Dalam acara Dialog Kebangsaan Forum Masyarakat Indonesia di Podomoro University, Jakarta pada Jumat (11/10), Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo mengatakan, presiden terpilih Prabowo Subianto bakal memberikan beasiswa untuk 20.000 mahasiswa Indonesia agar bisa belajar sains, teknologi, teknik, dan matematika atau science, technology, engineering and mathematics (STEM) di Rusia.
Pengiriman mahasiswa itu akan dilakukan setiap tahun.
Saat debat kelima Pilpres 2024 pada Minggu (5/2) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Prabowo sempat menyinggung hal serupa. Waktu itu, Prabowo mengatakan, akan mengirim 10.000 siswa pintar dari SMA dengan beasiswa ke luar negeri untuk belajar kedokteran dan 10.00 lainnya untuk belajar STEM.
Industri masa kini memang banyak memburu lulusan terkait STEM. Dalam Peta Jalan Pendidikan 2025-2045, Indonesia telah menetapkan penguatan pendidikan STEM di jenjang perguruan tinggi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, sejak 2010 ada tren program studi STEM meningkat. Dari total 29.618 program studi yang ada tahun 2021, sebesar 43% merupakan program studi STEM, dengan jumlah mahasiswa S-1/D-4 sebesar 32,1%.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matriaji, kesuksesan program ini berada di tangan guru. “(Sayangnya) guru-guru kita pengetahuannya belum sampai ke STEM ini,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Selasa (15/10).
Di sisi lain, kata Ubaid, Peta Jalan Pendidikan 2025-2045 masih sangat normatif. Belum menjawab apa pun masalah dan kebutuhan pendidikan, baik cara dan proses maupun pembiayaan dan alokasi anggaran.
“Tanpa ada dukungan APBN dan APBD, maka itu semua omong kosong,” ucap Ubaid.
Terlebih, penutupan sekolah selama pandemi Covid-19 telah mengganggu proses belajar-mengajar. Akibatnya, banyak negara yang skor programme for international student assessment (PISA)-nya menurun.
Misalnya, PISA 2022 yang dipublikasikan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan adanya penurunan kinerja pendidikan yang sebagian disebabkan oleh pandemi, keterlibatan guru dan orang tua, keamanan lingkungan sekolah dan sekitarnya, juga alokasi anggaran untuk pendidikan.
“Semua bisa terwujud kalau ada political will serta dikelola secara transparan, akuntabel, dan kredibel. Ini semua bisa jadi mimpi di siang bolong, kalau hanya pencitraan dan retorika,” kata Ubaid.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah menjelaskan, STEM merupakan pembelajaran yang langsung dikaitkan dengan dunia kerja atau berbasis praktik langsung. STEM, kata dia, adalah pendekatan pembelajaran berbasis interdisiplin karena siswa diharapkan memiliki kapasitas pemecahan masalah.
“Artinya, siswa belajar hal-hal keseharian atau dunia nyata,” ujar Jejen, Selasa (15/10).
Selain itu, dia menilai kebijakan ini harus mendorong adanya kerja sama sekolah, industri, dan kapasitas guru yang berwawasan pemecahan masalah dan melek STEM. Menurutnya, pemerintah sendiri tidak wajib menuruti peta jalan pendidikan karena semua tergantung pemahaman kementerian serta industri terkait.
“Langkah tersebut bagus, tapi yang diperlukan iklim usaha, di mana mereka dipermudah dan sistem yang tidak korup, ramah investasi,” tutur Jejen.
“Percuma banyak SDM unggul jika iklim investasi kita buruk karena sistemnya korup, sehingga investasi menjadi mahal.”