close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi
icon caption
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 25 Desember 2018 00:35

Pesona Krakatau: Antara keindahan dan daya magis

Gunung Batuwara menggelegar bak guntur. Bumi bergoncang menakutkan. Langit gelap. Petir dan kilat sambar-menyambar.
swipe

Gunung Batuwara menggelegar bak guntur. Bumi bergoncang menakutkan. Langit gelap. Petir dan kilat sambar-menyambar.

Tak lama, badai angin dan hujan datang secara bertubi-tubi. Kengerian langsung tercipta hingga membuat seantero jagad raya gulita.

"Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra."

Teks Jawa Kuno bertajuk Pustaka Raja Parwa dari tahun 416 masehi mengisahkan dahsyatnya letusan Gunung Krakatau Purba. Gunung yang menjadi cikal bakal Gunung Krakatau, kemudian kembali sirna saat meletus pada 1883.

Tak terbayang dahsyatnya saat Krakatau Purba memisahkan Jawa dan Sumatra. Saat Gunung Krakatau musnah lantaran letusannya sendiri pada 26-27 Agustus 1883 saja telah meluluhlantakkan bumi.

Awan panas, gelombang tsunami bergulung-gulung yang menewaskan 36.000 jiwa, menjadi bencana mahadahsyat kala itu. 

Dentuman letusan terdengar hingga ke Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, yang jauhnya 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki saat akhir Perang Dunia II.

Erupsi Gunung Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama lebih dari dua hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York, Amerika Serikat.

Ratusan tahun kemudian, Krakatau yang dalam Bahasa Inggris disebut Krakatoa itu menjadi kaldera vulkanik. Setelah 40 tahun Gunung Krakatau erupsi, muncullah gunung api Anak Gunung Krakatau dari kaldera purba yang masih aktif itu.

Saban tahun, Anak Krakatau rerata bertambah tinggi 6 meter dan lebih lebar 12 meter. Artinya, sejak kemunculannya pada 1927, maka kini setelah 91 tahun berlalu, ketinggian Anak Gunung Krakatau minimal mencapai 534 meter.

Namun, saat ini ketinggian Anak Gunung Krakatau mencapai 230 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Sedangkan, sebelumnya, Gunung Krakatau memiliki ketinggian 813 Mdpl.

Pada Sabtu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.03 WIB, terjadi getaran setara dengan 3,4 SR di bawah laut. Getaran vulkanik itu membuat kepundan Gunung Anak Krakatau runtuh dan terjadi longsor di bawah laut. 

Tak lama berselang, sekitar 24 menit kemudian, gelombang laut Selat Sunda merambat hingga ke pantai. Setidaknya, sebanyak 373 orang meninggal dunia, ribuan luka-luka dan mengungsi, rumah hingga infrastruktur rusak parah di Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan.

Wisatawan tengah beraktivitas di Gunung Anak Krakatau.Alinea.id/Sukirno

Pesona Anak Krakatau

Bencana mahadahsyat yang pernah terjadi sejak era Rakata, ibu dari Gunung Krakatau, memang patut menjadi pelajaran bagi bangsa ini. Namun, bencana tsunami yang baru saja terjadi, mengingatkan akan pesona Gunung Anak Krakatau.

Kawasan Anak Gunung Krakatau memang kini menjadi objek wisata yang lengkap untuk sekadar menghabiskan akhir pekan bagi wisatawan. Paket yang ditawarkan pun terbilang lengkap.

Gunung api, terumbu karang, pasir putih, pantai elok, pulau-pulau eksotir, hingga masyarakat yang ramah menjadi daya tarik bagi pelancong. 

"Alhamdulillah masyarakat di Pulau Sebesi selamat, tidak ada korban. Mohon doanya saja," ujar Iwan, seorang warga Pulau Sebesi, Lampung Selatan saat dihubungi Alinea.id melalui sambungan telepon, Minggu (23/12).

Pulau Sebesi adalah salah satu dari gugusan kepulauan terdekat dengan Gunung Anak Krakatau. Di pulau ini, wisatawan biasa menginap di homestay dan penginapan yang dikelola swadaya oleh masyarakat setempat.

Dari Pulau Sebesi, pelancong dapat berpetualang menikmati pesona gunung di tengah laut, pemandangan alam bawah laut nan menakjubkan, bercengkrama dengan deburan ombak yang menenangkan.

Keindahan pasir putih di Pulau Sebuku Besar, tak jauh dari Gunung Anak Krakatau.Alinea.id/Sukirno

Tak jauh dari Pulau Sebesi, ada dua pulau yang tak kalah menakjubkan, yakni Pulau Sebuku Besar dan Pulau Sebuku Kecil. 

Pulau tak berpenghuni ini memiliki pasir putih dan air yang jernih. Terumbu karang dan kawanan ikan yang sungguh sayang untuk dilewatkan. 

Menjelang petang, Pulau Umang-umang yang terletak tak jauh dari Sebesi juga patut dieksplorasi. Pulau tak berpenghuni itu sungguh menakjubkan.

Bulir-bulir pasir putih menghampar diselingi dengan bebatuan granit besar, mengingatkan akan pantai-pantai di Belitung.

Saat pagi menjelang, tepat pukul 03.00 WIB, kapal motor milik nelayan telah siap mengantarkan para pejalan dari Pulau Sebesi menuju Gunung Anak Krakatau. Perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam sembari menikmati indahnya sinar mentari yang terbit di ufuk Timur.

Sekitar pukul 06.00 WIB, tibalah di Gunung Anak Krakatau. Perahu nelayan dapat langsung merapat di pantai karena memang kedalaman air terbilang curam. 

Penduduk setempat melarang pengunjung untuk bermain air di pantai Gunung Anak Krakatau, berbahaya. Bahkan, jika status Gunung Anak Krakatau tengah erupsi, siapapun dilarang mendekat dalam radius 2-3 kilometer.

Keanehan mulai terlihat di pantai Gunung Anak Krakatau. Pasir pantai sangat halus berwarna hitam pekat. Berbeda dengan pantai-pantai di pulau-pulau sekitarnya yang berwarna putih halus.

Gunung Anak Krakatau dijaga oleh personel TNI, sehingga traveler juga diperbolehkan untuk mendirikan tenda di area pantai selama kondisi memungkinkan.

Saat kondisi stabil, wisatawan diperbolehkan untuk mendaki Gunung Anak Krakatau. Pendakian hanya boleh sampai ke punggung gunung dengan memakan waktu sekitar 45 menit.

Pendakian Gunung Anak Krakatau saat kondisi tengah stabil.Alinea.id/Sukirno

Kontur tanah berpasir dan batu membuat pendakian diwajibkan mengenakan sepatu. Kubah lava yang masih aktif tentu dilarang untuk didaki oleh siapapun. Kepulan asap terus tampak dari kubah lava. 

Di punggung gunungnya saja, pemandangan sangat membuat decak kagum. Bila memandang berkeliling, hamparan laut Selat Sunda dan pulau-pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau tampak begitu indah. 

Apalagi, bila sinar matahari masih hangat, jangan sampai terlewat untuk selfie dan mengunggahnya di media sosial. Jangan lama-lama di atas Gunung Anak Krakatau lantaran teriknya sinar matahari tanpa ada pepohonan.

Penjelajahan perahu nelayan itu mengajak wisatawan untuk menikmati pesona bawah laut terbaik di sekitar Anak Gunung Krakatau. Sebuah tempat yang dinamakan Lagoon Cabe berada tak jauh dari Krakatoa.

Lagoon Cabe menjadi sajian keindahan terakhir untuk menikmati trip Gunung Anak Krakatau. Snorkeling bersama Nemo alias ikan badut tak dapat dilewatkan begitu saja.

Jernihnya air dan indahnya terumbu karang di Lagoon Cabe menjadikan wisatawan tak sanggup bila tidak menceburkan diri ke dalamnya. Sungguh keindahan yang menyimpan daya magis ala Krakatoa.

Untuk menuju ke Gunung Anak Krakatau, rute yang dapat ditempuh dari Jakarta adalah melalui pelabuhan Merak Banten menuju Bakauheni Lampung. Meski berada di Selat Sunda, menuju Gunung Anak Krakatau lebih mudah melalui jalur Provinsi Lampung.

Dari Pelabuhan Bakauheni, transportasi darat berupa angkutan kota hingga menyewa mobil minibus menjadi pilihan untuk menuju Pelabuhan Canti, Rajabasa, Lampung Selatan. Nah, setelah itu barulah menggunakan perahu nelayan untuk menuju Pulau Sebesi.

Perahu nelayan itu akan mengantarkan pengunjung menuju Pulau Sebesi, lokasi terdekat dengan Anak Gunung Krakatau. Warga yang mayoritas berdialek Sunda menghuni pulau yang memiliki penginapan berpendingin ruangan dengan tarif murah itu.

Semoga, Gunung Anak Krakatau kembali 'tidur' dan memberikan penghidupan bagi warga yang bergantung pada pesona Rakata alias Krakatoa.

img
Sukirno
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan