close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi minuman berpemanis. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi minuman berpemanis. Alinea.id/Oky Diaz
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 08 Desember 2020 19:39

Perlukah Indonesia tarik cukai minuman berpemanis? 

Cukai bisa mendongkrak harga dan menurunkan konsumsi harian minuman berpemanis.
swipe

Sesaat setelah pintu minimarket terbuka, Rino langsung berlari ke arah lemari pendingin. Tangan kecilnya langsung meraih sebuah botol minuman manis. Dengan mata bersinar, ia menyerahkan botol itu ke tangan sang ibu, Rusmiati, yang tergopoh-gopoh mengejarnya.

Melihat kelakuan putranya yang berusia 7 tahun itu, sang ibu geleng-geleng kepala. Rino merengek. Takut putranya mengamuk, Rusmiati bergerak ke kasir untuk membayar minuman yang diambil putra semata wayangnya itu. 

"Enggak bisa dilarang. Kalau mampir ke mari, pasti ngambil minuman. Kalau enggak dikasih, teriak. Susah dibilangin," kata Rusmiati saat berbincang dengan Alinea.id di depan minimarket di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Barat itu, Sabtu (5/12) petang. 

Berat badan Rino sekitar 26 kilogram. Itu cukup berlebih untuk bocah seusianya. Idealnya, anak seusia Rino punya berat badan sekitar 23 kilogram. Menurut Rusmiati, Rino kian "membengkak" sejak doyan jajan di luar rumah. 

"Dikasih nasi susah. Sukanya makanan sama minuman manis. Sejak empat tahun, makannya banyakan gula-gula pokoknya. Ya, es krimlah, biskuit, roti. Yang penting mau makan dah," kata perempuan yang mengaku hanya jadi ibu rumah tangga itu. 

Meski paham bahaya banyak mengonsumsi minuman manis terhadap kesehatan, Rusmiati mengatakan tak khawatir anaknya bakal kegemukan atau menderita obesitas. "Nanti juga ilang kalau udah gede. Anaknya aktif banget soalnya," kata dia. 

Bukan hanya bocah saja yang suka minuman manis. Kalangan remaja ibu kota pun demikian. Menurut riset bertajuk "Food-choice motives of adolescent in Jakarta: the roles of gender and family income" yang dilakukan Rizka Maulida dan koleganya pada 2014, kebanyakan remaja penyuka minuman manis berasal dari keluarga tak mampu. 

Dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Public Health Nutrition itu, Rizka dan peneliti lainnya menyurvei 681 siswa dari berbagai SMP di Jakarta. Dari hasil survei, para responden umumnya memilih minuman manis karena empat alasan utama: kenyamanan, kemudahan, harga, dan kesehatan. 

"Motif pilihan kemudahan akses dan harga lebih penting bagi remaja yang berasal dari keluarga yang berpendapatan rendah dan motif kesehatan berasosiasi negatif dengan kekayaan keluarga," tulis Rizka cs. 

Mengutip hasil riset-riset sebelumnya, para peneliti mengatakan, kebiasaan makan dan minum tak sehat semasa remaja bisa menimbulkan konsekuensi kesehatan yang membahayakan di masa depan. 

"Remaja yang kelebihan berat badan lebih mudah mengidap diabetes saat dewasa dan sebanyak 25-50% remaja yang remaja obesitas tetap menderita obesitas saat dewasa. Lebih jauh, remaja yang kerap makan makanan kaya lemak saat remaja juga potensial menderita penyakit jantung," tulis Rizka dan koleganya.

Di Indonesia, minuman berpemanis memang tergolong sangat mudah didapatkan. Minimarket dan toko kelontong menjualnya secara eceran. Tak ada larangan bagi anak kecil atau remaja untuk membelinya. Sebagian minuman manis bahkan harganya lebih murah ketimbang air mineral.  

Padahal, serangkaian studi--baik yang digelar di Indonesia maupun di luar negeri--menunjukkan bahwa mengonsumsi minuman berpemanis berkorelasi dengan meningkatnya prevalensi diabetes melitus dan obesitas. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani. /Foto Antara

Cukai minuman berpemanis kembali diwacanakan

Bahaya kebanyakan mengonsumsi minuman berpemanis dan berkarbonasi itu sempat disinggung Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam rapat bersama anggota Komisi XI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Februari lalu. 

"Di Indonesia, prevalensi diabetes melitus meningkat cukup tajam selama hampir 15 tahun terakhir. Tahun 2013 prevalensi 1,5%, kemudian naik menjadi 2% prevalensi di 2019," kata Sri Mulyani mengutip data Riskesdas Kementerian Kesehatan. 

Berbasis data itu, Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah berencana menarik cukai dari minuman berpemanis dan berkarbonasi. Selain dapat menambah pendapatan negara, kebijakan itu dikeluarkan demi mengurangi konsumsi minuman berpemanis. 

Rencananya, pemerintah bakal memberlakukan cukai berbasis volume. Untuk minuman botolan dan jenis minuman sachet lainnya, cukai dikenakan sebesar Rp1.500 per liter, sedangkan minuman berkarbonasi diusulkan sebesar Rp2.500 per liter. Total Rp6,25 triliun diprediksi bakal didapat negara dari cukai tersebut.

Kalangan pengusaha menolak rencana tersebut. Ada sejumlah argumentasi dikemukakan, semisal potensi cukai menggerus pendapatan pabrikan minuman kecil, dirugikannya konsumen miskin karena kenaikan harga, dan perihal belum adanya kajian ilmiah yang menunjukkan konsumsi minuman berpemanis menyebabkan obesitas dan diabetes di Indonesia. 

Kepada Alinea.id, peneliti program doktoral Public Health Law, University of Birmingham, Citta Widagdo mengatakan, argumen-argumen tersebut tidak valid. Mengutip kajian BMJ Global Health, Citta mengatakan, pemberlakuan cukai justru bakal lebih menyasar konsumen dari kalangan berpendapatan tinggi.

"Dalam 25 tahun ke depan, jika ada cukai gula, mereka yang berpendapatan rendah akan membayar cukai sebanyak US$0,5 miliar, dibandingkan dengan US$15,1 miliar untuk mereka yang kaya," kata Citta saat dihubungi, Selasa (8/12). 

Riset yang dimaksud Citta bertajuk "The potential impact of taxing sugar drinks on health inequality in Indonesia". Berbeda dengan negara-negara maju, menurut para peneliti di riset itu, konsumen minuman berpemanis di Indonesia lebih banyak dari golongan berpendapatan tinggi. 

Dengan berkurangnya konsumsi karena kenaikan harga yang didorong cukai, kasus-kasus kelebihan berat badan dan obesitas bisa dikurangi hingga 15.000 untuk perempuan dari kalangan berpendapatan rendah dan 417.000 untuk perempuan dari kalangan berpendapatan tinggi. Pada pria, angkanya berturut-turut 12.000 and 415.000. 

Riset itu, lanjut Citta, juga menyimpulkan kebijakan cukai minuman berpemanis bisa mencegah lebih dari 1 juta kasus diabetes. "Saat ini sepertiga pengeluaran BPJS untuk diabetes. Tanpa ada tindakan untuk meregulasi kadar gula yang diperbolehkan pada makanan dan minuman berpemanis, tingkat obesitas, serta resiko akibatnya seperti diabetes, akan terus meningkat secara cepat," jelas dia. 

Berkaca pada terus meningkatnya prevalensi obesitas dan diabetes, Citta mengatakan, kebijakan cukai minuman berpemanis mendesak untuk dikeluarkan pemerintah. Apalagi, sebagian negara tetangga juga sudah memberlakukannya sejak beberapa tahun lalu. 

"Di ASEAN, sejak tahun 2017 sudah ada Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Mereka memberlakukan ini karena total biaya kesehatan yang unsustainable apabila angka obesitas dan diabetes terus meningkat. Laos dan Kamboja juga sudah," ujar Citta.  

Botol-botol minuman soda dan berpemanis dipajang di salah satu minimarket di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Barat, Sabtu (5/6). Alinea.id

Cukai efektif kurangi konsumsi minuman bersoda

Di luar negeri, pajak dan larangan-larangan promosi minuman berpemanis memang telah lazim diberlakukan. Saat ini, setidaknya sudah ada 45 negara yang memberlakukan pajak bagi minuman manis, baik pajak per liter, berbasis kandungan gula, atau skema lainnya. 

Salah satu yang sukses memberlakukannya ialah Meksiko. Pada Januari 2014, cukai minuman berpemanis dan bersoda diberlakukan di negeri Sombrero itu. Untuk setiap liter minuman, produsen harus membayar sebesar 1 peso atau sekitar Rp700. Akibat pajak itu, harga minuman berpemanis naik sekitar 10%. 

Studi kolaborasi antara peneliti Mexican National Institute of Public Health dan University of North Carolina menunjukkan pemberlakuan cukai efektif mengurangi konsumsi minuman manis di Meksiko pada 2014 dan 2015 hingga 7,6%, yakni sebesar 5,5% pada tahun pertama dan 9,7 pada tahun kedua.

Berkuranganya konsumsi minuman berpemanis dan bersoda terutama terjadi pada keluarga dengan pendapatan rendah atau sekitar 11,7%. Pada saat yang bersamaan, terjadi kenaikan konsumsi minuman-minuman sehat yang tidak ditarik cukai sebesar 2,1%. Pembelian air mineral botolan bahkan meningkat hingga 16%.

Selama dua tahun kebijakan itu berlaku, pemerintah Meksiko meraup sekitar US$2,6 miliar atau sekitar Rp35 triliun dari cukai minuman soda. Duit itu sebagian dialokasikan untuk membangun fasilitas dan instalansi air minum dan air bersih di berbagai sekolah di Meksiko. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Kisah sukses juga datang dari tetangga Meksiko, Chile. Sama-sama memberlakukan cukai 2014, jumlah konsumsi minuman soda dan berpemanis di Chile juga turun cukup signifikan. Itu disimpulkan tim peneliti dari University York dalam riset bertajuk "The impact of the sugar tax in Chile: a bittersweet success?" yang kali pertama dipublikasikan pada 2018. 

Dalam risetnya, peneliti mengkaji data konsumsi rumah tangga bulanan warga Chile selama 3 tahun sebelum cukai diberlakukan dan setahun setelahnya. Hasilnya, terjadi penurunan konsumsi minuman berpemanis hingga 21% per bulan. Riset itu tidak menyertakan kajian dampak kesehatan dari pemberlakuan cukai. 

"Dari perspektif kesehatan, pengurangan konsumsi gula sedikit saja sudah memiliki efek positif terhadap kesehatan kita," kata Cuadrado, profesor dari University of Chile yang turut terlibat dalam riset tersebut. 

Pemberlakuan cukai tak selalu mulus. Di Meksiko, negara dengan prevalensi obesitas tertinggi di dunia, para pendukung cukai terlibat perang wacana yang panjang dengan kalangan pengusaha sebelum pemerintah dan parlemen menyetujui paket kebijakan cukai itu. Hingga kini, perusahaan produsen minuman juga masih terus melancarkan lobi-lobi agar nilai cukai diturunkan. 

Di AS, yang sejumlah negara bagiannya mulai memberlakukan pajak soda, perusahaan-perusahaan besar mendanai organisasi-organisasi dadakan untuk mengampanyekan bahan makanan murah pada 2018. Tujuannya supaya tidak ada pajak bagi barang-barang konsumsi sehari-hari, termasuk di antaranya minuman bersoda. 

Perlawanan penolak cukai juga diprediksi bakal terjadi di  Indonesia. Namun demikian, Citta berharap pemerintah tak melempem. Berkaca pada penanganan pandemi Covid-19, ia beranalogi, niat pemerintah untuk mempercepat laju roda perekonomian terkendala lantaran sejak awal tidak memprioritaskan kesehatan masyarakat.

"Sama seperti penyakit tidak menular. Apabila tidak ada kebijakan untuk mengontrol diabetes dan obesitas, produktivitas masyarakat akan terus berkurang dan pada akhirnya membebani pemerintah. Jokowi, melalui Menkes dan Menkeu, harus menunjukkan political will dan kemampuan untuk meresistensi lobi-lobi pengusaha demi mengedepankan kesehatan masyarakat," tutur dia.
 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan