close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak-anak dan media sosial./Foto geralt/Pxabay.com
icon caption
Ilustrasi anak-anak dan media sosial./Foto geralt/Pxabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Kamis, 03 April 2025 06:14

Remaja miskin lebih banyak waktu menggunakan media sosial

Riset ini mencoba menyoroti bagaimana kekurangan materi memengaruhi akses dan penggunaan media sosial oleh remaja.
swipe

Media sosial saat ini sudah menjadi keseharian dari para remaja. Akan tetapi, remaja dari kelas ekonomi mana yang lebih aktif menggunakan media sosial?

Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Computers in Human Behavior (April, 2025) berjudul “Deprivation’s role in adolescent social media use and its links to life satisfaction” mencoba menyoroti bagaimana kekurangan materi memengaruhi akses dan penggunaan media sosial oleh remaja, dan apakah hal itu mengubah dampak media sosial terhadap kesejahteraan emosional mereka.

“Pembahasan tentang hubungan antara media sosial dan kesejahteraan remaja sering kali mengabaikan pengalaman remaja dari rumah tangga miskin. Saya ingin mengtasi kesenjangan ini dengan memanfaatkan data yang ada untuk memberikan bukti empiris,” kata salah satu peneliti studi itu yang juga asisten profesor di Universitas Utrecht, Sebastian Kurten, dikutip dari PsyPost.

Para peneliti menganalisis data 10 tahun, yang dikumpulkan antara tahun 2009 dan 2019 dari studi Understanding Society yang melacak puluhan ribu rumah tangga di seluruh Inggris. Analisis khusus ini mencakup 23.155 remaja berusia 10 hingga 21 tahun, yang menghasilkan hampir 80.000 titik pengukuran. Para peserta menanggapi survei tentang akses dan penggunaan media sosial mereka, sedangkan orang tua mereka menjawab pertanyaan tentang situasi keuangan keluarga.

Para peneliti menggunakan indeks yang telah ditetapkan untuk menentukan apakah keluarga mengalami kekurangan materi. Bagi remaja yang lebih muda, kekurangan tersebut meliputi segala hal seperti tidak mampu membiayai perjalanan sekolah atau mantel musim dingin. Sementara remaja yang lebih tua, kekurangan tersebut meliputi segala hal seperti ketidakmampuan membayar tagihan rumah tangga atau membeli perabotan.

Para peneliti menggunakan pemodelan statistik untuk memilah peserta ke dalam kategori kekurangan yang berbeda, lalu melihat bagaimana hal ini terkait dengan akses media sosial, waktu yang dihabiskan di media sosial, dan kepuasan hidup yang dilaporkan sendiri.

Kepuasan hidup diukur setiap tahu lewat pertanyaan survei yang sesuai dengan usia. Untuk media sosial, mereka menanyakan apakah remaja tersebut memiliki akses ke platform media sosial dan berapa jam mereka biasanya menghabiskan waktu menggunakannya di hari sekolah.

Hasilnya, remaja dari rumah tangga miskin cenderung tidak memiliki akses ke media sosial, terutama di usia muda. Misalnya, pada usia 11 tahun, 76% remaja yang tidak miskin memiliki akun media sosial, dibandingkan dengan 69% remaja miskin.

Namun, pada usia 18 tahun, kesenjangan ini menghilang. Sebab, hampir semua remaja, apa pun latar belakangnya, telah bergabung dengan media sosial. Menariknya, di antara mereka yang memiliki akses, remaja dari rumah tangga miskin melaporkan menghabiskan sedikit lebih banyak waktu di media sosial daripada teman sebaya mereka yang lebih kaya.

Menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial dikaitkan dengan kepuasan hidup yang sedikit lebih rendah. Namun, hubungan ini sederhana dan konsisten terlepas dari latar belakang sosial ekonomi.

Deprivasi—kondisi tak bisa memiliki, menikmati, atau menggunakan sesuatu—sangat terkait dengan kepuasan hidup yang lebih rendah secara keseluruhan, tetapi tampaknya tidak memperburuk efek penggunaan media sosial. Bahkan, ketika para peneliti menggunakan pemodelan longitudinal yang canggih untuk melacak perubahan dalam diri individu dari waktu ke waktu, mereka tidak menemukan bukti kalau deprivasi memengaruhi bagaimana penggunaan media sosial berperan terhadap kepuasan hidup jangka panjang.

Penelitian ini juga menguji apakah akses ke media sosial berkaitan dengan kesejahteraan emosional. Hasilnya, remaja dari rumah tangga miskin yang punya akses media sosial melaporkan kepuasan hidup yang lebih rendah, tetapi temuan ini lemah dan tidak konsisten di semua model.

“Kemiskinan menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap kesejahteraan dan perkembangan remaja,” kata Kurten kepada PsyPost.

“Meskipun ada perdebatan tentang dampak media sosial terhadap kesehatan mental remaja, isu-isu struktural seperti kemiskinan dan kekurangan materi sering kali diabaikan. Faktor-faktor ini menciptakan kerugian yang berkepanjangan bagi remaja dan perlu mendapat perhatian lebih dalam wacana publik.”

Walau penelitian ini memberikan sedikit kepastian kalau media sosial tampaknya tak terlalu berbahaya bagi remaja yang tumbuh dalam kemiskinan, tetapi para peneliti memperingatkan agar tak menarik kesimpulan yang terlalu luas.

Perkaranya, salah satu keterbatasannya adalah penelitian ini mengandalkan data yang dilaporkan sendiri tentang penggunaan media sosial, yang mungkin rentan terhadap kesalahan. Para remaja mungkin saja melebih-lebihkan atau meremehkan berapa banyak waktu yang mereka habiskan secara daring, dan survei itu tak membedakan antara berbagai jenis aktivitas media sosial.

“Kami menggunakan data panel representatif dari Inggris yang dikumpulkan beberapa tahun lalu, tetapi pada saat itu, penggunaan media sosial dinilai dengan skala 1 hingga 5 yang sederhana, bukan pengukuran yang lebih rinci,” ujar Kurten.

“Untungnya, penelitian telah berkembang pesat, dan studi yang lebih baru menggunakan penilaian ayng lebih canggih. Namun, tren umum yang diamati dalam data kami selaras dengan temuan dari studi yang menggunakan pengukuran yang lebih baik ini.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan