Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 1 Maret 2024 menunjukkan, terdapat hampir 16.000 kasus demam berdarah dengue (DBD) di 213 kabupaten/kota di Indonesia, dengan 124 kematian. Kasus terbanyak tercatat ada di Tangerang, Bandung Barat, Kota Kendari, Subang, dan Lebak.
Kasus penyakit yang disebabkan virus dengue lewat nyamuk Aedes aegypti itu pun terus meningkat. Per 18 Maret 2024, kasusnya mencapai 35.556, dengan 290 kematian. Jawa Barat menjadi provinsi penyumbang kasus DBD terbanyak, yakni 10.428 kasus. Diikuti Jawa Timur 3.638 kasus, Sulawesi Tenggara 2.763 kasus, dan Kalimantan Tengah 2.309 kasus. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pada 2023 dalam periode yang sama, dengan 15.886 kasus dan 118 kematian.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, peningkatan kasus DBD tersebut diakibatkan perubahan musim. Siti menuturkan, setiap perubahan musim, baik itu musim panas ke hujan atau sebaliknya, akan ada risiko peningkatan tempat-tempat nyamuk berkembangbiak karena banyak genangan air.
“Selain itu, perubahan iklim dan adanya El Nino memengaruhi kondisi ini,” kata Siti kepada Alinea.id, Selasa (26/3).
“Di musim pancaroba, virus dan bakteri menjadi lebih menular.”
Siti mengatakan, di kota-kota besar dan urban, angka kasus dan kematian akibat DBD umumnya lebih tinggi. “Nyamuk Aedes (aegypti) kalau ini menjadi populasi yang ada di suatu wilayah, maka angka kejadian DBD menjadi lebih tinggi,” ujar dia.
“Ditambah lagi dengan situasi kepadatan penduduk dan rumah penduduk.”
Terpisah, dosen program pasca-sarjana bidang kesehatan masyarakat University of Derby, Inggris, Dono Widiatmoko menuturkan, peningkatan kasus DBD disebabkan musim penghujan yang membuat banyak air tergenang dan dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
“Tentu saja, ini sangat bisa dihubungkan dengan pola cuaca dan perubahan iklim yang terjadi secara global, termasuk Indonesia,” tutur Dono, Selasa (26/3).
Akibat perubahan iklim itu, virus dengue juga berkembang di negara yang selama ini tak ada kasus DBD. Disebut Dono, misalnya di Paris, Prancis.
“Beberapa waktu ke belakang, akibat terjadinya perubahan iklim dan cuaca, perindukan nyamuk Aedes aegypti ditemukan di kota tersebut,” ucap Dono.
Dono menambahkan, ada perbedaan prevalensi penyebaran penyakit DBD di banyak tempat di Indonesia, yang dipengaruhi “ketersediaan” virus, kebersihan lingkungan, dan ketersediaan tempat hidup vektor dengue.
Terlepas dari itu, menurut Siti, kolaborasi dan sinergi antarpemerintah dengan masyarakat dibutuhkan untuk menekan jumlah kasus DBD. Masyarakat, kata Siti, bisa berpartisipasi dengan memastikan di rumah masing-masing tak ada sumber perkembangbiakan nyamuk, serta peran komunitas atau lembaga kesehatan untuk terus mengedukasi, sosialisasi, dan mengajak warga berperilaku hidup sehat.
Lalu menerapkan pemberantasan sarang nyamuk, gerakan 3M (menguras, menutup, mengubur), dan menanam tanaman pengusir nyamuk. Pada tingkat pemerindah daerah, ia menyarankan untuk memastikan tak ada tempat penampungan air, seperti kolam yang telantar, daerah rawa yang setengah kering, serta sampah-sampah yang tak terolah dengan baik dan menumpuk.
“Termasuk menggunakan (pakaian) lengan panjang atau memakai losion antinyamuk saat beraktivitas pagi dan sore untuk mengurangi risiko,” ujar Siti.
“Sekolah, tempat kerja, dan pengelola apartemen juga memiliki peran untuk melakukan PSN (pemberantasan sarang nyamuk).”
Di sisi lain, menurut Dono, inovasi seperti menyebarkan nyamuk Aedes aegypti yang sudah ditularkan dengan bakteri Wolbachia di beberapa tempat di Indonesia juga dilakukan untuk menekan jumlah angka penularan DBD. Dono melanjutkan, ada pula intervensi yang masih diuji coba di dunia, yaitu vaksinasi dengue.
“Belum pernah dicoba di Indonesia karena vaksin ini masih kontroversial lantaran efektivitasnya masih belum baik dan meimbulkan efek samping yang tidak terlalu positif,” kata Dono.
“Jika vaksin ini sudah matang atau siap, layak bagi pemerintah Indonesia untuk mencoba mengevaluasinya.”
Indonesia bisa mencontoh Singapura. Walau iklimnya sama seperti Indonesia, tetapi kata Dono, Singapura memiliki program yang kuat untuk mencegah perindukan nyamuk Aedes aegypti tersebar di negara tersebut.
“Dengan cara melakukan secara masif inspeksi-inspeksi pemeriksaan secara rutin dan reguler untuk memastikan perindukan nyamuk itu bisa dikurangi, sehingga angkanya dapat direkam dengan baik,” tutur Dono.