Perspektif gen Z tentang pernikahan
Dalam survei IDN Research Institute bekerja sama dengan Advisia baru-baru ini, bertajuk Indonesia Gen Z Report 2024, menemukan bahwa sebagian besar responden generasi Z—620 responden di 10 kota besar dan aglomerasi—Indonesia belum menikah. Cuma 2% yang menyarakan sudah menikah, sementara 36% menyatakan niatnya di masa depan. Responden lainnya melihat pernikahan sebagai sebuah hal yang jauh dalam lintasan hidup mereka.
Saat IDN Research Institute dan Advisia melakukan survei lebih lanjutan, melibatkan 51 responden gen Z, sebanyak 73,7% menyatakan kesiapan untuk mempertimbangkan pernikahan, 21,1% cenderung mengatakan “mungkin”, dan 5,3%% menyatakan tidak terhadap gagasan pernikahan.
“Perbedaan menarik ini dapat dijelaskan karena relatif mudanya Gen Z, di mana pernikahan mungkin belum menduduki tempat utama dalam daftar prioritas mereka,” tulis IDN Institute.
IDN Institute menyebut, temuan ini bisa jadi menandakan penurunan pernikahan anak di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan data statistik yang menunjukkan, penurunan prevalensi perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun, turun dari 10,3% pada 2020 menjadi 9,23% pada 2021, dan menjadi 8,06% pada 2022.
Ada beberapa faktor utama yang memengaruhi pertimbangan gen Z terhadap pernikahan, sebut laporan itu, antara lain stabilitas keuangan, kesiapan mental, serta kesepakatan dalam nilai dan gaya hidup.
“Mereka tampaknya memiliki tingkat kehati-hatian yang lebih besar ketika mempertimbangkan pernikahan,” tulis laporan itu.
“Kewaspadaan ini, mungkin dipengaruhi oleh usia mereka, ketidakpastian keuangan, dan paparan terhadap berbagai konten digital dan berita mengenai kompleksitas kehidupan pernikahan.”
Di Amerika Serikat, tampaknya kondisi ini lebih ekstrem. Survei Thriving Center of Psychology pada Juli 2023 menunjukkan, dua dari lima gen Z dan milenial menyatakan pernikahan adalah tradisi yang sudah ketinggalan zaman.
“Meski gagasan tradisional seputar pernikahan mungkin mengalami pergeseran, 83% melaporkan bahwa mereka ingin menikah suatu saat nanti,” tulis The Hill.
“Namun, 85% juga melaporkan, mereka tak merasa pernikahan diperlukan untuk memiliki hubungan yang memuaskan dan berkomitmen.”
Sejalan survei IDN Times dan Advisia, laporan Thriving Center of Psychology juga menyebut, biaya dan perekonomian menjadi hambatan kaum muda untuk menikah. Sebanyak 73% menyatakan, menikah terlalu mahal.
Thriving Center of Psychology mensurvei 906 gen Z dan milenial yang menjalin hubungan namun belum menikah. Sebanyak 56% adalah milenial dan 44% adalah gen Z. Respondennya berusia 18-42 tahun, dengan rata-rata usia 29 tahun. Sebanyak 55% adalah perempuan, 40% lainnya laki-laki, dan 5% non-biner.
Dikutip dari New York Post, laporan bertajuk A Renaissance in Dating, Driven by Authenticity (Mei, 2023) mengungkap, gen Z berusia 18 hingga 25 tahun secara drastis mengubah cara berkencan, sehingga bakal berdampak besar ketika mereka memilih menikah. Data laporan ini berasal dari berbagai survei dan riset yang dilakukan terhadap ribuan orang di Australia, Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.
“Perkembangan pribadi, kesejahteraan emosional, dan komunikasi yang jelas dalam hubungan adalah prioritas bagi gen Z, yang mengarah pada pernikahan yang lebih kuat dan sehat,” ujar pakar global dalam bidang hubungan di Tinder, Paul C. Brunson, seperti dikutip dari New York Post.
“Namun, mereka kurang tertarik pada pernikahan dibandingkan generasi sebelumnya, dan lebih memilih fokus untuk menciptakan kehidupan yang memuaskan.”
Mengutip sebuah penelitian, Brunson mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, kepuasan pernikahan di negara-negara Barat rata-rata lebih rendah dibandingkan 20 tahun lalu.
Bagi kelompok usia 18 hingga 25 tahun yang disurvei, sebut New York Post, menikah ada di urutan ke-10 dalam daftar prioritas, ketika memikirkan tujuan jangka pendek dan panjang mereka. Sebagai perbandingan, generasi milenial menempatkan pernikahan dalam empat tujuan utama ketika mereka berada pada usia yang sama.
“Sebanyak 80% gen Z percaya bahwa perawatan diri adalah prioritas utama mereka ketika berkencan, dan 79% menginginkan calon pasangan yang punya pandangan yang sama,” tulis New York Post.
Akan tetapi, laporan The Knot Worldwide Furure of Marriage Report (Juni, 2023) menunjukkan hal berbeda. Disebutkan dalam laporan itu, 81% gen Z terbuka kemungkinan untuk menikah, satu dari dua orang mengatakan mereka “pasif” melihat hal itu.
“Faktanya, perasaan terkait pernikahan sangat menggembirakan (66%) dan antisipatif (72%). Hanya 8% yang menyatakan keyakinan bahwa pernikahan sudah ketinggalan zaman,” tulis The Knot.
“Sering kali, ada harapan untuk menikah dan memiliki anak untuk menyenangkan orang tua, memenuhi kebutuhan seseorang, membuktikan identitas dewasa dan seksualnya. Bahkan, untuk menegaskan, mereka diinginkan oleh orang lain,” kata profesor psikologi di Whittier College, Charles T. Hill kepada The Knot.
Keinginan belum menikah, sebut Hill, mungkin dipengaruhi pula oleh iklim ekonomi, sosial, dan politik. “Beberapa orang mungkin khawatir karena tidak mampu menghidupi pasangan dan anak-anak atau pernikahannya tidak berhasil,” katanya.
"Beberapa orang mungkin khawatir tentang keadaan dunia di masa depan sehubungan dengan perubahan iklim, inflasi, dan perpecahan politik, terutama dalam hal melahirkan anak."
Meski begitu, tulis The Knot, mayoritas gen Z dan milenial masih memprioritaskan mencari pasangan seumur hidup. Mereka melakukannya dengan hati-hati.
“Penelitian saya mengungkapkan bahwa kepribadian adalah faktor terpenting,” kata Hill. “Memiliki nilai-nilai, sikap, dan minat yang sama itu penting, sehingga Anda memiliki sesuatu untuk dibicarakan dan dilakukan bersama, selain keintiman secara fisik.”
The Knot menulis, berdasarkan prakiraan dan tren, mayoritas gen Z dan milenial yang lajang pada akhirnya akan menikah. Usia rata-rata untuk menikah mungkin berubah-ubah, tetapi hal ini masih jadi prioritas bagi kebanyakan orang.
“Pernikahan sebagai sebuah institusi akan tetap ada karena memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, dan masyarakat yang tidak dapat dengan mudah dipenuhi melalui interaksi jangka pendek,” ujar Hill. “Itu tidak berarti bahwa semua orang akan menikah, tapi banyak dan mungkin mayoritas akan menikah.”