close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Diskusi buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018) di Epikurian Unbreakable Plaza, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (12/1). /web.facebook.com/marjinkiri.
icon caption
Diskusi buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018) di Epikurian Unbreakable Plaza, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (12/1). /web.facebook.com/marjinkiri.
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 12 Januari 2019 23:51

Politik Jatah Preman: Transformasi kelompok preman pasca-Orde Baru

Buku ini merupakan hasil riset Ian Douglas Wilson dalam rentang 2006 hingga 2014.
swipe

Premanisme merupakan istilah yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan sosio-spasial masyarakat Indonesia, terutama di Kota Jakarta. Kelompok preman, kerapkali digunakan oleh entitas tertentu sebagai penggiring suara massa dalam politik elektoral.

Masalah premanisme ini dibedah pengajar di Murdoch University, Australia, sekaligus peneliti di Asia Research Center, Ian Douglas Wilson dalam diskusi buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018) di Epikurian Unbreakable Plaza, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (12/1).

Buku ini merupakan hasil riset Ian dalam rentang 2006 hingga 2014. Ian memadukan narasi sejarah, sosiologi, dan etnografi. Dia mengurai sepak terjang berbagai geng preman, vigilante, ormas, serta komunitas-komunitas berbasis kesukuan yang ada di Jakarta dan preferensi politik mereka.

Bagi Ian, hubungan antara kelompok preman dengan sejumlah partai politik, bahkan kepolisian, sudah menciptakan jejaring pengamanannya sendiri.

"Bahkan, mantan wakil kepala polisi Indonesia, pernah bilang kalau kelompok preman ini bisa bermanfaat. Namun di sisi lain bisa jadi masalah," ujar Ian.

Main mata dengan penguasa

Kemunculan kelompok preman di Indonesia, menurut Ian, tidak dapat dilepaskan dari proses sosial-politik yang ada di negeri ini. Tumbangnya rezim Orde Baru, sebagai patron tunggal kelompok preman, telah menciptakan perebutan wilayah antarkelompok.

Dahulu, kelompok preman di bawah rezim militeristik Orde Baru bercorak nasionalis, dengan ikrar setia kepada “Pancasila”. Operasi penembakan misterius, yang terjadi pada 1980-an, menciptakan kontrol kekuasaan terhadap kelompok-kelompok preman.

Lantas, proses demokratisasi dan desentralisasi pasca-Orde Baru membuat kontrol negara melemah. Lalu, menguatkan eksistensi sejumlah kelompok yang terlibat premanisme.

Menurut Ian, kelompok preman saat ini terbagi menjadi dua tipe. Pertama, berdasarkan identitas atau kesukuan, seperti Forum Betawi Rempug (FBR). Kedua, berdasarkan ide atau gagasan, seperti Front Pembela Islam (FPI).

Kelompok semacam inilah yang mampu bertahan dan beradaptasi dari perubahan sosial-politik di Indonesia pascatumbangnya Soeharto.

Mereka lalu memainkan peranan penting dalam memfasilitasi persoalan ekonomi warga, serta ekses politik kaum miskin yang tak terjamah institusional politik formal.

Eksisnya kelompok preman ini, kata Ian, tidak terlepas dari persoalan masyarakat kelas bawah. Semakin menyempitnya ruang-ruang ekonomi warga Kota Jakarta, persaingan untuk mendapatkan ekses hidup yang lebih baik, problem hidup yang tak terselesaikan, hingga ekspresi diri yang tak menemukan salurannya, terwadahi oleh kelompok-kelompok preman yang hadir di tiap-tiap kampung kota.

Mereka menjadi wadah frustasi warga dengan memberikan jaminan hidup yang lebih baik, pengamanan anggota keluarga dari ancaman kelompok lainnya, dan memfasilitasi ekspresi diri anggota di berbagai aksi.

"Bahkah, warga merasa lebih aman untuk mengadu kepada kelompok preman ini jika mengalami suatu masalah, daripada (mengadu kepada) polisi," kata Ian.

Premanisme merupakan istilah yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan sosio-spasial masyarakat Indonesia, terutama di Kota Jakarta. Kelompok preman, kerapkali digunakan oleh entitas tertentu sebagai penggiring suara massa dalam politik elektoral.

Masalah premanisme ini dibedah pengajar di Murdoch University, Australia, sekaligus peneliti di Asia Research Center, Ian Douglas Wilson dalam diskusi buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018) di Epikurian Unbreakable Plaza, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (12/1).

Buku ini merupakan hasil riset Ian dalam rentang 2006 hingga 2014. Ian memadukan narasi sejarah, sosiologi, dan etnografi. Dia mengurai sepak terjang berbagai geng preman, vigilante, ormas, serta komunitas-komunitas berbasis kesukuan yang ada di Jakarta dan preferensi politik mereka.

Bagi Ian, hubungan antara kelompok preman dengan sejumlah partai politik, bahkan kepolisian, sudah menciptakan jejaring pengamanannya sendiri.

"Bahkan, mantan wakil kepala polisi Indonesia, pernah bilang kalau kelompok preman ini bisa bermanfaat. Namun di sisi lain bisa jadi masalah," ujar Ian.

Main mata dengan penguasa

Kemunculan kelompok preman di Indonesia, menurut Ian, tidak dapat dilepaskan dari proses sosial-politik yang ada di negeri ini. Tumbangnya rezim Orde Baru, sebagai patron tunggal kelompok preman, telah menciptakan perebutan wilayah antarkelompok.

Dahulu, kelompok preman di bawah rezim militeristik Orde Baru bercorak nasionalis, dengan ikrar setia kepada “Pancasila”. Operasi penembakan misterius, yang terjadi pada 1980-an, menciptakan kontrol kekuasaan terhadap kelompok-kelompok preman.

Lantas, proses demokratisasi dan desentralisasi pasca-Orde Baru membuat kontrol negara melemah. Lalu, menguatkan eksistensi sejumlah kelompok yang terlibat premanisme.

Menurut Ian, kelompok preman saat ini terbagi menjadi dua tipe. Pertama, berdasarkan identitas atau kesukuan, seperti Forum Betawi Rempug (FBR). Kedua, berdasarkan ide atau gagasan, seperti Front Pembela Islam (FPI).

Kelompok semacam inilah yang mampu bertahan dan beradaptasi dari perubahan sosial-politik di Indonesia pascatumbangnya Soeharto.

Mereka lalu memainkan peranan penting dalam memfasilitasi persoalan ekonomi warga, serta ekses politik kaum miskin yang tak terjamah institusional politik formal.

Eksisnya kelompok preman ini, kata Ian, tidak terlepas dari persoalan masyarakat kelas bawah. Semakin menyempitnya ruang-ruang ekonomi warga Kota Jakarta, persaingan untuk mendapatkan ekses hidup yang lebih baik, problem hidup yang tak terselesaikan, hingga ekspresi diri yang tak menemukan salurannya, terwadahi oleh kelompok-kelompok preman yang hadir di tiap-tiap kampung kota.

Mereka menjadi wadah frustasi warga dengan memberikan jaminan hidup yang lebih baik, pengamanan anggota keluarga dari ancaman kelompok lainnya, dan memfasilitasi ekspresi diri anggota di berbagai aksi.

"Bahkah, warga merasa lebih aman untuk mengadu kepada kelompok preman ini jika mengalami suatu masalah, daripada (mengadu kepada) polisi," kata Ian.

Transformasi FPI

Bagi Ian, FPI menjadi kelompok yang paling menarik. Pasca-Orde Baru, kelompok yang awalnya dibentuk untuk menjadi satuan pengamanan, kemudian berubah menjadi organisasi massa dengan jaring pengamanan berlapis. Kuat secara politik.

"Mantan pejabat kepolisian menggambarkannya seperti anjing yang tali kekangnya lepas," ujar Ian. “Saking kuatnya pengaruh yang dimilikinya, hingga tak dapat dikendalikan.”

Meski terkadang masih diberdayakan pihak berkuasa, tapi hubungan mereka lebih kepada hubungan transaksional, alih-alih ideologis.

Buku Politik Jatah Preman karya Ian Douglas Wilson terbitan Marjin Kiri, 2018. (Alinea.id/Fandy Hutari).

Kelompok preman berfungsi sebagai mediator antara kelompok sosial dan masyarakat, dengan dunia politik formal. Kemudian ditukar dengan kesepakatan-kesepakatan, konsesi atau dana dari partai politik, ataupun pihak yang ingin berkuasa.

FPI, menurut Ian, telah mencapai keinginan terbesar mereka, dengan dikukuhkannya pimpinan mereka Rizieq Shihab sebagai Imam Besar. Puncaknya, ketika kasus penistaan agama yang berhasil menjebloskan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke dalam bui pada 2017 lalu.

Hubungan antara kelompok preman dengan pihak kepolisian menarik. Kepolisian sengaja membiarkan kelompok-kelompok preman melakukan intimidasi kepada minoritas atau aktivis, sejauh itu sejalan dengan kepentingan untuk eksistensi rezim.

Hal yang disebut pihak kepolisian, mengutip Ian, "Sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan."

Kelompok ini sengaja dibiarkan bebas melakukan aksi mereka, selama itu sejalan dengan kepentingan penguasa. Bila kekerasan dilakukan, dan pihak kepolisian mengetahuinya, maka reaksinya adalah seolah-olah aksi itu di luar kendali mereka.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan