Kasus seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Supriyani, menyita perhatian publik. Kasus yang sudah sampai di pengadilan itu, berawal dari laporan orang tua murid yang merupakan anggota kepolisian dengan tuduhan penganiayaan terhadap anaknya pada April 2024.
Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala SDN 4 Baito Sanaali, siswa tersebut jatuh di selokan. Namun, tiba-tiba mengaku dipukul Supriyani. Para guru yang diperiksa polisi juga membantah adanya penganiayaan. Kasus ini menjadi polemik karena ada dugaan pelanggaran kode etik hingga rumor permintaan uang damai.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengatakan, kasus kriminalisasi terhadap guru bukanlah kali pertama. Tahun ini saja, kata dia, sudah banyak guru menjadi korban.
Misalnya, kejadian yang menimpa seorang guru agama berinisial AS di SDN 1 Towea, Kabupaten Muda, Sulawesi Tenggara. Dia dilaporkan polisi karena dituduh memukul seorang murid menggunakan sapu lidi. Dalam video klarifikasinya, AS menjelaskan insiden itu bermula saat dirinya meminta para siswa untuk ikut kerja bakti membersihkan sekolah. Namun, salah seorang murid tidak mengikuti arahan itu. Ketika ingin memukul, muridnya itu menghindar. Akhirnya, sapu lidi terkena pipinya.
Lalu, ada guru olahraga berinisial M di SDN 1 Wonosobo, Jawa Tengah yang dilaporkan orang tua murid ke polisi karena dituduh menampar anaknya. M mengatakan, ada kesalahpahaman dalam kasus ini. Mulanya, ada dua siswa yang tengah berebut bola, saat pelajaran olahraga di sekolah.
M mengaku, dia hanya melerai saat dua siswa yang berebut bola untuk mendidik. Bukan untuk menyakiti. Kasus yang dilaporkan pada 7 September 2024 itu, sudah berujung damai. Di media sosial beredar isu orang tua murid meminta uang damai Rp30 juta. Namun, kabar itu dibantah wali murid.
Kemudian, seorang guru yang bertugas di SD 27 Doule, Bombana, Sulawesi Tenggara berinisial M yang dilaporkan polisi karena dituding menganiaya muridnya. Mulanya, para murid diminta melakukan kerja bakti. Saat siswa lain sibuk memberishkan area sekolah, ada murid yang memilih masuk ruang kelas dan tak ikut teman-temannya.
Sang guru yang melihat, meminta siswa itu untuk ikut serta kawan-kawannya. Namun, murid tersebut menolak. M yang akan menarik tangan siswa itu, justru mengenai wajah murid tersebut. Kasus ini berujung damai pada Senin (28/10).
Tak kalah miris, pada Agustus tahun lalu, seorang guru olahraga SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu, Zaharman, mendapat penganiayaan dari orang tua murid. Mata kanannya diketapel, hingga mengalami buta permanen. Penganiayaan itu terjadi karena orang tua siswa tak terima anaknya ditegur saat ketahuan merokok di kantin sekolah.
“Akhirnya buat guru jadi takut. Para guru bingung, ketika mendisiplinkan disebut salah,” ujar Iman kepada Alinea.id, Kamis (31/10).
Meski diakuinya, tindakan hukuman fisik sudah tidak boleh dilakukan, tetapi dalam beberapa kasus justru terjadi tudingan yang tak sesuai dan dilaporkan ke polisi. Maka, kata dia, sudah seharusnya pemerintah dan sekolah melindungi guru.
Menurut Iman, perlindungan terhadap guru sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
“Tinggal penerapannya saja yang masih diragukan,” ujar Iman.
“Pemerintah harus menyediakan bantuan hukum untuk para guru yang mendapatkan masalah hukum.”
Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus menyampaikan, perlakuan guru kepada murid harus seperti seorang dewasa dalam memperlakukan anak-anak. Setiap guru harus mengetahui tindakan kekerasan dan disiplin sesuai kebijakan sekolah.
Kebijakan sekolah ini, kata Doni, harus dikomunikasikan dengan para orang tua murid. Tujuannya, saat ada sanksi yang menimpa anak didik, orang tua tidak akan protes dan dapat mengerti kalau itu bagian dari pendisiplinan.
“Jadi guru harus memberikan disiplin yang manusiawi dan edukatif,” kata Doni, Kamis (31/10).
Senada dengan Iman, Doni pun mengingatkan agar pemerintah hingga masyarakat bisa melindungi para guru sesuai dengan Permendikbud 10/2017. Dalam pasal 2 ayat (3) beleid itu disebutkan, perlindungan hukum bagi pendidik atau tenaga kependidikan mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Lalu, dalam pasal 4 ayat (5) aturan yang sama disebutkan, pemenuhan dan/atau pemulihan hak pendidik dan tenaga kependidikan dapat berupa bantuan untuk mendapatkan penasihat hukum dalam penyelesaian perkara melalui proses pidana, perdata, tata usaha negara, atau pemenuhan ganti rugi.
“Karena bapak-ibu guru tentu hampir tidak memiliki apa-apa untuk mendapatkan bantuan hukum,” tutur Doni.