Angka kekerasan terhadap perempuan yang masih tinggi menjadi pekerjaan rumah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) di bawah Menteri PPPA yang baru dilantik Arifatul Choiri Fauzi atau Arifah Fauzi dan Wakil Menteri PPPA Veronica Tan.
Merujuk data catatan tahunan (catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2023, jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2023 sebanyak 289.111 kasus. Jumlah itu menunjukkan penurunan sebanyak 55.920 kasus (12%) dibandingkan tahun 2022.
Sementara data yang dihimpun Komnas Perempuan, lembaga layanan, dan Badan Peradilan Agama (Badilag) jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2023 sebanyak 401.975 kasus, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 457.895 kasus.
Kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik meningkat 44% dari 2.910 kasus pada 2022 menjadi 4.182 kasus di tahun 2023. Sedangkan di ranah negara, peningkatan sangat signifikan sebanyak 176% dari 68 pada 2022 menjadi 188 kasus tahun 2023.
Lalu, berdasarkan bentuk kekerasannya, pada lembaga layanan didominasi kekerasan seksual sebanyak 2.363 (34,8%). Sedangkan Komnas Perempuan mencatat, kekerasan psikis yang mendominasi sebesar 3.498 (41,55%).
Data lembaga layanan menyebut, korban kekerasan terhadap perempuan dalam rentang usia 25-40 tahun mencapai 1.918 kasus, sedangkan data pengaduan ke Komnas Perempuan korban kekerasan terbanyak berusia 18-24 tahun dengan jumlah 1.342 kasus.
Menanggapi data tersebut, menurut komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani, pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan Menteri PPPA Arifah Fauzi dan Wakil Menteri PPPA Veronica Tan adalah mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Segera dilakukan penyelesaian aturan turunan UU TPKS,” kata Tiasri kepada Alinea.id, Senin (28/10).
Di samping itu, Tiasri juga menilai, Kemen PPPA masih harus melanjutkan kerja-kerja Satgas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam aspek pencegahan, penanganan, dan pemenuhan hak korban. Sebab, TPPO masih menjadi masalah krusial yang membutuhkan penanganan secara komprehensif. Terutama di daerah ayng tingkat kemiskinannya tinggi.
“Kemen PPPA (harus) terus melanjutkan program pemberdayaan ekonomi di wilayah kantong-kantong PMI (pekerja migran Indonesia) dan TPPO karena salah satu penyebab terjadinya TPPO adalah faktor kemiskinan,” kata Tiasri.
Tak kalah penting, menurut Tiasri, Kemen PPPA pun mesti menyempurnakan kerja-kerja yang sudah dilakukan menteri sebelumnya. Salah satu yang paling krusial adalah percepatan kebijakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak asasi perempuan.
Terakhir, Tiasri mengingatkan pula soal RUU tentang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang masih menjadi utang DPR periode 2019-2024. Menurutnya, Kemen PPPA harus mengawalnya.
“Regulasi yang perlu didorong adalah kebijakan pelindungan bagi perempuan pekerja rumahan dan perhatian pada pekerja informal yang lainnya,” tutur Tiasri.
Sementara itu, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitasari menilai, Kemen PPPA memiliki tugas besar dalam meningkatkan perlindungan pada anak, seperti melindungi hak-hak anak penyandang disabilitas dan menekan bunuh diri pada anak.
“Sejauh ini hanya KPAI yang memiliki data terkait kasus anak yang mengakhiri hidupnya, yang sampai saat ini (data itu) belum dimiliki oleh kementerian atau lembaga lain di Indonesia,” ucap Diyah, beberapa waktu lalu.
Kemudian, Kemen PPPA punya tugas untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak. Menurut Diyah, KPAI telah melakukan serangkaian pengawasan dan menghasilkan banyak kajian terkait penanganan kekerasan fisik, seksual, dan kasus anak menyakiti diri sendiri.
“Kasus kekerasan seksual pada anak masih tinggi. Lalu, (kasus) perkawinan anak dan tindak pidana perdagangan orang yang melibatkan anak di bawah umur,” kata Diyah.