close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Slamet Rahardjo Djarot saat perayaan hari ulang tahunnya yang ke-70, Sabtu (26/1). /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.
icon caption
Slamet Rahardjo Djarot saat perayaan hari ulang tahunnya yang ke-70, Sabtu (26/1). /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 28 Januari 2019 16:55

Perjalanan panggung Slamet Rahardjo

Di usianya yang menginjak kepala 7, Slamet Rahardjo tentu saja sudah kenyang dengan asam garam dunia hiburan tanah air.
swipe

Sanggar Teater Populer di Jalan Kebon Pala I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (26/1) ramai dengan kehadiran puluhan tamu. Hari itu, berlangsung perayaan ulang tahun aktor senior Slamet Rahardjo Djarot yang ke-70. Kakak penata musik dan politikus Eros Djarot itu lahir pada 21 Januari 1949.

Dalam acara itu, hadir pelaku seni yang tumbuh dari lingkaran Teater Populer—grup teater yang dirintis mendiang Teguh Karya, di antaranya aktris senior Sylvia Nainggolan dan Christine Hakim. Penyair sekaligus rekan Slamet di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sapardi Djoko Damono pun hadir.

Belajar akting dari Slamet

Slamet tentu saja sudah kenyang makan asam garam dunia hiburan tanah air. Dia kesengsem dengan dunia peran, saat menyaksikan akting menawan Teguh Karya dan Henky Solaiman dalam pementasan di TVRI Yogyakarta.

“Waktu itu, lakonnya Swan Song (Nyanyian Angsa). Dari situ, saya tertarik mendalami seni peran,” kata Slamet saat ditemui di sela-sela acara ulang tahunnya, Sabtu (26/1).

Usai lulus dari SMA Negeri 1 Yogyakarta, Slamet memutuskan masuk Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Lantas ke Akademi Film Nasional Universitas Jayabaya, Jakarta.

Slamet muda bercita-cita menjadi sutradara. Namun, dia juga pernah berkeinginan menjadi penata pentas. Alasannya, dia punya kecintaan terhadap seni lukis. Latar belakang pendidikan dia pun penata artistik.

Seluruh keinginannya itu tercapai. Setelah berproses dalam beragam pentas teater, dia memulai karier di layar lebar pada 1971.

Sanggar Teater Populer dibangun pada 1982. /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Sebagai aktor, Slamet sudah bermain dalam 42 judul film. Film pertamanya berjudul Wadjah Seorang Laki-Laki (1971). Film terakhirnya Calon Bini, yang akan rilis pada 14 Februari 2019 nanti. Selain menjadi aktor, Slamet juga terlibat sebagai penata skrip, koordinator produksi, penulis skenario, penata artistik, dan penata musik.

Slamet pun pernah menjadi sutradara film Marsinah (Cry Justice) (2000), Telegram (1997), Langitku Rumahku (1989), Kasmaran (1987), Kodrat (1986), Kembang Kertas (1984), Ponirah Terpidana (1983), Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (1980), dan Rembulan dan Matahari (1979).

Slamet mengatakan, meski mediumnya berbeda, berakting untuk film dan teater memiliki dasar dan tujuan sama.

“Pokok tujuannya adalah berkomunikasi, menyampaikan pesan. Kalau di teater, saya berhadapan dengan lawan main dan mata penonton. Sedangkan di film, mata audiens diwakili mata kamera,” ujar Slamet. Dasar bermain film sendiri, dia peroleh melalui berlatih teater.

Sepanjang kariernya di dunia film, Slamet sempat menorehkan prestasi manis. Dia meraih Piala Citra kategori pemeran utama pria terbaik dalam film Ranjang Pengantin (1975), penata artistik terbaik dalam film November 1828 (1979), dan pemeran utama pria terbaik dalam film Di Balik Kelambu (1983).

Slamet menuturkan, seni peran menitikberatkan pada kontrol diri. Dia berkisah, dalam sebuah lomba puisi, bila dia melihat pembawaan peserta yang berdeklamasi sembari menggebrak meja, dirinya merasa terusik.

“Sebetulnya keindahan itu bukan pada kepalan tangan, atau gebrakan meja. Yang betul adalah jihad fi sabilillah. Taklukkanlah dirimu lebih dulu. Itulah keindahan,” kata dia.

Lebih lanjut, kata dia, sebagai sebuah bentuk kesenian, akting wajib mencakup nilai baik, benar, dan bagus. Selain itu, harus dilandasi niat baik untuk memuliakan kemanusiaan, dan kreativitas berakting mesti memiliki landasan kaidah teknis mendasar, benar, dan bisa dipertanggung jawabkan.

Aktris senior Christine Hakim saat menghadiri perayaan ulang tahun Slamet Rahardjo, Sabtu (26/1). /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Nah, semuanya harus bagus dengan penyajian secara estetis,” ujarnya.

Rekan Slamet, Niniek L. Karim, yang juga anggota Teater Populer, memandang Slamet sebagai aktor tulen. Slamet, kata Niniek, punya intuisi artistik dan kedalaman akting yang kuat.

“Dalam membaca naskah, bukan hanya nalar, tapi intuisi artistik menjalar hingga seluruh tubuhnya,” kata Niniek saat berbincang dengan reporter Alinea.id melalui sambungan telepon, Jumat (25/1).

Sementara rekan Slamet lainnya, Christine Hakim mengatakan, Slamet punya kepekaan untuk membuat teman main merasa nyaman dalam berakting. Christine merasakan sendiri saat dia berduet dengan Slamet dalam film Cinta Pertama (1973).

“Slamet mampu menggali persoalan yang dialami tokoh dalam cerita,” ujar Christine saat ditemui di sanggar Teater Populer, Jakarta, Sabtu (26/1).

Sebagai anggota Teater Populer yang generasinya jauh dari Slamet, aktor Kiki Narendra pun merasakan sentuhan gaya Slamet dalam melatih teater. Dia membandingkan Slamet dengan Guru Miyagi di film Karate Kid (1984).

“Dia (Slamet) mendidik bukan sebagai guru yang menjelaskan di depan kelas, tapi dengan contoh dan tindakan,” ujar Kiki, yang juga ditemui di sanggar Teater Populer, Jakarta, Sabtu (26/1).

Sanggar Teater Populer di Jalan Kebon Pala I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (26/1) ramai dengan kehadiran puluhan tamu. Hari itu, berlangsung perayaan ulang tahun aktor senior Slamet Rahardjo Djarot yang ke-70. Kakak penata musik dan politikus Eros Djarot itu lahir pada 21 Januari 1949.

Dalam acara itu, hadir pelaku seni yang tumbuh dari lingkaran Teater Populer—grup teater yang dirintis mendiang Teguh Karya, di antaranya aktris senior Sylvia Nainggolan dan Christine Hakim. Penyair sekaligus rekan Slamet di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sapardi Djoko Damono pun hadir.

Belajar akting dari Slamet

Slamet tentu saja sudah kenyang makan asam garam dunia hiburan tanah air. Dia kesengsem dengan dunia peran, saat menyaksikan akting menawan Teguh Karya dan Henky Solaiman dalam pementasan di TVRI Yogyakarta.

“Waktu itu, lakonnya Swan Song (Nyanyian Angsa). Dari situ, saya tertarik mendalami seni peran,” kata Slamet saat ditemui di sela-sela acara ulang tahunnya, Sabtu (26/1).

Usai lulus dari SMA Negeri 1 Yogyakarta, Slamet memutuskan masuk Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Lantas ke Akademi Film Nasional Universitas Jayabaya, Jakarta.

Slamet muda bercita-cita menjadi sutradara. Namun, dia juga pernah berkeinginan menjadi penata pentas. Alasannya, dia punya kecintaan terhadap seni lukis. Latar belakang pendidikan dia pun penata artistik.

Seluruh keinginannya itu tercapai. Setelah berproses dalam beragam pentas teater, dia memulai karier di layar lebar pada 1971.

Sanggar Teater Populer dibangun pada 1982. /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Sebagai aktor, Slamet sudah bermain dalam 42 judul film. Film pertamanya berjudul Wadjah Seorang Laki-Laki (1971). Film terakhirnya Calon Bini, yang akan rilis pada 14 Februari 2019 nanti. Selain menjadi aktor, Slamet juga terlibat sebagai penata skrip, koordinator produksi, penulis skenario, penata artistik, dan penata musik.

Slamet pun pernah menjadi sutradara film Marsinah (Cry Justice) (2000), Telegram (1997), Langitku Rumahku (1989), Kasmaran (1987), Kodrat (1986), Kembang Kertas (1984), Ponirah Terpidana (1983), Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (1980), dan Rembulan dan Matahari (1979).

Slamet mengatakan, meski mediumnya berbeda, berakting untuk film dan teater memiliki dasar dan tujuan sama.

“Pokok tujuannya adalah berkomunikasi, menyampaikan pesan. Kalau di teater, saya berhadapan dengan lawan main dan mata penonton. Sedangkan di film, mata audiens diwakili mata kamera,” ujar Slamet. Dasar bermain film sendiri, dia peroleh melalui berlatih teater.

Sepanjang kariernya di dunia film, Slamet sempat menorehkan prestasi manis. Dia meraih Piala Citra kategori pemeran utama pria terbaik dalam film Ranjang Pengantin (1975), penata artistik terbaik dalam film November 1828 (1979), dan pemeran utama pria terbaik dalam film Di Balik Kelambu (1983).

Slamet menuturkan, seni peran menitikberatkan pada kontrol diri. Dia berkisah, dalam sebuah lomba puisi, bila dia melihat pembawaan peserta yang berdeklamasi sembari menggebrak meja, dirinya merasa terusik.

“Sebetulnya keindahan itu bukan pada kepalan tangan, atau gebrakan meja. Yang betul adalah jihad fi sabilillah. Taklukkanlah dirimu lebih dulu. Itulah keindahan,” kata dia.

Lebih lanjut, kata dia, sebagai sebuah bentuk kesenian, akting wajib mencakup nilai baik, benar, dan bagus. Selain itu, harus dilandasi niat baik untuk memuliakan kemanusiaan, dan kreativitas berakting mesti memiliki landasan kaidah teknis mendasar, benar, dan bisa dipertanggung jawabkan.

Aktris senior Christine Hakim saat menghadiri perayaan ulang tahun Slamet Rahardjo, Sabtu (26/1). /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Nah, semuanya harus bagus dengan penyajian secara estetis,” ujarnya.

Rekan Slamet, Niniek L. Karim, yang juga anggota Teater Populer, memandang Slamet sebagai aktor tulen. Slamet, kata Niniek, punya intuisi artistik dan kedalaman akting yang kuat.

“Dalam membaca naskah, bukan hanya nalar, tapi intuisi artistik menjalar hingga seluruh tubuhnya,” kata Niniek saat berbincang dengan reporter Alinea.id melalui sambungan telepon, Jumat (25/1).

Sementara rekan Slamet lainnya, Christine Hakim mengatakan, Slamet punya kepekaan untuk membuat teman main merasa nyaman dalam berakting. Christine merasakan sendiri saat dia berduet dengan Slamet dalam film Cinta Pertama (1973).

“Slamet mampu menggali persoalan yang dialami tokoh dalam cerita,” ujar Christine saat ditemui di sanggar Teater Populer, Jakarta, Sabtu (26/1).

Sebagai anggota Teater Populer yang generasinya jauh dari Slamet, aktor Kiki Narendra pun merasakan sentuhan gaya Slamet dalam melatih teater. Dia membandingkan Slamet dengan Guru Miyagi di film Karate Kid (1984).

“Dia (Slamet) mendidik bukan sebagai guru yang menjelaskan di depan kelas, tapi dengan contoh dan tindakan,” ujar Kiki, yang juga ditemui di sanggar Teater Populer, Jakarta, Sabtu (26/1).

Memimpin Teater Populer

Teguh Karya membentuk Teater Populer pada 14 Oktober 1968. Awalnya, kelompok teater ini berjumlah 12 orang, berasal dan mahasiswa ATNI dan pemain teater independen. Termasuk Slamet. Selain itu, nama-nama anggota perdana Teater Populer, yakni Norbertus Riantiarno, Hengky Solaiman, Boyke Roring, dan Sylvia Nainggolan.

Ketika awal berdiri, mereka rutin mentas di Bali Room Hotel Indonesia, memainkan naskah-naskah adaptasi, seperti Kammerherre Alving karya Henrik Ibsen, Antara Dua Perempuan karya Alice Erya Gerstenberg, dan Jangan Kirimi Aku Bunga karya Norman Barasch.

Menurut N Riantiarno dalam buku Teguh Karya dan Teater Populer 1968-1993, Teguh Karya membangun rumah sebagai sanggar Teater Populer di Jalan Kebon Pala I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 1982.

Aktor senior Henky Solaiman, kolega Slamet Rahardjo. /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Sebelumnya, para anggota Teater Populer membuat tempat latihan dari bedeng-bedeng di dekat Hotel Indonesia. Kemudian, sanggar dibangun berupa rumah kecil seluas 180 meter persegi di Jalan Kebon Kacang IX/61, Jakarta Pusat.

Di sini, mereka menghasilkan aneka pementasan, seperti Perhiasan Gelas (1973), Perempuan Pilihan Dewa (1976), dan Dag Dig Dug (1978). Terakhir, mereka menempati rumah di Jalan Kebon Pala I, Tanah Abang, Jakarta Pusat sebagai sanggar, hingga kini.

Sanggar ini menjadi lokasi syuting film-film besutan Teguh Karya, seperti Di Balik Kelambu (1982) dan Ibunda (1986)—termasuk sinetron pertama Teguh, Pulang (1987).

Pada 11 Desember 2001, Teguh Karya berpulang. Kepemimpinan Teater Populer lantas berada di pundak Slamet.

Aktor Henky Solaiman mengatakan, Teguh mempercayakan denyut Teater Populer kepada Slamet, karena kapabilitas Slamet sekalu aktor yang kuat.

Slamet Rahardjo sudah lebih dari 40 tahun berkarya di panggung teater dan film. /Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

“Slamet yang paling kuat dan idealis di antara kami yang lain. Sementara Nano (Riantiarno) saat itu sudah mulai berinisiatif membentuk kelompok Teater Koma bersama Ratna (istrinya),” kata Henky, saat dijumpai di rumahnya di Kedoya Selatan, Jakarta Barat, Jumat (25/1).

Meski begitu, dalam sudut pandang Henky Solaiman, idealisme Slamet yang kuat menjadikan dia terkesan angkuh. Karya film yang dibesut Slamet, menurut Henky, adalah film-film bercerita yang serius.

Slamet Rahardjo merayakan ulang tahunnya yang ke-70.

Film pertama Slamet, Rembulan dan Matahari (1979) misalnya, dia sebut sangat berat untuk dinikmati, karena unsur teaternya yang pekat. Baru kemudian di film kelima, Langitku Rumahku (1990), kata Henky, Slamet mau berkompromi dengan kemasan film yang populer dan menghibur.

Akhirnya, di perayaan ulang tahunnya tersebut, Slamet Rahardjo menuturkan, kehidupan hingga usia 70 tahun merupakan sebuah pemberian yang melengkapi hidupnya.

“Tujuh puluh tahun itu bagi saya hanyalah aksesori. Saya sampai dalam keadaan sehat sekarang ini karena kehadiran dan perhatian saudara-saudara dan teman-teman,” katanya, disambut tepuk tangan dan sorak tamu undangan.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan