Program Tapera buat siapa?
Hillarius Kapitan, 29 tahun, merasa keberatan jika nantinya gaji dipotong untuk program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta, Hillarius mendapatkan gaji sekitar Rp5.000.000 per bulan. Sedangkan pengeluarannya sebulan bisa menghabiskan Rp4.000.000. Sebagian besar gajinya habis untuk sewa indekos dan kehidupan sehari-hari.
Apalagi, ia mencermati, harga rumah di Jakarta dan sekitarnya sudah tidak masuk akal bagi dirinya. Sebagai perantauan, ia merasa lebih baik memiliki rumah di luar Jakarta.
“Menurut saya, kemungkinan juga kecil untuk saya memiliki rumah di sini (Jakarta),” kata Hillarius kepada Alinea.id, Rabu (29/5).
Hillarius pun mengaku, jika program Tapera nanti berjalan, ia khawatir bakal mengganggu keuangannya. Sebab, selain untuk pengeluaran sehari-hari dan sewa indekos, ia punya target setoran untuk menabung setiap bulan. Ada pula tanggungan lain yang harus ia bayar.
“Pendapatan (gaji) dan pengeluaran saya sudah bisa dikatakan ‘rapat’. Maka kalau ditambah lagi dengan Tapera ini, saya akan merasa sedikit kesulitan untuk mengatur ulang kebutuhan dan pengeluaran saya,” tutur dia.
Tapera, program pemerintah yang bertujuan mengumpulkan dan menyediakan dana berbiaya rendah dengan durasi panjang demi mendukung pembiayaan perumahan, belakangan ini diprotes. Secara sederhana, Tapera merupakan jenis simpanan yang disetorkan setiap bulan yang diambil dari gaji peserta untuk pembiayaan rumah.
Dasar hukum Tapera, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perubahan Rakyat.
Dalam PP 21/2024 disebutkan, besaran iuran Tapera ialah 3% dari gaji atau upah peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Besaran itu dibayarkan dengan ketentuan pemberi kerja 0,5%, pekerja 2,5%, dan pekerja mandiri sebesar 3% atau ditanggung sepenuhnya.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan, niat program Tapera cukup baik. Namun, masalahnya potongan gaji untuk biaya rumah ini bersifat wajib.
“Kalau wajib kan ada sanksinya kalau enggak mau membayar,” ujar Tadjuddin kepada Alinea.id, Rabu (29/5).
“Sekarang, pegawai itu sudah dibebani dengan (iuran) BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, dan sebagainya. Kan akan bertambah lagi potongannya dengan (Tapera) ini.”
Menurut Tadjuddin, dengan asumsi pekerja yang setiap bulan dipotong untuk iuran Tapera sebesar Rp150.000 dari gaji Rp5.000.000 bakal terasa berat setelah ada potongan-potongan untuk iuran lainnya. Hal ini akan terasa terutama bagi pekerja yang masih mendapatkan hanya upah minimum.
“Dan ini implikasinya juga bisa banyak. Dari daya beli masyarakat yang akan menurun dan sebagainya,” tutur Tadjuddin.
Tak hanya itu. Permasalahan lainnya, beber Tadjuddin, belum ada aturan soal nasib tabungan pekerja yang sebelumnya sudah mengupayakan rumah sendiri. Belum lagi masalah inflasi, yang menyebabkan harga rumah terus naik.
“Makanya, peraturannya harus jelas. Ini kita lagi ngomongin gaji orang lho, ini uang mereka yang dipotong dengan kesan sedikit paksaan,” ujar dia.
“Jangan sampai ekonomi menurun dan ada PHK besar-besaran akibat dari masalah ini.”
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, sepakat bila kebijakan tersebut hanya untuk aparatur sipil negara (ASN). “Karena kan mereka memiliki tunjangan juga dari negara,” kata Trubus, Rabu (29/5).
Namun, problemnya, program Tapera tak hanya untuk ASN, tetapi juga karyawan swasta dan pekerja mandiri. Dalam hal ini Trubus tak sepakat. Sebab, negara tak punya tanggung jawab memotong gaji pekerja untuk iuran Tapera.
“Enak aja dia (negara) bikin aturan 3% disuruh nabung,” kata Trubus.
“(Seharusnya) negara punya tanggung jawab di situ. Misalkan 3% ini dibagi ke setengah persen negara, kan bisa. Pelaku usaha diwajibkan 0,5% dari 3%. Terus negara punya kewajiban apa? Cuma kumpul-kumpulin uang doang?”
Meski begitu, Trubus menuturan, jika pemerintah mau memberikan subsidi, bisa jadi Tapera adalah solusi bagi mereka yang tak punya rumah. “Kalau hanya masyarakat yang menabung, ya enggak akan bisa menyelesaikan masalah,” ujar Trubus.
Trubus pun pesimis harga rumah bakal tercukupi dengan iuran dari peserta sebesar 3%. Perkaranya, harga rumah semakin tinggi.
“PP 21 (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024) itu enggak jelas (masyarakat) dapat rumah kapan? Itu aja mereka hanya mengatur masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp8 juta,” kata Trubus.
“Nah, kalau masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp8 juta itu dapatnya apa? Belum diatur di situ (PP 21/2024).”
Ia mengingatkan pula, jangan sampai uang iuran yang disetor dijadikan ajang korupsi. Sebab, uang tersebut belum jelas bakal disimpan ke mana. Ia menyinggung kasus Asabri untuk perumahan anggota TNI yang bangkrut dan Jiwasraya yang juga bangkrut.
“Pertanyaannya ini, Tapera bagaimana nantinya? Yang menjamin nanti juga dapat rumah itu siapa?” ucap Trubus.