Post-holiday blues: Gangguan mirip depresi pasca-liburan
Musim liburan bisa menjadi waktu yang penuh kegembiraan dan santai bagi banyak orang. Namun, begitu liburan selesai, rasa sedih dan kesepian kemungkinan menyergap. Hal ini disebut post-holiday blues.
Mengutip dari Verywell Mind, post-holiday blues merujuk pada gangguan mental yang singkat, setelah masa liburan. Biasanya, tak berlangsung lama. Kebanyakan orang kembali “normal” setelah beberapa waktu.
Menurut psikolog klinis di Lenox Hill Hospital, New York dan kepala riset di The Mental Health Coalition, Naomi Torres-Mackie kepada Health, liburan sangat menyenangkan, tetapi ketika berlalu, kehilangan kegembiraan bisa terasa buruk. “Bisa seperti perasaan penarikan emosional dari keceriaan liburan,” ujar Torres-Mackie.
Sementara itu, psikolog klinis di Family and Community Medicine di The Ohio State University Wexner Medical Center, Nicole Hollingshead kepada Health mengatakan, setelah liburan berakhir, orang mungkin merasa hampa atau kosong, tanpa kegiatan yang didorong oleh tujuan untuk membantu mereka tetap fokus.
“Liburan memberikan kebanyakan orang waktu untuk fokus pada tugas dekorasi, memanggang, merencanakan, dan memberi hadiah,” ujar Hollingshead.
Dalam riset yang diterbitkan di Innovations in Clinical Neuroscience (Desember, 2011) bertajuk “The Christmas Effect on Psychopathology”, profesor di Departemen Psikiatri dan Penyakit Dalam di Wright State University School of Medicine Randy A. Sansone dan Direktur Medis di Wright-Patterson Medical Center Lori A. Sansone menemukan, ada penurunan terhadap penggunaan layanan gawat darurat psikiatri, tindakan menyakiti diri sendiri, dan percobaan bunuh diri selama musim liburan. Namun, ada peningkatan hal tersebut setelah liburan Natal.
Sedangkan dalam riset yang diterbitkan Frontiers in Psychiatry (Januari, 2023), para peneliti dari Swiss, yakni Else Schneider, Timur Liwinski, Lukas Imfeld, Undine E Lang, Annette B. Bruhl menemukan, rawat inap psikiatri lebih rendah pada Natal dan selama liburan lainnya dibandingkan dengan waktu yang lain dalam setahun.
Psycom menulis, menurut American Psychiatric Association, bulan-bulan paling sulit bagi orang dengan gangguan afektif musiman—jenis depresi—di Amerika Serikat cenderung pada Januari dan Februari. Hal ini bisa memperburuk perasaan negatif pasca-liburan pada 5% dari orang dewasa di Amerika Serikat.
Dilansir dari Psycom, post-holiday blues memiliki banyak gejala karakteristik yang sama dengan gangguan kecemasan atau suasana hati, seperti insomnia, mudah marah, kesulitan berkonsentrasi, dan gelisah. Namun, berbeda dengan depresi klinis, ketidaknyamanan ini bersifat sementara.
Menurut co-direktur klinik gangguan kecemasan Johns Hopkins dan asisten profesor psikiatri Paul Nestadt, dikutip dari Health, pemicu post-holiday blues setiap orang dapat bervariasi. Seseorang yang menikmati musim liburan, katanya, mendapatkan dorongan dopamin dan serotonin—dua hormon perasaan baik—setelah menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga. Akan tetapi, ketika liburan berakhir, suasana hati pun turun.
“Ada kelelahan dari mengadakan acara, bepergian, atau aspek-aspek lain dari ketidaknormalan yang dibawa oleh liburan. Semua itu sulit untuk dihadapi,” kata Nestadt.
Psycom menyebut, alkohol yang dikonsumsi selama periode liburan juga bisa menjadi penyebab post-holiday blues. Alkohol, sebut Psycom, diakui sebagai depresan. Penelitian juga mengaitkan makanan cepat saji dengan depresi.
Psikolog dan penulis buku The 10 Best-Ever Depression Management Techniques, Margaret Wehrenberg menulis dalam Psychology Today bahwa otak kita pun berpengaruh terhadap penyebab post-holiday blues. Menurutnya, otak kita menyimpan kenangan dalam jaringan saraf—hubungan dari peristiwa terkait. Otak kita menggunakan suasana hati sebagai pintu masuk ke dalam jaringan pikiran dan suasana hati serupa lainnya. Salah satu pemicu paling kuat untuk membuka jaringan kenangan adalah emosi.
Psikolog Melissa Weinberg dalam Psycom mengatakan, post-holiday blues juga disebabkan oleh “tipuan” otak. Menurutnya, otak membesar-besarkan realitas kehidupan sehari-hari, membuat kembali ke rutinitas yang biasa terasa jauh lebih menimbulkan kecemasan dan depresi daripada yang sebenarnya.
“Ini hanya salah satu dari serangkaian ilusi dari otak kita yang membuat kita percaya. Dengan cara yang sama, kita berpikir, hal-hal buruk lebih mungkin terjadi pada orang lain daripada kita,” ujar Weinberg.
“Agak ironis, kemampuan untuk menipu diri kita sendiri setiap hari adalah indikasi fungsi mental dan psikologis yang baik.”
Psikolog klinis Eileen Kennedy-Moore, dilansir dari Psycom, mengatakan penurunan tiba-tiba hormon stres setelah liburan dapat berdampak besar pada kesejahteraan biologis dan psikologis kita.
Selain itu, dikutip dari Health, Torres-Mackie mengatakan, gejala post-holiday blues dapat mirip dengan depresi klinis. Maka, penting untuk melihat seberapa lama kita merasa murung setelah liburan.
"Depresi melibatkan suasana hati rendah sebagian besar hari selama periode dua minggu atau lebih," kata Torres-Mackie.
Nestadt mengungkap beberapa cara mengatasi post-holiday blues atau mencegah hal itu terjadi di masa depan, antara lain tidur yang cukup, diet seimbang, menghindari alkohol dan obat-obatan, melakukan aktivitas fisik, berkomunikasi dengan teman dan keluarga, dan menjadwalkan aktivitas di masa depan.
“Ketika kita merasa sedih atau depresi, kita sering kehilangan motivasi untuk melakukan segala hal,” tutur Hollingshead.
“Mempunyai rencana yang dijadwalkan sebelumnya, membantu kita tetap bertanggung jawab dan melakukan hal-hal yang pada akhirnya membantu kita merasa lebih baik.”