PR yang tersisa sebelum mendatangkan dokter asing
Dalam acara Forum Komunikasi Nasional Tenaga Kesehatan, yang disiarkan di kanal YouTube Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Selasa (21/5), Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin melontarkan keinginannya untuk melakukan “naturalisasi” dokter asing. Tujuannya, meningkatkan kualitas tenaga kesehatan di Indonesia.
Budi percaya, kehadiran sumber daya manusia (SDM) asing akan memicu peningkatan kualitas SDM di tanah air. Budi mengakui, idenya itu bermula dari rasa bangganya terhadap tim nasional sepak bola Indonesia yang mengukir sejarah di Piala Asia U-23, yang memakai pemain naturalisasi dan pelatih asing.
Menanggapi hal itu, pengamat kebijakan kesehatan sekaligus Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra tak sependapat dengan ide Menkes yang menganalogikan pemain sepak bola dengan dokter naturalisasikan. Sebab, dalam dunia pelayanan kesehatan bukan hanya persoalan kompetisi dan keahlian yang harus diperhitungkan. Namun juga ada etika dan nilai budaya yang turut memengaruhi sistem kesehatan.
“Ini berkaitan nilai kemasyarakatan dan tidak sesederhana itu. Rasanya tidak bisa disamakan dengan pemain sepak bola,” ucap Hermawan kepada Alinea.id, Rabu (29/5).
Menurut Hermawan, belum ada negara yang bisa dijadikan contoh soal kesuksesan naturalisasi dokter. Kalau pun ada tenaga kerja kesehatan asing di Indonesia, lebih bersifat konsultatif. Ia melanjutkan, yang lazim terjadi di Indonesia adalah mahasiswa yang menempuh pendidikan kedokteran di luar negeri. Lalu, kembali dan mengabdikan diri di Indonesia.
“Rasanya untuk kedokteran spesialis kita, semisal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu yang terbaik di Asia Tenggara. Artinya kualitas dokter spesialis kita tidak kalah,” ujar Hermawan.
Selama ini, kata Hermawan, persoalan pelayanan kesehatan di Indonesia bukan pada kualitas dokter atau dokter spesialis. Akan tetapi pada jumlah dokter, distribusi pemerataan tenaga kesehatan, dan penempatan yang hanya berkutat di kota besar.
“Ini tantangan kita. Tapi bukan berarti melakukan naturalisasi (untuk menyelesaikannya),” ujar Hermawan.
“Ini hal-hal yang tidak bisa disederhanakan (seperti) di sepak bola.”
Kekhawatiran Hermawan tentang ide naturalisasi dokter terkait pada kapitalisasi pelayanan kesehatan yang bakal menggila. Imbasnya, biaya kesehatan akan membengkak, tidak terjangkau masyarakat menengah ke bawah.
Sementara itu, Kepala bidang Strategi sekaligus Pj. Kepala Pelayanan Kesehatan Primer Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Meilissa menilai, wacana naturalisasi dokter bukan sesuatu yang baru. Sebab, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Dalam aturan tersebut, hanya dokter spesialis dan subspesialis yang diperbolehkan berpraktik di Indonesia,” ucap Yudhina, Rabu (29/5).
“Persyaratannya pun panjang.”
Merujuk Pasal 248 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan menyebut, tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA lulusan luar negeri yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk tenaga medis spesialis dan subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu, setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
Dalam pasal 248 ayat (2) disebutkan, evaluasi kompetensi dilakukan oleh menteri (kesehatan) dengan melibatkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, konsil, dan kolegium. Evaluasi kompetensi itu meliputi penilaian kelengkapan administratif, dan penilaian kemampuan praktik.
Selanjutnya dalam pasal 248 ayat (8) disebutkan, jika hasil uji kompetensi dinyatakan lulus, maka tenaga medis spesialis, subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertenti WNA lulusan luar negeri harus mengikuti adaptasi pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Namun, disebutkan dalam pasal 248 ayat (9), jika hasil uji kompetensi dinyatakan belum kompeten, maka tenaga medis spesialis, subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu WNA lulusan luar negeri harus kembali ke negara asalnya.
“Dokter asing yang mengikuti masa adaptasi juga diharuskan memiliki surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP), serta mengikuti pendidikan bahasa Indonesia di layanan kesehatan masing-masing,” ujar Yudhina.
Yudhina menilai, kebijakan mendatangkan dokter asing perlu memperhatikan beberapa hal. “Belum ada kajian tentang dampak mendatangkan dokter asing terhadap pemenuhan kekurangan dokter spesialis di Indonesia,” tutur Yudhina.
Dari sisi aturan teknis, kata dia, juga belum ada aturan yang menjelaskan secara rinci mengenai evaluasi kompetensi dokter asing. Sebelumnya, evaluasi kompetensi dokter asing diatur lewat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 35 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Evaluasi Kompetensi Tenaga Kesehatan WNI Lulusan Luar Negeri dan Tenaga Kesehatan WNA. Namun, dengan berlakunya Undang-Undang Kesehatan sejak 2023, maka diperlukan aturan pelaksana teknis yang lebih mutakhir.
Menurut Yudhina, regulasi mekanisme kompetensi yang objektif dan ketat sesuai standar kualifikasi, yang dibarengi dengan mekanisme evaluasi yang transparan, dapat mengikis anggapan miring dokter asing yang hendak direkrut pemerintah untuk kepentingan peningkatan layanan kesehatan.
“Kami mendorong pemerintah melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dalam penyusunan aturan teknis mengenai penyelenggaraan evaluasi kompetensi untuk calon dokter asing yang akan masuk ke Indonesia,” tutur dia.
“Standar kualifikasi yang baik memungkinkan kehadiran dokter asing yang terseleksi berkualitas.”
Meski demikian, Yudhina memandang, niat mendatangkan dokter asing tidak sepenuhnya buruk. Bahkan, bisa menjadi solusi dari masalah distribusi dokter yang kurang merata. Karenanya, Yudhina mengatakan, aturan teknis bagi dokter asing harus berorientasi pada kebutuhan distribusi dokter untuk pemerataan tenaga kesehatan ke seluruh pelosok negeri.
“Sebaiknya disusun juga ketentuan soal zonasi berdasarkan data permintaan dan alur rujukan, sehingga diketahui jumlah dokter asing yang dibutuhkan,” ucap dia.
“Dengan begitu, prioritas daerah yang membutuhkan dokter tambahan dapat diketahui. Pemerintah perlu mengalokasikan dokter asing ke daerah yang paling membutuhkan.”
Diperlukan pula regulasi upah agar menghindari kesenjangan antara dokter asing dengan dokter lokal. Terlepas dari itu, Yudhina menyarankan pemerintah mencontoh negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina yang telah mengambil kebijakan mendatangkan dokter asing.
“Namun perlu diingat, ketiga negara tersebut juga menyusun aturan yang sangat ketat untuk menyeleksi kandidat dokter asing yang akan berpraktik di negaranya,” tutur Yudhina.