Sejumlah penelitian mengungkap manfaat berpuasa. Misalnya, penelitian yang diterbitkan di jurnal Cell Metabolism (2024) mengungkap, puasa intermiten yang membatasi kalori secara berkala bisa meningkatkan fungsi eksekutif dan memori pada lansia.
Penelitian terbaru dari para peneliti Universitas Tubingen di Jerman, yang diterbitkan di jurnal Neurobiology of Learning and Memory juga menemukan, berpuasa setelah mempelajari sesuatu meningkatkan memori untuk pengetahuan dan fakta umum. Namun, mengorbankan memori untuk detail tertentu, seperti di mana dan kapan sebuah peristiwa terjadi.
Hal ini menunjukkan, berada dalam kondisi berpuasa dapat mengalihkan fokus otak selama konsolidasi memori. Para peneliti terinspirasi dengan penelitian sebelumnya pada lalat buah, yang menunjukkan kelaparan dapat meningkatkan konsolidasi ingatan saat lalat terjaga.
Dikutip dari PsyPost, para peneliti merekrut 16 pria sehat untuk dua percobaan terpisah. Dalam setiap percobaan, para peserta mengikuti dua kondisi: satu kondisi berpuasa dan kondisi lainnya mereka makan seperti biasa.
Untuk memastikan perbandingan yang jelas, setiap peserta menjalani kondisi puasa dan makan pada waktu yang berbeda, dengan setidaknya jeda empat minggu. Sebelum memulai eksperimen, para peserta menjalani diet selama dua hari, juga menghindari kafein dan alkohol.
Di hari pertama setiap kondisi, peserta tiba di laboratorium setelah makan siang seperti biasa dan memulai periode puasa selama 18,5 jam. Keesokan paginya, dalam keadaan berpuasa, mereka melakukan beberapa tugas mengingat.
Di eksperimen pertama, tugas-tugas tersebut meliputi mempelajari pasangan kata, menyelesaikan tes memori visual menggunakan bentuk abstrak, dan melakukan latihan mengetuk jari untuk menilai memori keterampilan motorik.
Di eksperimen kedua, tugas bentuk visual diganti dengan tes memori soal apa, di mana, dan kapan yang lebih kompleks, yang menguji memori untuk objek, lokasi, dan waktu. Tugas pasangan kata dan mengetuk jari tetap dilakukan.
Setelah tugas itu, dimulai periode konsolidasi kritis. Saat kondisi kenyang, peserta menerima makanan seperti biasa selama 10 jam berikutnya, termasuk sarapan, makan siang, dan camilan. Ketika kondisi puasa, mereka berpuasa selama 10 jam yang sama, hanya menerima air dan teh buah.
Usai konsolidasi 10 jam ini, para peserta diberi makan malam. Makanan itu disesuaikan dengan kebutuhan kalori masing-masing peserta, berdasarkan tinggi badan, berat badan, usia, dan tingkat aktivitas.
Lantas, peserta kembali ke laboratorium 24 atau 48 jam kemudian, tergantung pada percobaannya. Pada percobaan pertama, daya ingat diuji setelah 48 jam dengan kondisi kenyang. Pada percobaan kedua, daya ingat diuji lebih awal, setelah 24 jam, dan peserta dalam keadaan berpuasa.
Selama sesi mengingat, para peserta diuji tugas memori yang sama, yang sudah mereka pelajari sebelumnya. Para peneliti lalu memantau kadar glukosa darah dan meminta peserta menilai rasa lapar mereka untuk memastikan manipulasi puasa efektif. Kuesioner pun dilakukan untuk menilai suasana hati, kelelahan, dan kantuk.
“Hasil percobaan pertama menunjukkan, berpuasa selama periode konsolidasi 10 jam meningkatkan daya ingat untuk (tugas) pasangan kata,” tulis PsyPost.
Namun, puasa merusak daya ingat spasial dalam tugas visual Deese-Roediger-McDermott—sebuah prosedur dalam psikologi kognitif yang digunakan untuk mempelajari memori palsu pada manusia.
“Peserta dalam kondisi berpuasa lebih buruk dalam mengingat lokasi bentuk,” tulis PsyPost.
Dalam percobaan kedua, para peneliti menemukan, puasa meningkatkan daya ingat pengenalan dalam tugas “apa, di mana, dan kapan”. Peserta dalam kondisi puasa lebih baik dalam mengenali gambar yang pernah dilihat sebelumnya.
Akan tetapi, peserta dalam kondisi puasa punya kinerja yang lebih buruk dalam mengingat konteks temporal—saat gambar diperlihatkan—dan gabungan konteks spasial serta temporal—di mana dan kapan gambar diperlihatkan.
Temuan ini menunjukkan, puasa memiliki dampak selektif pada konsolidasi memori manusia. Puasa tampaknya meningkatkan konsolidasi memori semantik, yang lebih banyak tentang pengetahuan umum dan pengenalan berbagai hal. Sebaliknya, puasa tampaknya melemahkan konsolidasi memori konteks episodik, yang lebih rinci dan kontekstual.
“Para peneliti berspekulasi, saat kita lapar, otak kita mungkin memprioritaskan pemadatan informasi faktual dasar sambil menekan pengkodean informasi kontekstual yang terperinci,” tulis PsyPost.