Sebelum Maria Branyas Morera—seorang warga Katalonia, Spanyol—meninggal pada Agustus 2024, dia menjadi orang tertua di dunia. Hingga wafat, usianya 117 tahun, 168 hari.
Baru-baru ini, para peneliti dari Spanyol yang dipimpin beberapa ilmuwan dari Josep Carreras Leukaemia Research Institute mengungkap bagaimana Maria bisa berumur panjang, dalam hasil penelitian yang diterbitkan Biorxiv.
Mereka melakukan analisis komprehensif terhadap segala hal, mulai gari gen, protein, mikrobioma, hingga metabolisme Maria. Dengan menggunakan sejumlah teknik analisis dan wawancara, para peneliti menemukan, Maria memenuhi banyak kriteria yang direkomendasikan dalam hal umur panjang dan penuaan yang sehat.
Maria adalah seorang supercentenarian—seseorang yang bisa mencapai usia 110 tahun atau lebih. Hanya satu dari 10 orang yang berhasil mencapai usia satu abad, lalu berhasil bertahan hidup selama satu dekade lagi.
Mengutip The Guardian, Branyas lahir di San Francisco pada 4 Maret 1907, setelah orang tuanya pindah dari Spanyol dan Meksiko ke Amerika Serikat. Dia menghabiskan waktu di Texas dan New Orleans, sebelum keluarganya kembali ke Spanyol pada 1915—di tengah Perang Dunia I—dan menetap di Catalonia.
Beberapa peristiwa besar yang dialaminya adalah perang saudara Spanyol (1936-1939), Perang Dunia II (1939-1945), pandemi flu 1918, dan pandemi Covid-19. Branyas mendapat pengakuan dari Guinness World Records sebagai orang tertua di dunia pada Januari 2023, usai kematian biarawati Prancis Lucile Randon yang berusia 118 tahun.
Dia menghindari minum alkohol dan merokok, menikmati jalan-jalan, dan kerap berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terdekat, yang semuanya itu tampaknya membantu mencegah kemerosotan, baik fisik maupun mental yang bisa memperpendek hidupnya.
Menurutnya kepada situs Guninness, keteraturan, ketenangan, hubungan baik dengan keluarga dan teman, kontak dengan alam, stabilitas emosional, tidak ada kekhawatiran, tidak ada penyesalan, banyak hal positif, dan menjauhi orang-orang yang toksik adalah rahasia usia panjangnya.
“Saya pikir umur panjang juga berarti beruntung. Keberuntungan dan genetika yang baik,” kata Branyas.
Dikutip dari Science Alert, Branyas memiliki gaya hidup yang aktif secara mental, sosial, dan fisik. Misalnya, emnghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga dan teman-teman. Faktor-faktor ini dapat mencegah demensia. Maria juga menjaga pola makan dengan baik, terutama menjalankan diet gaya Mediterania yang dikaitkan dengan umur yang lebih panjang.
Satu hal yang dicatat para peneliti adalah kegemaran Maria pada yogurt. Para peneliti menduga, pilihan diet Maria membantu mendorong pertumbuhan bakteri usus yang sehat—dan memang mikrobioma ususnya punya karakteristik seseorang yang jauh lebih muda.
“Mikroorganisme sangat penting dalam menentukan tidak hanya komposisi metabolit tubuh kita, tetapi juga peradangan, permeabilitas usus, kognisi, serta kesehatan tulang dan otot,” tulis para peneliti.
Variasi DNA kita lebih lama dianggap penting dalam menentukan mortalitas seseorang. Maria memiliki gen yang terkatit dengan sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat, perlindungan terhadap penyakit jantung, dan pengurangan risiko kanker.
Para peneliti juga meneliti metilasi DNA, yakni mekanisme penandaan kimia yang memengaruhi cara gen diekspresikan.
Faktor lain yang disorot para peneliti adalah metabolisme Maria yang sangat efisien. Hal ini menyebabkan rendahnya kadar kolesterol jahat dan tingginya kadar kolesterol baik, serta rendahnya tingkat peradangan.
Meski sebagian besar dari kita tidak akan mencapai usia 177 tahun, menurut Science Alert, penelitian ini membantu dalam memahami bagaimana tubuh bisa diberi kesempatan terbaik untuk menua tanpa penyakit.
Gen yang diwarisi Branyas memungkinkan sel-selnya untuk merasa dan berperilaku seolah-olah 17 tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Mikrobiota Branyas—yang terutama merujuk pada bakteri dalam usus manusia yang berperan dalam menjaga kesehatan—mencerminkan mikrobiota bayi. Dan penyakit yang dihadapi selama masa senjanya sebagian besar terbatas pada nyeri sendi dan kehilangan pendengaran.
Para peneliti mengatakan, Branyas mencontohkan bagaimana penuaan dan penyakit—setidaknya dalam kondisi tertentu—tidak harus selalu berjalan beriringan. “Dari hasil studi genetik yang dilakukan terhadapnya, menentang persepsi bahwa (penuaan dan penyakit) saling terkait erat,” kata para peneliti, dikutip dari The Guardian.