close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto di toko buku Bahrisons Booksellers di New Delhi, India, Jumat (24/1/2024)./Foto Instagram @prabowo
icon caption
Presiden Prabowo Subianto di toko buku Bahrisons Booksellers di New Delhi, India, Jumat (24/1/2024)./Foto Instagram @prabowo
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 26 Januari 2025 06:08

Presiden yang kutu buku…

Apakah daftar bacaan buku memengaruhi kebijakan seorang presiden?
swipe

Mengenakan kemeja lengan panjang cokelat, mata Presiden Prabowo Subianto terus menatap buku-buku yang bertumpuk di rak toko buku langganannya, Bahrisons Booksellers di New Delhi, India. Saat itu, Jumat (24/1) waktu setempat, sang presiden tengah memborong banyak buku di waktu senggang kunjungan kenegaraan di India.

Menurut Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya kepada Antara, Prabowo membeli buku-buku bertema sejarah, ekonomi, dan lain-lain.

Bukan kali pertama Prabowo berbelanja buku. Misalnya, saat berkunjung ke Washington DC, Amerika Serikat pada November 2024 lalu, Prabowo pun berbelanja buku di toko buku Second Story Books. Pada 2018, ketika melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Prabowo juga menyempatkan berbelanja buku.

Berburu buku tak hanya dilakukan di luar negeri. Saat masih menjabat Menteri Pertahanan pada 2022, Prabowo pun terlihat sedang berburu buku di sela-sela menghadiri KTT G20 di Bali. Dia memang gemar membaca buku.

Dikutip dari Kompas.com, buku-buku yang diminati Prabowo beragam. Mulai dari sejarah, militer, ekonomi, perkembangan dunia, fotografi, hingga arsitektur.

Kebiasaan membaca sudah dilakukan Prabowo sejak kecil. Menurut Dirgayuza Setiawan dalam Nilai-nilai Pendekar Pejuang (2015) saat menjadi tentara, anak buahnya sudah paham ransel sang komandan selalu paling berat. Sebab, Prabowo selalu membaca buku untuk dibaca, di sela waktu menunggu perang.

“Koleksi perpustakaan pribadi Prabowo di Desa Bojong Koneng berjumlah lebih dari 5.000 buku,” tulis Dirgayuza.

“Pada pertengahan tahun 2014, karena perpustakaan yang tersambung dengan kamar tidurnya sudah terlampau penuh, Prabowo sampai harus membuat sebuah gedung khusus untuk menampung koleksi buku-buku sejarah, ekonomi, politik, dan budaya yang telah ia baca.”

Selain Prabowo, presiden pertama Indonesia Sukarno pun dikenal kutu buku. Perkenalannya terhadap dunia literasi dimulai ketika dia menjadi siswa Hoogere Burgerscholl—sekolah setingkat SMA zaman Belanda—di Surabaya, Jawa Timur. HOS Tjokroaminoto, yang menjadi bakap indekosnya, mengajarinya tentang banyak hal. Termasuk mengenalkannya pada buku.

“Buku-buku menjadi temanku […] Seluruh waktu kupergunakan untuk membaca. Sementara yang lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams (1965).

Di sebuah perpustakaan yang didirikan perkumpulan Theosofi di Surabaya, Sukarno, membaca banyak buku. Dia bisa masuk ke perpustakaan itu karena ayahnya, Soekemi Sosrodihardjo seorang Theosof.

Dari buku-buku, Sukarno mengaku memahami pemikiran tokoh-tokoh dunia, seperti para mantan Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln; mantan Perdana Menteri Inggris William Gladstone; pendiri gerakan buruh Inggris, Sidney dan Beatrice Webb; filsuf Prancis Jean Jacques Rousseau; ahli pidato Prancis Jean Jaures; serta pemikir sosialis, seperti Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin.

“Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku,” tutur Sukarno.

Selain Prabowo dan Sukarno, mantan presiden Indonesia lainnya, yakni Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan BJ. Habibie pun dikenal sebagai kutu buku.

Beberapa Presiden Amerika Serikat juga dikenal sebagai pemimpin yang rajin baca buku. Dicatat penulis What Jefferson Read, Ike Watched, Obama Tweeted: 200 Years of Popular Culture in the White House (2013), Tevi Troy dalam Business Insider, Theodore Roosevelt membaca dua atau tiga buku sehari. Penulis biografi Conrad Black menyebut, Richard Nixon sebagai pembaca yang rajin.

Sementara George W. Bush membaca 186 buku antara tahun 2006 dan 2008, menyelesaikan empat belas biografi Abraham Lincoln selama masa pemerintahannya, dan membaca ulang Alkitab setiap tahun.

George Washington tidak mengenyam pendidikan formal, tetapi senang membaca tentang topik-topik yang paling relevan dengan kehidupan dewasanya: pertanian dan taktik militer. Tevi Troy dalam Washington Post menulis, Richard Nixon membaca karya-karya sastrawan Rusia Leo Tolstoy secara intensif. Bahkan, dia menyebut dirinya seorang Tolstoyan.

Troy menulis, Jimmy Carter adalah pembaca yang produktif. Pada Februari 1977, dia mengikuti kelas membaca cepat bersama putrinya yang berusia 9 tahun, Amy. Kemampuannya ini membantunya membaca sekitar dua buku per minggu selama masa kepresidenannya dan tiga hingga empat buku per minggu usai masa jabatannya.

Barrack Obama dikenal gemar membaca novel. Dalam wawancaranya untuk a 2015 New York Review of Books, dikutip dari The Guardian, Obama mengatakan novel mengajarkannya hal-hal paling penting yang pernah dipelajarinya sebagai warga negara. “Ini ada hubungannya dengan empati,” ujar Obama.

Dari buku-buku, beberapa Presiden Amerika menemukan gagasan. Lyndon Johnson misalnya, terpengaruh buku The Rich Nations and the Poor Nations (1961) karya ekonom Inggris Barbara Ward. Dia baca buku itu berkali-kali, sehingga menimbulkan ide kebijakan perang melawan kemiskinan.

Troy menekankan, daftar bacaan tak cuma memberi presiden istirahat dari dokumen-dokumen rapat yang membosankan, tetapi juga dapat memengaruhi politik dan kebijakan mereka, serta memperkuat, menciptakan, atau mengubah pandangan mereka.

“Buku-buku yang dibaca presiden juga menawarkan wawasan tentang ke mana mereka ingin membawa negara—dan bagaimana sejarah akan mengenang mereka,” tulis Troy.

Meski begitu, tak semua presiden suka baca. Donald Trump misalnya. Dikutip dari Washingtong Post, ketika dicalonkan sebagai presiden pada 2016, Trump mengaku belum membaca biografi presiden mana pun. Dia juga mengaku tak punya waktu membaca karena sibuk.

“Meja Trump penuh dengan tumpukan majalah, hampir semuanya bergambar dirinya di sampulnya, dan setiap pagi, ia meninjau setumpuk cetakan artikel berita tentang dirinya yang diberikan sekretarisnya ke mejanya. Namun, tidak ada rak buku di kantornya, tidak ada komputer di mejanya,” tulis Washington Post.

Dalam serangkaian wawancara, Trump mengatakan, tak perlu membaca secara ekstensif karena dia kerap mengambil keputusan dengan tepat, dengan sedikit pengetahuan yang sudah dimilikinya. “Karena saya memiliki akal sehat dan saya punya banyak kemampuan bisnis,” kata Trump.

Akan tetapi, tulis Washington Post, beberapa sejarawan berpendapat, orang yang membaca banyak buku tidak serta merta menjadi presiden terbaik. Menurut sejarawan politik di Universitas Amerika, Allan Lichtman, presiden terbaik semuanya punya “kompas” selain dorongan hati mereka.

“Franklin Roosevelt bukanlah seorang intelektual yang hebat, tetapi dia mengetahui sejarahnya, dan dia punya pegangan yang kuat. Keberhasilan seorang presiden berasal dari nilai-nilai dan karakter yang mereka bawa ke jabatannya. Kennedy menyebutnya sebagai ‘visi praktis’, dan tidak ada model pengambilan keputusan yang dapat menggantikannya,” kata Lichtman kepada Washington Post.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan