% atau sekitar empat dari 10 warga Jabodetabek mengalami kesepian derajat sedang.
Dari 44% yang mengalami kesepian derajat sedang tersebut, sebagian besar merupakan perantau (56%), berusia muda di bawah 40 tahun (51%), belum menikah (59%), dan perempuan (52%). Sebagian besar partisipan telah menikah (82%), perantau (32%), dan tinggal bersama orang tua (47%).
Kesepian bukan lah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Sebab, beberapa waktu lalu, World Health Organization (WHO) menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan dunia yang mendesak. Bahkan, dampak kematian akibat kesepain disebut setara dengan merokok 15 batang sehari.
Sementara itu, Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani Sani Budiantini Hermawan mengatakan, kesepian yang dialami perantau sering kali berakar pada harapan yang tidak selaras dengan realita. “Proses adaptasi bagi perantau bisa menjadi sangat sulit,” tutur Sani, Senin (25/12).
Proses adaptasi yang dimaksud Sani terkait upaya membangun hubungan yang erat dengan lingkungan baru. Ia menyebut, karakteristik perantau dengan penduduk tetap atau warga lokal berbeda secara signifikan.
“Sehingga adaptasi atau penyesuaian yang diharapkan bisa membangun relationship dengan lingkungan belum tercapai sesuai harapan,” ujar psikolog anak, remaja, dan keluarga itu.
“Hal ini bisa menjadi pemicu utama terjadinya kesepian pada perantau.”
Di sisi lain, sosilog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina menuturkan, banyak perantau yang terpisah dari keluarga atau teman dekat mengalami perubahan lingkungan sosial yang signifikan. Hal ini, kata dia, dapat menyebabkan perasaan kesepian.
“Pertumbuhan yang cepat dan urbanisasi di wilayah seperti Jabodetabek dapat menciptakan jaringan sosial yang tidak stabil,” kata Nia, Senin (25/12).
“Banyak orang datang dari luar daerah dan proses adaptasi sosial bisa menjadi sulit.”
Apalagi, menurut Nia, ada kesenjangan budaya dalam penggunaan teknologi. Ia menyebut, saat ini kecenderungannya seseorang lebih memilih bergaul secara virtual, seperti lewat media sosial. “Setiap ada notifikasi grup, langsung memberikan respons dan sebagainya,” ucap Nia.
“Sejatinya, teknologi dalam bentuk hp (handphone) atau lainna, digunakan sebagai alat untuk memperlancar interaksi atau komunikasi sesama masyarakat, bukan menjadi tujuan.”
Nia mengamati, generasi saat ini banyak yang terperangkap dalam relasi sosial virtual yang cenderung dangkal. Fenomena ini kemudian mengarah pada kurangnya ikatan sosial di dunia nyata. Akhirnya, individu tersebut merasa terisolasi di tengah masyarakat.
“Di dalam kereta atau tempat umum lainnya, interaksi langsung antarindividu semakin menurun,” kata Nia.
“Banyak orang lebih tertarik pada layar ponsel masing-masing, yang mengakibatkan kurangnya komunikasi langsung atau interaksi sosial ang substansial di antara mereka.”
Terlepas dari itu, Sani mengatakan, kesepian yang sering dialami perantau dapat mengakibatkan stres yang tinggi—bahkan depresi—dan berpotensi menurunkan kesejahteraan mental. “Dampak kesepian pada perantau tidak dapat diabaikan,” ucap Sani.
Ia menyarankan, untuk mengatasi kesepian pada perantau dapat dilakukan dengan membangun koneksi sosial yang lebih erat. “Mendapatkan dukungan emosional dan menyesuaikan harapan dengan realitas yang dihadapi,” kata Sani.