Foto seseorang dengan pose menunjukkan dua jari, telunjuk dan tengah, membentuk huruf "v", tak jarang kita lihat di media sosial. Gaya jari seperti itu sering disebut orang sebagai simbol peace (damai).
Awalnya, gaya yang kini menjadi salah satu gaya paling populer untuk berfoto itu melambangkan victory, untuk mengekspresikan kemenangan Inggris terhadap Jerman ketika Perang Dunia II. Melalui corong radio, seorang politisi Belgia Victor de Lavaleye, juga mengimbau orang-orang Belgia untuk menggunakan pose jari “v” untuk victoire (kemenangan).
Dari simbol kemenangan ke damai
Perdana Menteri Inggris Winston Churchill merupakan tokoh yang kerap tertangkap kamera dengan bergaya jari “v”. Menurut Nathaniel Zelinsky dalam artikelnya “V for victory: How the English bulldog leads the protests in Iran di Huffingtonpost edisi 25 Mei 2011, Churchill bahkan sempat membuat kampanye yang dia namakan “V for Victory”.
Kampanye tersebut dia gunakan untuk menyatukan Inggris Raya saat Perang Dunia II, sebagai alat propaganda melawan Nazi Jerman. Churchill pun pernah mengekspresikan dirinya menunjukkan jari “v”, dengan punggung tangan menghadap kamera. Stafnya lantas mengingatkan bahwa pose tersebut tidak sopan, dan merupakan simbol penghinaan.
Deretan nama mantan Presiden Amerika Serikat, seperti Harry Truman, Dwight Eisenhower, hingga Richard Nixon tercatat juga pernah berpose jari “v”, sebagai simbol kemenangan. Menurut Nathaniel Zelinsky dalam artikelnya “From Churchill to Libya: How the V symbol went viral” di The Washington Post edisi 25 Maret 2011, Nixon pernah berpose kontroversial. Dia berpose jari “v”, untuk mendeklarasikan kemenangan Amerika dalam perang Vietnam.
Pose Nixon justru menjadi inspirasi kaum hippies Amerika Serikat, yang memprotes perang Vietnam. Mereka mengekspresikan jari “v” sebagai tanda peace (damai), bukan kemenangan.
Setelah itu, simbol jari “v” berubah makna. Para demonstran, yang kebanyakan mahasiswa, menentang perang Vietnam, dengan menunjukkan dua jari “v” sebagai simbol damai. Hal itu terjadi pada decade 1970-an. Simbol “v” menjadi ikon generasi muda, yang identik dengan perdamaian dan perlawanan terhadap militerisme.
Lebih lanjut, Nathaniel menulis, pose jari “v” pun pernah digunakan pemimpin Palestina Yasser Arafat pada 1969, sebagai bentuk perjuangan melawan Israel. Pada 1970-an, rakyat Iran menggunakan pose jari “v” sebagai bentuk revolusi melawan Shah.
Saat Arab Spring terjadi pada 2010, para demonstran di Libya, Mesir, Yaman, Yordania, dan Bahrain menunjukkan jari “v”, sebagai tanda protes melawan pemerintah mereka.
Simbol tersebut rupanya membantu menularkan gerakan Arab Spring, melintasi rintangan linguistik maupun budaya.
Di Indonesia, pose jari “v” populer untuk simbol kampanye pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014. Pose tersebut tenar dengan sebutan “salam dua jari”, yang menyimbolkan nomor urut Jokowi-Kalla ketika itu.
Jadi budaya populer
Seiring waktu, pose jari “v” bergeser menjadi bagian budaya populer, yang dipromosikan orang-orang Asia Timur. Di Jepang, pose jari “v” sebagai gaya berfoto memiliki sejumlah teori.
Menurut Stephanie Burnett dalam artikelnya, “Have you ever wondered why East Asians spontaneously make v-signs in photos?” di Time edisi 4 Agustus 2014, teori pertama pose jari “v” dipopulerkan atlet seluncur indah yang bertanding di Olimpiade 1972 di Jepang, Janet Lynn.
Lynn, yang difavoritkan meraih medali emas, gagal total karena terjatuh. Alih-alih menangis, Lynn malah tersenyum. Keesokan harinya, dia dikerubungi warga Jepang. Saat itu, Lynn yang juga aktivis antiperang, selalu berpose jari “v”.
Teori kedua, pose jari “v” dipopulerkan penyanyi Jun Inoue. Pada 1972, dia menjadi bintang iklan kamera Konica. Dalam adegan iklan, Inoue berpose menunjukkan jari tengah dan telunjuk, yang membentuk “v” sembari senyum.
“Di Jepang, saya melihat Jun Inoue yang mempopulerkan praktik foto dengan pose ‘v’ tersebut sebagai penjelasan yang paling masuk akal,” kata Jason Karlin, lektor kepala di University of Tokyo sekaligus ahli kebudayaan media Jepang, seperti dikutip dari Time, 4 Agustus 2014.
Pose jari “v” lalu menemukan momennya, seiring dengan masifnya produksi kamera, serta publikasi majalah remaja yang tinggi di Jepang pada medio 1980. Media kemudian melabeli pose jari “v” tersebut sebagai kawaii (imut).
“Pose ‘v’ sering direkomendasikan sebagai teknik untuk membuat wajah seorang gadis terlihat lebih kecil dan imut,” ujar Karlin.
Tak jarang, gadis-gadis Jepang juga melontarkan kata piisu (damai), ketika berfoto dengan pose jari “v”. Saat J-pop mulai menyebar ke Asia Timur pada 1980-an, gaya pose jari “v” juga ikut menyebar ke daratan Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan.
Hingga kini, pose jari “v” lazim digunakan orang-orang yang berfoto. Mungkin saja, tak akan lekang dimakan zaman.