Perempuan yang dilenyapkan sejarah
Perempuan-perempuan seperti Sugiarti dan S. Rukiah terselip dari sejarah kesusastraan tanah air. Puluhan karya sastra soal perempuan dan anak memang telah dilahirkan dari keresahan mereka semasa hidup. Namun bagi rezim pencipta sejarah yang diorganisir Soeharto dan sejarawan militer Nugroho Notosusanto, jejak mereka tiada.
Tak heran jika yang “bunyi” dari sastrawan perempuan lawas hanya mereka yang bercerita soal hingar bingar kehidupan, dengan corak Eropa abad-19. Pun mereka yang lengket dengan penerbit kanon sejak era kolonial, Balai Pustaka, seperti NH. Dini dan Sariamin Ismail.
Itu pun tak semua terbitan Balai Pustaka yang didokumentasikan dalam sejarah. Historiografi Orde Baru hanya menyeleksi sastrawan yang “tak berbahaya” dan yang mustahil menggoyang status quo. Sementara untuk penulis yang kerap menyambung lidah kaum akar rumput, mengangkat persoalan buruh, petani, anak, dan perempuan justru dilenyapkan.
Lantas sepenting apa hingga publik perlu paham siapa Sugiarti dan Rukiah? Seorang penulis bernama Fairuzul Mumtaz dalam bukunya, “Karya-karya Lengkap Sugiarti Siswadi: Hayat Sastrawan Kreatif Lekra” (2016) menulis, dengan posisi Sugiarti sebagai anggota teras pengurus pusat LEKRA dan menghasilkan 17 cerita pendek, 5 puisi, dan 2 buku kumpulan cerpen, aneh namanya raib dari khasanah sastra. Dalam buku-buku rujukan sejarah sastra Indonesia, seperti Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw dan Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (4 jilid) karya H.B. Jassin, nama Sugiarti nihil.
Demikian halnya dengan Rukiah yang sangat jarang diperbincangkan. Padahal semasa hidup, ia pernah menulis karya sastra indah yang sekaligus jadi magnum opus, “Kejatuhan dan Hati” dan “Tandus”. Belum kumpulan cerita pendek dan puisinya yang lain.
Semasa hidupnya Rukiah juga aktif menjadi sekretaris dan anggota redaksi Pujangga Baru pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana bersama para pengarang lainnya antara lain Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat Karta Mihardja, Dodong Djiwapradja, dan Harijadi S. Hartowardojo. Ia juga aktif di LEKRA dan menjadi redaktur penerbit Yayasan Kebudayaan Sadar, sekaligus mengelola majalah untuk anak-anak ‘Ketilang’ dari penerbit yang sama.
Namun lagi-lagi, rezim Soeharto menganggap sepak terjang dan buah pikiran mereka bisa berbahaya bagi pemerintahan. Tak hanya biografi mereka yang hilang, keberadaan karya mereka pun ikut lenyap. Mumtaz menyebut Sugiarti bak terkubur jauh di perut bumi. Nasib buruk yang terjadi pada Sugiarti membuat biografi sekaligus karyanya tak dikenal.
Sugiarti sama dengan Rukiah, yang banyak menarasikan perempuan dalam perspektif mereka. Jika penulis LEKRA lain fokus bercerita soal buruh dan petani, dua perempuan itu bicara soal perempuan dan anak. Anak-anak di mata Sugiarti harus disuguhi bacaan yang mencerdaskan, di tengah gempuran bacaan anak-anak buatan Amerika kala itu.
Sementara perempuan dalam hemat Sugiarti, diceritakan sebagai sosok yang kuat dan andil dalam perjuangan rakyat serta perlawanan dominasi patriarki. Jika Virginia Woolf pernah berkata, perempuan hanya butuh uang dan ruang pribadi untuk menulis seindah Shakespeare dengan karya-karya babonnya. Maka Sugiarti membantah ini lewat karya-karyanya yang sederhana dan subtil. Bahwa perempuan butuh hal lain selain hak untuk keluar dari domestifikasi saat hendak menulis.
Dalam puisinya berjudul “Wanita” dan “Kebebasan”, tanpa diksi yang agitatif, ia menyuarakan gugatan perempuan terhadap budaya patriarki. Kedua karya itu berbeda dengan karya Sugiarti lain yang lebih galak soal buruh dan tani seperti cerpen “Upacara Pemakaman” dan “Pengadilan Tani”.
Sebelas dua belas dengan Sugiarti, Rukiah juga bicara perempuan dari kacamatanya. Jika penulis perempuan kontemporer mengangkat isu otonomi tubuh di karya sastra mereka, maka berbeda dengan Rukiah. Menurut peneliti feminis dari Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), Ruth Indiah Rahayu, ada beberapa hal menarik yang bisa dicatat dari sosok Rukiah.
Penulis perempuan dari LEKRA, Rukiah./ Wikipedia
Pertama, Rukiah menjadi perempuan yang menerobos sastra keperempuanan. “Representasi perempuan yang digambarkan begitu mendalam hingga lapisan dasar batin perempuan,” tuturnya dalam diskusi di Komnas HAM Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kedua, dalam kaitannya dengan relasi kuasa, perempuan yang disosokkan Rukiah berfungsi sebagai agen penyampai pesan utama. Rukiah di mata Ruth, sukses mendeskripsikan pergumulan luar biasa dalam batin, saat dikepung berbagai pilihan. Ia begitu piawai meletakkan intelektualitas, perasaan, dan logika sebagai dasar perempuan dalam pengambilan keputusan. Sementara lelaki dianggap sebagai variabel luar yang tak berpengaruh banyak pada perang batin perempuan.
“Makanya kita tak akan melihat figur perempuan-perempuan bodoh yang hanya pakai perasaan, saat disuruh memilih menikahi lelaki yang suka perang, vokal, dan berani atau lelaki cerdas yang doyan baca dan menulis dengan gaya memikat,” seloroh Ruth.
Ketiga, Rukiah memunculkan dialektika dalam sejumlah narasinya. Misalnya dalam karyanya bertajuk “Kejatuhan dan Hati”, ia bercerita kejatuhan saat tergulung cinta, namun diimbangi dengan dialog-dialog yang ramai berseliweran di kepala sang tokoh.
Lebih lanjut, karya Rukiah dibuat dengan gaya serealis dan seekspresif mungkin. Ia dipengaruhi pemikiran sastrawan sekaliber Maxim Gorky, yang berusaha menyerap realitas secara personal sebagai pengalaman dan produksi budaya.
Tak heran, lanjutnya, jika karya Rukiah terasa sangat intim memotret realitas perempuan. Berbeda dengan Pramoedya Ananta Toer yang sekadar membayangkan menjadi perempuan lalu menulisnya dalam “Panggil Aku Kartini Saja”, “Calon Arang”, “Bumi Manusia”, “Larasati”, “Gadis Pantai”, “Arok Dedes”, dan “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer”.
Keintiman yang dihadirkan dua penulis itu menjadi penting sehingga karya mereka laik dibaca dan dinilai penting. Mengamini pernyataan pengamat sastra Katrin Bandel, dalam diskusi peluncuran buku ihwal Sugiarti, yang ditulis Mumtaz, karya penulis LEKRA penting dibaca dan dikenal khalayak. Sebab, itu memproyeksikan semangat anti kolonialisme dan perbudakan, semangat meninggalkan takhayul, kebanggaan pada kemajuan sains, serta menolak perilaku ningrat yang cenderung sewenang-wenang.
Semua terma yang sebetulnya masih relevan di masa kini, seperti kolonialisme di era digital yang hadir dalam format lain. Patriarki yang dari dulu masuk agenda perjuangan perempuan LEKRA pun masih jadi topik yang belum usang hingga saat ini.
Karya dua penulis perempuan itu sendiri juga penting, mengingat jarang sekali perempuan yang berani mengangkat soal "keakuan" mereka sedalam itu. Penulis novel Dewi Kharisma Michellia memaparkan, nomenklatur sastra sangat langka menghadirkan wacana perjuangan perempuan, yang ditulis langsung oleh perempuan. “Bias laki-laki sangat kentara di khasanah sastra kita,” tandasnya.
Oleh sebab itu, karya Rukiah dan Sugiarti yang belakangan dilirik penerbit untuk dipublikasikan ulang, jadi angin segar. Sebab pembaca butuh bacaan berimbang. “Kita tak bisa melawan rantai kapitalisme buku lama. Urusan kanon adalah hal lain, tapi soal penerbitan buku-buku penulis LEKRA itu patut diapresiasi,” ujar alumni Sastra Inggris UGM tersebut.
Sebab produksi karya tak mengenal jenis kelamin dan latar belakang ideologi. Mengutip postulat Roland Barthes, begitu karya tercipta, biografi tak penting lagi. Jadi, mari membaca LEKRA.