Perkara dalih “bisikan gaib” dan pentingnya peran psikologi forensik
Remaja berusia 14 tahun, melakukan pembunuhan terhadap ayah dan neneknya, serta membuat ibunya kritis, di rumahnya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada Sabtu (30/11) dini hari. Ayah, nenek, dan ibunya diserang menggunakan pisau ketika sedang tidur.
Dalam keterangannya kepada polisi, bocah yang duduk di bangku kelas satu SMA itu mengaku mendapat "bisikan gaib", saat kesulitan tidur.
Apa saja kasus-kasus pembunuhan dengan dalih bisikan gaib?
Di Indonesia, ada cukup banyak kasus yang pelakunya mengaku mendapat bisikan gaib, sebelum membunuh. Sepanjang 2024 ini saja, beberapa kali kasus serupa terjadi. Celakanya, kasus-kasus seperti ini menimpa keluarga terdekat.
Misalnya, seorang ibu berinisial SNF, 26 tahun, yang tega membunuh anaknya sendiri yang masih berusia 5 tahun di rumahnya di bilangan Summarecon Bekasi, Kota Bekasi pada Kamis (7/3). Sang ibu mengaku mendengar bisikan gaib yang mendorongnya membunuh anak sendiri.
Awal Mei 2024, seorang pria berinisial T, 50 tahun, membunuh dan memutilasi istrinya di Ciamis, Jawa Barat. Bahkan, dia mengumpulkan jasad istrinya di sebuah wadah, lantas disimpan di depan pos ronda kampung setempat. Warga mengungkapkan, pelaku mendapat bisikan gaib untuk pesugihan.
Kemudian, seorang kakak membunuh adiknya sendiri di Desa Sambeng, Blora, Jawa Tengah, Minggu (7/4) dini hari. Kepada polisi, pelaku mengaku mendapat bisikan gaib dari almarhum kakaknya untuk membunuh adiknya.
Apakah orang dengan skizofrenia berbahaya?
Walau polisi belum mengungkap motif pelaku membunuh ayah dan neneknya, tetapi gejala pelaku—dan beberapa kasus lain—mirip dengan ciri-ciri skizofrenia.
World Health Organization (WHO) menjelaskan, skizofrenia ditandai dengan gangguan signifikan dalam cara memandang realitas dan perubahan perilaku terkait waham terus menerus; halusinasi terus menerus; pemikiran yang tidak teratur; gejala negatif, seperti kemampuan bicara yang terbatas, ekspresi emosi yang terbatas, ketidakmampuan merasakan kesenangan, dan penarikan diri dari kehidupan sosial; serta agitasi berlebihan.
Orang dengan skizofrenia sering pula mengalami kesulitan terus menerus dengan keterampilan kognitif atau berpikir, seperti ingatan, perhatian, dan pemecahan masalah. Skizofrenia kerap dikaitkan dengan tekanan dan gangguan signifikan dalam aspek pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
WHO menekankan, belum ada penyebab tunggal skizofrenia. Diperkirakan, interaksi antara gen dan berbagai faktor lingkungan bisa menyebabkan skizofrenia. Faktor psikososial pun dapat memengaruhi munculnya skizofrenia. Lalu, penggunaan ganja secara berlebihan dikaitkan pula dengan peningkatan risiko gangguan ini.
Menurut Living With Schizophrenia, mitos semua penderita skizofrenia punya potensi kekerasan tidak didukung oleh bukti. Namun, orang yang hidup dengan skizofrenia memang punya risiko lebih tinggi terhadap perilaku berbahaya, seperti bunuh diri atau tindak kekerasan ketika mereka tengah dalam kondisi memburuk.
Akan tetapi, Living With Schizophrenia menegaskan, perilaku kekerasan relatif jarang terjadi. Sebagian besar orang dengan skizofrenia tak pernah melakukan kekerasan, bahkan tak menunjukkan perilaku berbahaya. Namun, sebagian kecil dapat berisiko kekerasan saat mereka mengalami gejala akut psikosis akibat pengaruh halusinasi dan delusi.
“Penelitian menemukan, dalam kasus perilaku berbahaya, delusi biasanya lebih berpengaruh dalam menyebabkan perilaku ekstrem dibandingkan halusinasi,” tulis Living With Schizophrenia.
Insiden perilaku kekerasan di antara penderita skizofrenia, sebut beberapa penelitian, antara 10% hingga 15%. Penelitian lainnya, tulis Living With Schizophrenia, menyebut 23%.
“Penelitian menunjukkan, orang dengan skizofrenia punya risiko perilaku kekerasan yang lebih rendah dibandingkan mereka dengan depresi, gangguan bipolar, gangguan kepribadian, atau masalah penyalahgunaan zat,” tulis Living With Schizophrenia.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Aggression and Violent Behavior (2017), para peneliti dari King’s College London mengungkap metode pembunuhan yang berbeda antara orang skizofrenia dan gangguan bipolar. Studi mereka menemukan, adanya hubungan signifikan antara skizofrenia dengan penggunaan senjata tajam.
“Pilihan senjata oleh individu dengan skizofrenia menunjukkan pelaku psikotik lebih sering menggunakan pisau dibandingkan metode pembunuhan lainnya,” tulis para peneliti.
“Penggunaan pisau diduga karena ketersediannya yang mudah diakses.”
Soal karakteristik korban, para peneliti menyebut, pelaku pembunuhan dengan skizofrenia lebih mungkin membunuh anggota keluarga, seperti orang tua, anak, pasangan, atau kerabat lainnya. Metode pembunuhan kontak dekat, seperti penusukan, sering dilakukan untuk membunuh anggota keluarga.
Mengapa psikologi forensik penting?
Hingga kini, polisi belum menyimpulkan motif pembunuhan remaja terhadap ayah dan neneknya. Demi mengungkap hal itu, polisi melibatkan psikolog forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor).
Merujuk Mind State Psychology, psikolog forensik berperan penting dalam kasus pidana. Mereka bertugas melakukan penilaian untuk menentukan kondisi mental pelaku saat melakukan kejahatan, yang bisa memengaruhi putusan tentang kondisi kejiwaan atau tanggung jawab yang berkurang. Mereka pun mengevaluasi kompetensi untuk diadili, memastikan pelaku memahami proses persidangan, dan dapat berpartisipasi dalam pembelaan terdakwa.
Peran penting lainnya adalah pembuatan profil kriminal, dengan menganalisis pola perilaku untuk membantu penegak hukum mengidentifikasi tersangka. Proses tersebut melibatkan pemahaman motivasi psikologis di balik aktivitas kriminal dan memberikan wawasan yang bisa mempersempit penyelidikan.
Seorang psikolog forensi bakal melakukan penilaian dan pengujian psikologis lewat teknik wawancara serta analisis perilaku dan profiling. Ada pula serangkaian tes, seperti kepribadian, kecerdasan, dan penilaian risiko perilaku kekerasan.
Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang komprehensif dan dapat diandalkan tentang kondisi psikologis seseorang, riwayatnya, dan faktor penting lainnya.
Analisis perilaku berguna dalam pembuatan profil kriminal, dengan menganalisis tempat kejadian perkara dan perilaku untuk menyimpulkan ciri-ciri dan memprediksi tindakan selanjutnya. Sedangkan pembuatan profil membantu penegak hukum mempersempit daftar tersangka dan memecah kejahatan dengan lebih efisien.