Pergulatan pengidap skizofrenia di tengah stigma
Sejak didiagnosa mengalami skizofrenia pada 1985, Yohanes Iman merasa hidupnya seakan runtuh. Pria berumur 57 tahun itu jadi banyak berdiam diri di kamarnya. Ia bahkan sampai tak mandi berminggu-minggu.
“Ngerasa paling malang,” kata Yohanes saat berbincang dengan Alinea.id di sekretariat Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Cililitan, Jakarta Timur, Jumat (25/2).
“Kalau lagi ‘kumat’, saya mengurung diri.”
Stigma dari masyarakat terkait orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) kerap membayang-bayangi Yohanes. Sehari-hari, ia mengalami perasaan sedih dan tak tenang.
Ia lantas berinisiatif pergi ke dokter jiwa untuk berobat. Setelah itu, ia merasa lebih baik. Namun, gangguan psikologis itu terkadang muncul karena ia tak disiplin meminum obat.
Yohanes merasa, dirinya mulai berubah usai ayahnya meninggal dunia. Ia sering mendengar bisikan-bisikan kemungkinan terburuk dalam hidupnya.
“Justru saya bangkitnya, (ketika saya berpikir) enggak mau jadi gelandangan psikotik yang di pinggir jalan,” ucap Yohanes.
Pada 2010, Yohanes mencoba aktif mengikuti beragam seminar soal kesehatan mental. Hingga akhirnya ia bergabung dengan KPSI—yang menjadi wadah berbagi informasi dan pengalaman penyintas skizofrenia.
Kegiatan berbagi pengalaman di komunitas ini yang rutin diadakan setiap pekan, mengembalikan rasa optimis dalam dirinya.
“Sejak masuk KPSI, sangat terbantu. Kita saling menguatkan,” ucapnya.
Kini, ia menjadi relawan di komunitas itu. “Kita-kita yang sudah survive, akhirnya mikir kita punya arti ya untuk membantu teman-teman skizofrenia,” tuturnya.
Pentingnya komunitas
Kasus gangguan jiwa di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2018 meningkat. Peningkatan itu terlihat dari kenaikan prevalensi rumah tangga yang punya anggota keluarga ODGJ.
“Ada kenaikan jumlah menjadi tujuh permil rumah tangga. Artinya, per 1.000 rumah tangga terdapat tujuh rumah tangga dengan ODGJ, sehingga jumlahnya diperkirakan sekitar 450.000 ODGJ berat,” tulis laporan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes (2019).
Hasil Riskesdas 2018 melaporkan, prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang mengidap skizofrenia menurut tempat tinggal di perkotaan sebesar 6,4% dan perdesaan sebesar 7,0%. Prevalensi seluruh Indonesia sendiri sebesar 6,7%.
Pusdatin Kemenkes juga melaporkan, ada sejumlah tekanan mental yang menyebabkan seseorang bisa mengalami skizofrenia, di antaranya masalah pernikahan, problem dengan orang tua, hubungan antarpribadi, lingkungan, pekerjaan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, dan faktor keluarga.
Gejala gangguan skizofrenia, antara lain delusi atau waham, halusinasi, kekacauan alam pikir, gelisah, merasa dirinya “orang besar”, penuh kecurigaan, menyimpan rasa permusuhan, alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”, mengasingkan diri, miskin kontak emosional, pasif dan apatis, serta sulit dalam berpikir abstrak.
Sedangkan gejala penyerta seseorang yang mengalami skizofrenia, antara lain gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, konsentrasi berkurang, kepercayaan diri berkurang, perasaan tidak berguna, serta perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.
Model Novi Amelia yang tewas usai melompat dari lantai delapan Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan pada Rabu (16/2), diduga memiliki problem mental skizofrenia. Chris Sam Sewu, pengacara Novi pada 2012, pernah mengatakan mantan kliennya itu sempat menjalani perawatan kejiwaan, terkait suara-suara aneh yang kerap didengar.
“Kalau yang bersangkutan (Novi Amelia) seandainya menemukan peer support group, (bunuh diri) itu bisa dicegah kan,” ujar salah seorang pengurus KPSI, Agus Sugianto, Jumat (25/2).
“Sebenarnya kan ada panduan untuk tidak bunuh diri. Kita (KPSI) juga edukasi tentang itu.”
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Elizabeth Kristi Poerwandari mengungkapkan, memang ada beberapa tipe gangguan kejiwaan yang lebih rentan bunuh diri, salah satunya skizofrenia.
Menurutnya, seseorang yang mengalami skizofrenia dapat mendengar suara yang mendesaknya untuk bunuh diri dan berperilaku tak lazim. Namun, ia enggan berbicara banyak kasus yang menimpa Novi.
"Saya tidak mengenal atau menangani Novi Amelia, sehingga tidak berani menyampaikan pandangan," ucap Kristi, dihubungi pada Sabtu (26/2).
"Kita belum mengetahui persoalannya secara lebih mendalam dan komprehensif.”
Sayangnya, simpul komunitas skizofrenia di Indonesia, kata Agus, terbilang terlambat dibandingkan negara lain, semisal Australia. Di Australia, ujar alumnus Deakin University itu, sudah memulai 30 tahun lebih awal daripada Indonesia. Agus mengatakan, simpul komunitas bisa membantu proses pemulihan karena ada rasa saling peduli antaranggota.
“Banyak kasus, mereka putus asa karena enggak tahu cara pulih, enggak tahu ciptakan kondisi ideal untuk pulih, padahal itu penting,” ucapnya.
Di KSPI ada kegiatan, seperti melukis, edukasi penyakit gangguan jiwa, hingga berbagi pengalaman ihwal skizofrenia, yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya dan memiliki. Komunitas ini juga menyediakan pendampingan profesional.
Sementara itu, Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan membenarkan, perkumpulan para penyintas skizofrenia bisa membantu proses pemulihan kejiwaan.
“Yang utama sebenarnya mengondisikan para penyintas ini,” tutur Sani, Sabtu (26/2).
“Paling tidak, (mereka) termotivasi untuk bisa kembali ke masyarakat dengan tenang dan percaya diri.”
Melawan stigma
Stigma melekat bagi orang-orang yang mengalami gangguan skizofrenia. Pusdatin Kemenkes menyebut beberapa stigma pengidap skizofrenia di Indonesia, seperti disebabkan karena sihir, kemasukan setan, kerasukan roh jahat, dan melanggar larangan.
Stigma itu membuat keluarga yang anggota rumah tangganya mengalami skizofrenia acap kali menempuh jalan nonmedis atau pergi ke paranormal. Bahkan, tak sedikit pengidap skizofrenia yang dipasung.
Riskesdas 2018 mencatat, di perkotaan sebesar 31,1% penderita skizofrenia dipasung, sedangkan di perdesaan sebesar 31,8%. Total di Indonesia sebesar 31,5% pengidap skizofrenia dipasung.
Kristi menilai, stigma kepada orang yang mengalami skizofrenia dapat memberatkan proses pemulihan. Bahkan, stigma itu bisa merembet kepada keluarga mereka.
“Mereka mungkin jadi malu, merasa rendah diri, menyalahkan diri, dan akhirnya cenderung tidak memanfaatkan layanan kesehatan yang tersedia secara maksimal,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, anggota Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Celestinus Eigya Munthe menuturkan, salah satu cara melawan stigma skizofrenia adalah dengan meningkatkan pemahaman pada masyarakat, lewat edukasi dan diseminasi.
“Perihal gangguan (jiwa) berat itu apa dan bagaimana penanganan yang harus dikerjakan,” ujar mantan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes itu, Kamis (24/2).
Puskesmas di daerah, menurutnya, dapat menjadi tonggak pelaksanaan edukasi perihal skizofrenia. Sebab, fasilitas pelayanan kesehatan tersebut ideal menjangkau masyarakat.
Bila tak dilakukan edukasi, Celestinus khawatir stigma terkait skizofrenia dihubungkan dengan klenik makin tumbuh subur. Dengan begitu, ia waswas penanganan bagi pengidap disablitas mental itu bisa salah.
“Akibatnya terjadi penundaan pengobatan pada orang yang menderita gangguan jiwa,” ucapnya.
“Ketika penyakit itu berjalan sudah lama, tentu tambah berat dan semakin tambah sulit kita melakukan pemulihan.”
Menurutnya, proses pemulihan penyintas dapat lebih murah jika ada penerimaan dari masyarakat. Rumah sakit jiwa, katanya, cuma merupakan tempat merawat penderita gangguan jiwa berat.
“Dan itu juga hanya butuh waktu yang tidak lama, kemudian mendapat perawatan puskesmas untuk kontrol,” ujar Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan, dan Penunjang di RSJ Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang, Jawa Timur itu.
“Kemudian, orang tersebut kembali ke komunitas dengan produktif.”
Sekadar catatan, menurut Pusdatin Kemenkes, di Indonesia da 34 rumah sakit jiwa pemerintah dan sembilan milik swasta di 28 provinsi. Enam provinsi yang tak punya rumah sakit jiwa, yakni Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
Sementara puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa mencapai 100% di Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Gorontalo, dan Maluku.
Celestinus berharap, perspektif publik terhadap skizofrenia dapat berubah. Di sisi lain, ia berpesan agar puskesmas dapat proaktif melakukan edukasi pada masyarakat ihwal skizofrenia.
“Alhasil implementasi dalam peningkatan layanan kesehatan jiwa dapat berjalan dengan baik," ucapnya.
Di samping masyarakat, Kristi menilai, keluarga dan kerabat penderita skizofrenia juga perlu diedukasi. Tujuannya, agar dapat memahami masalah dan mengetahui cara memberikan dukungan.
"Tidak menyalahkan diri sendiri dan saling menguatkan," tuturnya.