Poliandri Ayu, wujud lemahnya aturan pernikahan negara?
Komang Ayu Puspa Yeni alias Ayu divonis tiga tahun penjara pada 1 April 2019. Ia dituduh menipu suami keduanya, I Gede Arya Sudarsana, senilai miliaran rupiah.
Ketika berkenalan dengan Arya, Ayu mengaku masih lajang dan sedang menempuh pendidikan kedokteran di Surabaya. Padahal, ia sudah memiliki seorang suami dan tiga orang anak di Ngawi, Jawa Timur.
Sejak pernikahannya pada akhir 2016, Ayu beberapa kali meminta Arya untuk mengirimkan uang. Alasannya, untuk membantu biaya pendidikannya di Surabaya.
Padahal, uang itu digunakan Ayu untuk ikut kursus perawatan kecantikan dan membuka salon di Ngawi. Sejak 2016 hingga Juli 2018, total uang yang dikeruk Ayu sebesar Rp1,4 miliar.
Faktor penyebab
Seorang perempuan yang memiliki suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, seperti yang terjadi pada Ayu, lazim disebut poliandri.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indriyati Suparno mengatakan, kasus Ayu bisa dibilang sebagai bentuk poliandri yang disertai penipuan identitas atau status.
“Ini termasuk sebagai tindakan penipuan. Kalau memenuhi aturan hukum, dia tidak bisa menikah secara sah. Maka tepat bila dia dilaporkan ke polisi,” tutur Indriyati saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (4/4).
Sedangkan relationship coach dan pendiri Kelas Cinta—pusat edukasi, tips, dan trik tentang cinta—Lex dePraxis menilai, tindakan Ayu menjalin hubungan hingga menikah, padahal sudah punya suami, bisa disebabkan kebutuhan yang tak terpenuhi dalam pernikahan pertamanya.
Kebutuhan itu meliputi beragam aspek, seperti perhatian dan kasih sayang dari pasangan, persoalan dukungan finansial, dan komunikasi yang tidak harmonis dan tidak hangat. Suatu tindakan menyeleweng, kata dia, selalu dimulai dari kondisi dalam hubungan suami-istri.
“Kalau sudah sama-sama terbuka atau rumah tangganya sudah baik, biasanya godaan dari luar tidak dipedulikan. Kalau rumahnya enggak enak atau enggak adem, orang akan mudah ‘lompat pagar’,” tutur Lex saat dihubungi, Kamis (4/4).
Menurutnya, kejujuran seorang suami atau istri menjadi sangat penting dalam menentukan kualitas hubungan rumah tangga. Lex mengatakan, tindakan Ayu yang memanipulasi dan berbohong soal statusnya kepada suami kedua mencerminkan contoh kepribadian buruk. Kebohongan yang dilakukan Ayu, menurut Lex, kemungkinan besar dibentuk oleh kebiasaan serupa di masa lalu.
“Orang tidak bisa tiba-tiba menjadi jahat. Bohong-bohong kecil kalau diterusin, akan menjadi kebiasaan dan kebohongan besar,” ujarnya.
Oleh karena itu, Lex mengatakan, dalam sebuah relasi percintaan, mengenali perilaku buruk pasangan merupakan hal penting.
“Kebiasaan komunikasi yang buruk dan manipulasi dari pasangan itu mesti dikenali dan dibina sejak sebelum menikah,” kata Lex.
itu bisa dilakukan sejak tahun pertama masa pacaran. Lebih lanjut, Lex menuturkan, faktor keuangan masih tetap berpengaruh besar terhadap kelanggengan rumah tangga.
Urusan finansial, sebut Lex, bukan melulu soal kecukupan pemasukan untuk membiayai beragam kebutuhan keluarga. Keterbukaan antara suami dan istri dalam membahas perencanaan keuangan punya peran amat penting dan mendasar.
Lex menjelaskan, hal itu terkait perbedaan cara mengatur keuangan antara suami dan istri. Misalnya si suami mapan, perselisihan dengan istri dapat muncul bila tidak ada sikap saling terbuka untuk membahasnya.
“Karena suami terlalu banyak bekerja, misalnya, mereka tidak dapat mengurus dan membahas soal keuangan. Jadi bisa kacau rumah tangganya,” ujar Lex.
Bercermin dari kasus Ayu, ia menegaskan, persoalan ekonomi masih kerap menjadi penyebab utama dari kebanyakan kasus keretakan rumah tangga.
Lemahnya aturan
Sementara itu, menurut Indriyati Suparno, dibandingkan poliandri, tindak penipuan lebih banyak terjadi dari pernikahan poligini. Poligini merupakan sistem pernikahan seorang pria yang memiliki beberapa istri sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.
Indriyati menuturkan, setiap pernikahan poligini, meski diperbolehkan secara hukum, kerap didorong masalah-masalah tertentu. Poliandri dan poligini termasuk jenis poligami.
Penyebabnya, kata Indriyati, antara lain ada peran orang tua yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi yang lebih baik, atau adanya situasi tindakan kekerasan terhadap istri di dalam keluarga.
“Semua jenis bentuk poligami itu pasti ada yang dirugikan, terutama anak-anak,” ujar Indriyati.
Lebih jauh Indriyati menjelaskan, perangkat dan ketentuan hukum terkait pernikahan mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut dia, landasan hukum tersebut didasari pandangan umum masyarakat Indonesia yang menempatkan pernikahan sebagai ikatan yang bersifat monogami. Oleh karena itu, aturan yang dikenakan bagi pernikahan poligami menjadi sangat berat.
“Seseorang harus mendapatkan izin dari pasangan sebelumnya atau pertamanya. Itu juga didasari alasan-alasan utama, misalnya tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai suami atau istri,” kata Indriyati.
Meski begitu, Indriyati menyatakan, ada jalur lain pernikahan yang tidak harus menuruti aturan hukum tersebut. Jalur pernikahan ini, kata dia, antara lain pernikahan di bawah tangan atau nikah siri, dan pernikahan secara adat.
“Karena siri tidak menggunakan akta pernikahan,” tuturnya.
Selain itu, pernikahan dengan cara ini dilangsungkan tanpa tercatat dalam dokumen negara atau catatan sipil.
Di sisi lain, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia, menyayangkan terjadinya pernikahan kedua Ayu. Ia menilai, hal itu menunjukkan lemahnya penegakan hukum yang mengatur pernikahan di Indonesia.
Menurutnya, mengacu aturan hukum di Indonesia, pernikahan tersebut harus dilangsungkan secara sah di hadapan perwakilan pencatatan sipil.
“Pernikahan itu harus di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk warga Muslim, atau di depan catatan sipil untuk non-Muslim,” ujar Musdah saat dihubungi, Kamis (4/4).
Musdah mempertanyakan keabsahan pihak yang menjadi penghulu dan saksi pernikahan Ayu di Negara, Jembrana, Bali. Ia mengatakan, suatu pernikahan yang sah menurut aturan, sewajarnya juga melalui tahapan penyelidikan dan pengecekan berkas status kedua calon suami-istri.
“Ini (pernikahan kedua Ayu) termasuk pelacuran. Ini terjadi karena lemahnya aturan hukum, dan aparaturnya juga lemah dalam bertindak,” katanya.
Menurutnya, kasus Ayu harus menjadi perhatian Kementerian Agama sebagai ujung tombak penegasan aturan hukum pernikahan. Selain itu, pengawasan penerapan hukum juga diperlukan hingga ke tingkat bawah, mencakup KUA dan Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
“Jika ada ketegasan aparat, maka tidak akan ada penyalahgunaan aturan seperti ini,” ucap Musdah.
Di samping itu, Indriyati Suparno prihatin dengan persoalan yang membuat Ayu ingin menikah kedua kali. Sebagai Komisioner Komnas Perempuan, ia menawarkan untuk memberikan konseling kepada Ayu.
“Apa sebetulnya yang melatarbelakangi dia untuk menikah kedua kali? Bisa jadi ada kekerasan, atau masa lalu yang buruk yang dialami,” katanya.
Selain itu, untuk mencegah peristiwa serupa, ia menyarankan pentingnya peningkatan edukasi dalam membangun hubungan harmonis di dalam keluarga.