close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi TikTok./Foto iXimus/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi TikTok./Foto iXimus/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Jumat, 29 November 2024 16:59

Pangkal remaja stres dan cemas saat berselancar berlebihan di TikTok

Dari sisi usia, pengguna TikTok di Indonesia rata-rata 18-24 tahun dengan persentase 40%.
swipe

Yolanda Galya, 20 tahun, percaya for you page (FYP) yang berseliweran di beranda TikTok sangat berpengaruh terhadap kondisi mentalnya. Menurut dia, FYP ibarat cermin dunia.

“Lo bisa lihat orang-orang dengan gaya hidup yang super ideal dan kadang bikin lo ngerasa, ‘gue kok kayaknya enggak se-perfect itu ya’. Akhirnya, stres deh,” ujar Yolanda kepada Alinea.id, Selasa (26/11).

“Karena standar yang ditonjolin itu kadang enggak sesuai sama kenyataan (hidup) kita.”

Bagi Yolanda, hal itu sering menjadi masalah, terutama untuk anak muda. Sebab, menjadi terbiasa dengan hidup yang serban instan dan kelihatan mulus. Padahal, kata dia, dunia nyata tidak seperti itu.

“Akhirnya, kita jadi ngejar standar hidup yang enggak realistis dan pas enggak tercapai, malah jadi frustasi,” ujar dia.

“Banyak yang mulai ngerasa kecewa sama diri sendiri, bahkan ngerasa minder.”

Yolanda mengatakan, untuk bermain TikTok agar tak timbul rasa cemas, seseorang mesti punya kesadaran diri. Memahami apa yang dilihat di TikTok tidak selalu nyata.

“Lo juga perlu sadar kalau hidup itu enggak bisa diukur dari konten yang lo lihat di sana. Jangan sampai konten yang ada di FYP lo malah ngendaliin cara lo mikir atau ngerasa enggak cukup,” ujar Yolanda.

“Dan mungkin, lo bisa batasi juga waktu yang lo habisin di TikTok, supaya enggak kebawa suasana.”

Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia, merujuk data Statista. Angkanya 157,6 juta pengguna per Agustus 2024. Data We Are Social dan Meltwater menunjukkan, Indonesia menjadi negara teratas sebagai negara yang mengakses TikTok terlama di ponsel Android, yakni 2.495 menit per bulan. Sedangkan dari sisi usia, pengguna TikTok di Indonesia rata-rata 18-24 tahun dengan persentase 40%. Diikuti usia 25-34 tahun dengan persentase 37%.

Dari data itu, tak bisa dimungkiri, TikTok sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari generasi Z. Selain menjadi sumber informasi dan hiburan, TikTok ternyata berpengaruh terhadap kondisi mental anak muda.

Penelitian Mardiana DM, Nova Mardiana, dan Maryana dari ilmu keperawatan Institut Citra Internasional, Bangka Belitung yang diterbitkan Jurnal Penelitian Perawat Profesional (Februari, 2024) menemukan—berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa SMK Sore Pangkalpinang—lima orang remaja pengguna TikTok mengatakan menonton media sosial itu hingga larut malam, dua orang mengatakan sering stres dan cemas karena kerap merasa tak percaya diri, iri, dan tak puas dengan kehidupannya sendiri.

“Itu muncul ketika individu melihat berbagai posting-an yang diunggah oleh pengguna media sosial lainnya dan terkadang terlalu sibuk membandingkan kehidupan diri sendiri dengan kehidupan orang lain,” tulis Mardiana dkk.

Satu orang lainnya mengatakan, media sosial juga menyebabkan dia merasa insecure, serta gangguan suasana hati yang ditandai dengan rasa sedih ataupun tertekan. Temuan itu berdasarkan penelitian pendahuluan mereka yang dilakukan pada 2023.

Lalu, ketika melakukan penelitian terhadap siswa kelas X dan XI SMK Sore, dengan jumlah sampel sebanyak 102 remaja, didapatkan remaja yang mengalami stres berat karena menggunakan TikTok yang tinggi berjumlah 33 orang (70.2%).

“Remaja dengan penggunaan media sosial TikTok yang tinggi memiliki kecenderungan mengalami stres berat 2,8 kali lebih besar dibandingkan remaja dengan penggunaan media sosial TikTok rendah,” tulis para peneliti.

Kemudian, remaja yang mengalami kecemasan berat dengan penggunaan TikTok yang tinggi berjumlah 29 orang (61,7%). “Remaja dengan penggunaan media sosial TikTok yang tinggi memiliki kecenderungan mengalami tingkat kecemasan berat 3,5 kali lebih besar dibandingkan remaja dengan penggunaan media sosial TikTok rendah,” kata para peneliti.

Menanggapi masalah ini, psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan mengatakan, TikTok merupakan media sosial yang punya panggung besar untuk semua jenis konten. Ketika remaja yang sedang mencari jati diri melihat konten gaya hidup di TikTok, kata Sani, mereka cenderung terinspirasi oleh apa yang ditonton.

“Masalahnya, jika ada jarak yang jauh antara realitas kehidupan mereka dengan standar ideal yang diharapkan. Ini bisa meningkatkan kecemasan dan stres karena mereka merasa apa yang diinginkan tidak tercapai,” ujar Sani, Selasa (26/11).

Menurut Sani, hal ini sering terjadi karena ada harapan ideal yang terlalu tinggi dibandingkan kenyataan. Oleh karenanya, konten TikTok yang tanpa sadar mempromosikan standar hidup tertentu, harus disikapi dengan bijak oleh remaja.

Ditambah lagi fenomena fear of missing out (FOMO) yang sering kali muncul, saat anak muda merasa tertinggal dari tren. Mereka ingin terus mengikuti apa yang sedang viral agar tidak merasa ketinggalan zaman. Menurut Sani, fase kehidupan remaja yang sedang mencari jati diri, membuat mereka lebih rentan terhadap fenomena ini.

“Ketika tren yang ada tidak diikuti, mereka bisa merasa minder, cemas, atau bahkan stres. Pada akhirnya, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial menjadi lebih dominan daripada kebutuhan pribadi mereka,” kata Sani.

Ada pula kelompok sosial tertentu yang lebih menghakimi. Misalnya, kata Sani, jika seseorang tidak terlihat trendi, maka mereka bisa dianggap kurang relevan oleh teman sebayanya.

“Hal ini menciptakan tekanan sosial yang cukup besar bagi remaja,” tutur Sani.

Akan tetapi, Sani mengatakan, kecemasan pada pengguna TikTok tergantung pada individu masing-masing. Ada yang menggunakan TikTok sekadar untuk refreshing atau mencari inspirasi. Ada juga yang terlalu hanyut dalam konten dan mengkhayal ingin mendapatkan sesuatu secara instan tanpa memperhitungkan kemampuan mereka.

“Ketika harapan mereka tidak sesuai dengan realitas, kecemasan bisa meningkat. Apalagi jika seseorang sudah memiliki kecenderungan anxiety sebelumnya, konsumsi konten yang tidak realistis bisa memperburuk keadaan,” kata Sani.

“Faktor-faktor seperti self-awareness dan pola pikir realistis juga berperan penting di sini.”

img
Irene Anggraini
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan