

Petaka Gunung Gede dan mitos pantangan mendaki saat haid

Sejak dirilis pada Kamis (6/2) di bioskop, film Petaka Gunung Gede mengundang perhatian penggemar sinema Indonesia. Film horor yang diangkat dari podcast pengalaman pendakian dua sahabat, yakni Maya Azka dan Paramita atau Ita pada 2007 di Gunung Gede, Jawa Barat itu, bukan cuma menghadirkan teror hantu di Gunung Gede. Namun juga menyematkan mitos yang hidup di kalangan pendaki.
Dikisahkan, teror hantu saat pendakian Maya (Arla Ailani) dan Ita bersama abang Maya serta empat kawannya dipercaya terjadi lantaran Ita sedang haid. Ita, yang diperankan Adzana Ashel, mengalami beberapa kali kesurupan. Tujuh pendaki ini pun bertemu sosok makhluk halus dan diganggu dengan suara-suara aneh.
Selama ini memang hidup mitos perempuan yang sedang haid pantang mendaki gunung. Mitos itu tidak hanya dikenal di Gunung Gede, tetapi juga di beberapa gunung lainnya. Salah satunya di Gunung Prau di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Menurut Windy Lestari dalam skripsinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2021), di beberapa jalur pendakian Gunung Prau, misalnya jalur pendakian via Dwarawati, penjaga basecamp tidak menganjurkan pendaki perempuan untuk melewati jalur itu ketika sedang haid. Karena penjaga hutan atau ranger dan warga sekitar percaya, ketika membawa pendaki dalam keadaan haid, biasanya akan terjadi sesuatu, seperti kesurupan makhluk halus, tersasar, atau celaka.
Windy juga menulis, seorang ranger Gunung Prau pernah bertemu sembilan pendaki yang tersasar di sekitar ladang kentang miliknya, saat mencari jalur ke puncak. Ranger itu bertanya, apakah ada yang sedang menstruasi. Ternyata salah seorang pendaki memang ada yang sedang haid.
“Adanya mitos perempuan haid dan kejadian pendaki kesasar, dari pengalaman ini menjadi sebuah pertanda keberadaan mitos merupakan ketentuan atau aturan yang harus dijalani bagi siapa pun yang berada di wilayah tersebut,” tulis Windy.
Windy menulis, masyarakat menganggap perempuan haid sedang berada dalam keadaan yang kotor. Maka, dalam kondisi ini, tidak dianjurkan bagi pendaki perempuan untuk melakukan pendakian di gunung-gunung, terutama di gunung yang masih dianggap suci, sakral, dan memiliki aturan ketat di dalam masyarakatnya.
Dalam jurnal Best Practise & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology (2017), para peneliti menulis, kisah-kisah mistis tentang menstruasi berlimpah dalam legenda dan budaya kuno. Kisah-kisah ini menggambarkan darah menstruasi secara beragam sebagai sesuatu yang sakral, hadiah dari pada dewa, atau hukuman atas dosa, tetapi hampir selalu bersifat magis dan kuat.
Sebagian besar agama di dunia, tulis para peneliti, memandang menstruasi dengan berbagai tingkat keparahan, sebagai masalah besar, tanda ketidakmurnian dan kenajisan. Oleh karena itu, perempuan yang sedang menstruasi diisolasi, dilarang mencemari tempat-tempat suci, dan dijauhi.
“Menstruasi merupakan fungsi alami tubuh yang diselimuti mitos, mengandung simbolisme baik maupun buruk, dan menjadi objek berbagai tabu dan ritual dalam semua budaya tradisional,” tulis para peneliti.
Lebih lanjut, para peneliti mengatakan, banyak dari mitos dan salah persepsi budaya itu bertahan hingga kini. Hal itu tercermin dalam berbagai sikap negatif terhadap menstruasi, yang dapat memiliki implikasi serius dan langsung terhadap kesehatan reproduksi.
“Mitos dan salah persepsi tersebut terus memberikan dampak besar pada cara dan sejauh mana perempuan mencari perawatan medis untuk gangguan menstruasi, terutama pendarahan rahim abnormal dan kejadian terkait, seperti menarche dan menopause,” tulis para peneliti.
Menurut Windy Lestari, banyaknya kejadian atau kebetulan yang berkaitan dengan mitos, akhirnya menghasilkan pembiasaan atau habitualisasi. Habitualisasi mitos yang berlangsung lama bakal menjadi sebuah tradisi atau kearifan lokal yang kuat dalam sosiokultural masyarakat.
Selain berasal dari kepercayaan masyarakat yang diwariskan turun-temurun, menurut Windy, mitos juga dibentuk sebagai upaya yang dilakukan warga terkait dengan kondisi lingkungan dan alam suatu gunung. Terutama di gunung-gunung yang sudah menjadi lokasi wisata.
Pada kenyataannya, kondisi-kondisi yang berhubungan dengan mitos, sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah. Menurut Windy, ketika perempuan sedang dalam kondisi haid, dia memiliki kondisi fisik maupun mental karena hormon yang tidak stabil.
Healthline menyebut, ada beberapa tanda yang dialami perempuan selama menstruasi, di antaranya kram perut, kelelahan, perut kembung, nyeri punggung bawah, sakit kepala, dan perubahan suasana hati.
“Keadaan ini dapat memengaruhi kondisi tubuh pendaki,” tulis Windy.
Di dalam film Petaka Gunung Gede pun diceritakan, setelah mereka kembali ke rumah masing-masing, Ita masih mengalami hal gaib. Dia jatuh sakit, perutnya membuncit, hingga akhirnya meninggal. Saat dirawat di rumah sakit, dia kerap dihantui makhluk gaib yang sama seperti yang dilihat Maya di rumah Ita.
Maya juga bercerita, dia tak percaya kejadian gaib selama pendakian dan setelahnya lantaran Ita mendaki dalam keadaan haid. Di akhir cerita dikisahkan, petaka itu terjadi karena kiriman santet dari lawan bisnis ayah Ita. Rakib yang diperankan Teuku Rifnu Wikana. Ita diteror karena membuang barang kiriman santet ke kawasan Gunung Gede atas perintah ayahnya.
Tidak ada aturan resmi pula yang melarang pendaki perempuan naik gunung saat haid. Di sisi lain, menurut dokter konsultan Indiahikes, Shreelakshmi, olahraga yang berlebihan tidak disarankan untuk perempuan yang tengah haid.
“Namun, berjalan-jalan, mendaki gunung, dan menjalani kehidupan yang aktif selama menstruasi dapat membantu meredakan kram,” ujar Shreelakshmi di situs Indiahikes.
Fakta lainnya, banyak pendaki yang mengalami menstruasi melaporkan kram mereka berkurang drastis, atau haid mereka hilang sama sekali karena aktivitas fisik. Hal itu diungkap dalam penelitian David R. Boulware dari Universitas Minnesota, yang dipublikasikan di Wilderness & Environmental Medicine (2007). Dia melakukan penelitian terhadap pendaki pegunungan Appalachian di Amerika Utara.
“(Sebanyak) 41% mengalami menstruasi yang lebih pendek dan 22% mengalami amenore,” tulis Boulware.


Berita Terkait
Apa yang bisa dilakukan dengan industri film kita?
Tebusan Dosa: Usaha mengubur kesalahan masa lalu
Sumala: Dendam si anak iblis dan kekejaman orang tua
Polemik Kiblat dan bagaimana film horor religi yang baik

