Petaka ledakan petasan di malam Tahun Baru 1971
Kepolisian Daerah Metro Jaya (Polda Metro Jaya) mengeluarkan instruksi yang melarang penggunaan petasan di perayaan malam Tahun Baru 2020. Akan tetapi, kepolisian mengizinkan penggunaan kembang api, dengan panjang dua hingga 9 inci.
Kembang api pun hanya diperbolehkan di acara yang sudah punya izin, seperti pesta kembang api di Ancol, Jakarta Utara.
Sementara itu, Kepala bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, kepolisian akan menggelar Operasi Cipta Kondisi untuk menertibkan dan menindak produsen, distributor, dan penjaja petasan.
“Beberapa kepolisian daerah sudah melakukan upaya itu dan saat ini sudah dilakukan juga pemusnahan terhadap petasan-petasan yang telah disita. Harapannya, malam tahun baru tidak diwarnai lagi dengan petasan-petasan tersebut,” ujar Asep di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (30/12).
Perkara petasan yang dianggap biang keladi perayaan tahun baru pernah terjadi pada awal 1971. Bahkan, Presiden Soeharto sampai turun tangan membawa masalah petasan ke sidang kabinet.
Pesta berubah duka
Saat itu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat menjadi sentral perayaan Tahun Baru 1971. Kompas edisi 4 Januari 1971 menulis, warga Jakarta sudah memadati area sekitar kawasan MH Thamrin sejak pukul 17.00 WIB. Pesta petasan akan dihelat saat pergantian tahun.
Persis di atas jembatan penyeberangan Sarinah, terpasang lima buah tiang gantungan petasan. Masing-masing setinggi sekitar lima meter.
Pukul 23.30 WIB, lautan manusia dikejutkan dengan kedatangan tiga pria dari arah Hotel Indonesia. Mereka membawa gulungan sebesar ban mobil Fiat.
Dikawal petugas bersenjata, mereka membelah kerumunan sembari berteriak-teriak. “Awas! Yang memegang rokok jangan dekat-dekat!”
Gulungan sebesar ban mobil Fiat itu adalah petasan renceng sebesar ibu jari tangan, dengan panjang sekitar lima meter.
Disinyalir, petasan itu disediakan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Bang Ali pun menyediakan kursi khusus untuk pasangan muda-mudi yang menonton petasan tahun baru di depan air mancur Balaikota.
Tengah malam, terdengar dari kejauhan rentetan bunyi petasan, diselingi gemuruh dentuman bom. Petasan menghiasi langit malam Jakarta, dengan lanskap gedung-gedung megah yang menjulang tinggi.
“Entah sampai berapa jam bunyi petasan itu berakhir. Karena menurut kabar-kabar sebelumnya, Bang Ali akan menghabiskan kira-kira 41 peti petasan buatan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan Singapura,” tulis Kompas, 4 Januari 1971.
Saling lempar petasan tak terhindarkan. Nahas, korban berjatuhan akibat sambaran petasan lawannya di seberang jalan, membaur dengan riuh bunyi terompet.
Hingga pukul 01.00 WIB, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat mencatat, ada 15 korban ledakan petasan. Kompas edisi 4 Januari 1971 melaporkan, seorang anak berusia 11 tahun terluka parah di tangan dan perutnya. Sedangkan korban lainnya, terluka di mata dan telinga.
Di samping korban ledakan petasan, RS Cipto Mangunkusumo juga menangani 13 korban kecelakaan lalu lintas, satu korban penusukan, dan satu korban peluru nyasar.
Akan tetapi, catatan jatuhnya korban saat perayaan Tahun Baru 1971 jauh lebih sedikit dibandingkan 1970. Majalah Variasari edisi 16 Januari 1970 menulis, korban akibat ledakan petasan di malam Tahun Baru 1970 sebanyak 51 orang. Dari 51 orang itu, dua di antaranya meninggal dunia. Selain itu, ada 38 korban kecelakaan lalu lintas dan 12 korban peluru nyasar.
Peraturan terkait petasan
Majalah Ekspres edisi 22 November 1971 menyebut, ada empat faktor mengapa petasan menjadi petaka. Kesimpulan ini diambil setelah wartawan Ekspres melakukan observasi di Jakarta, Bandung, dan Semarang.
Pertama, para perajin petasan melanggar peraturan khusus terkait bahan peledak. Kedua, para perajin petasan terjebak promosi terknologi petasan yang bersaing dari segi daya ledakan.
Ketiga, para penyulut petasan tak mempedulikan norma sosial. Keempat, banyak celah dalam payung hukum.
Menurut Ekspres, sebenarnya Pemprov DKI Jakarta sudah punya aturan khusus terkait pengamanan kegiatan menyulut petasan dan kembang api sejak 1968. Peraturan itu ada dalam lembaran-lembaran daerah Nomor 53 Tahun 1968, Nomor 135 Tahun 1969, Nomor 48 Tahun 1970, dan Nomor 31 Tahun 1971.
Meski begitu, para perajin petasan sering menabrak peraturan. Mereka membuat petasan dengan teknik dan daya ledak layaknya granat.
“Konon, petasan sejenis ini diproduksi di Parahyangan, Jawa Barat. Petasan ini melanggar Lembaran Daerah Pemerintah Jakarta 42/1971 terkait larangan penggunaan bahan peledak dari detonator, peluru, dan dinamit,” tulis Ekspres, 22 November 1971.
Presiden Soeharto dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud sempat menyerukan menghindari kebiasaan menyulut petasan saat tahun baru. Alasannya, bukan warisan nenek moyang dan keharusan agama.
Seruan itu mendapatkan tanggapan beberapa pihak. Ketua Perkumplan Advokat Indonesia (Peradin) Jawa Tengah Soemarno P. Wirjanto menyarankan pemerintah mengkaji ulang wacana pelarangan petasan.
“Melarang sesuatu yang tidak mungkin ditaati masyarakat adalah sesuatu hal yang keliru,” kata Soemarno, seperti dikutip dari Ekspres, 22 November 1971.
Masalah petasan pun disinggung Soeharto di sidang kabinet paripurna pada Oktober 1971. Merdeka edisi 13 Oktober 1971 menulis, selama nyaris lima jam, Presiden Soeharto memimpin sidan kabinet, membahas pajak, indeks harga bahan pokok, realisasi anggaran belanja periode 1971/1972, penyusunan anggaran belanja peride 1972/1973, komunikasi dengan partai politik, dan pelarangan petasan.
Kemudian, sekretaris kabinet Soedharmono menyampaikan, Presiden Soeharto menginstruksikan kepada Polri dan instansi terkait agar mengawasi produksi dan penjualan petasan karena hari raya dan Tahun Baru 1972 semakin dekat.
Merdeka edisi 13 Oktober 1971 melaporkan, pemerintah hanya mengizinkan petasan buatan dalam negeri untuk dinyalakan. Pemerintah pun, menurut Kompas edisi 13 Oktober 1971, melarang impor petasan dari luar negeri.
Hanya petasan jenis cabai rawit dan lombok merah yang diperkenankan disulut saat perayaan Tahun Baru 1972. Menurut Soeharto, keputusan pelarangan impor petasan dan pembatasan jenis petasan dilakukan demi kepentingan dan ketertiban, tanpa ada maksud untuk mengurangi gairah keramaian perayaan tahun baru.
“Hal ini perlu dilakukan untuk ketertiban dan keamanan penduduk, mengingat banyaknya korban mercon pada tahun-tahun yang lampau,” tulis Pikiran Rakjat,13 Oktober 1971.
Ekspres edisi 22 November 1971 mengabarkan, keputusan melarang impor petasan menyebabkan pengusaha merugi. Pasalnya, petasan impor terlanjur dibeli, sebagian telah mencapai pelabuhan, dan sisanya telah beredar.
“Andaikata tindakan ini telah diputuskan pada bulan Juni lalu akan bisa diterima tanpa menimbulkan kerugian bagi importir,” ujar Wakil Ketua Badan Pimpinan Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Zahri Ahmad, seperti dikutip dari Ekspres, 22 November 1971.
Pada kenyataannya, di perayaan tahun baru selanjutnya, penggunaan petasan tetap ada. Majalah Gapura edisi 11 Februari 1974 menulis, pada 1972 tercatat 43 pelanggar dengan barang bukti petasan sebanyak 68 karung seharga Rp1,5 juta. Sementara pada 1973, pelanggaran turun menjadi hanya 21 kasus, dengan barang bukti petasan sebanyak 50 karung, seharga Rp500.000.