Di masa pandemi Covid-19 ini, banyak perusahaan tidak mampu beradaptasi dengan keadaan. Imbasnya, karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Tak hanya karena pandemi, PHK dapat terjadi kapan saja, baik saat sedang krisis ekonomi, atau ketika perusahaan tak mampu beradaptasi dengan keadaan atau kalah teknologi, sehingga kompetitor lain menguasai pasar.
PHK kerap dianggap sebagai akhir dari segalanya bagi sebagian besar orang. Namun, beberapa orang justru menganggap bahwa PHK menjadi peluang karir kedua. Kondisi ini tergantung cara pandang orang itu sendiri.
Perencana Keuangan Budi Rahardjo mengatakan, seseorang perlu mengetahui bagaimana cara menghadapi situasi ini dengan tepat. Meski ada rasa marah dan kecewa, korban PHK perlu menerima situasi yang dialaminya.
“Kita mau tidak mau harus menerima situasi ini, sadar bahwa perusahaan kita boleh tutup, tapi kehidupan kita tidak. Ada listrik yang harus dibayar, ada anak yang harus dibiayai, ada sekolah yang harus dibayar juga, dan berbagai keperluan kita,” katanya dalam siaran Infonomic, Rabu (20/10).
Ketika seseorang sudah menerima kenyataan, bahwa PHK memang sudah benar-benar terjadi, maka kemudian orang dapat berpikir jernih tentang apa yang perlu dilakukan ke depannya.
Budi memaparkan, beberapa hal yang dapat dilakukan setelah orang yang di-PHK berpikir jernih. Langkah pertama, mulai melakukan evaluasi pada keuangan dan aset yang dimiliki saat ini, baik rumah, kendaraan, tabungan, deposito, dan lain sebagainya.
Selain aset dalam bentuk harta, aset yang tak kalah penting adalah jejaring atau relasi yang dimiliki. “Jejaring kita, orang-orang di sekeliling kita, siapa tau itu (jejaring) adalah aset yang berguna untuk menghadapi masa setelah PHK,” ungkapnya.
Langkah selanjutnya, cara membagi uang pesangon akan menentukan bagaimana ke depannya seseorang dapat menghadapi situasi PHK ini. Budi mengungkapkan, ketika uang pesangon diterima, kalkulasikan, kemudian pertimbangkan segala aspek, kumpulkan jadi satu, dan konsolidasikan.
Selain itu, ketika seseorang di-PHK, orang itu perlu mengubah gaya hidup menjadi realistis agar uang pesangon yang diberikan, dapat menjaga kehidupan orang itu sepanjang-panjangnya.
“Atur rencana, kalau sekarang ada hutan yang membebani, dan itu tidak penting, sebaiknya kita hentikan, aset yang berbiaya tinggi, yang menutup maintenance, atau perawatan yang besar, mungkin perlu pertimbangan ulang, mungkin harus kita lepas, dan lain sebagainya,” pungkasnya.