close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi resolusi tahun baru. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi resolusi tahun baru. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 02 Januari 2025 12:29

Riwayat resolusi tahun baru yang tak lagi ngetren di era gen Z

Mayoritas gen Z tak lagi mempertimbangkan untuk bikin resolusi awal tahun.
swipe

Sebagian orang mungkin menjadikan resolusi tahun baru sebagai tradisi di awal tahun yang harus disiapkan. Sebagian lainnya mengindahkannya atau mulai meninggalkannya. Ada pula yang bahkan membencinya. Namun, hampir semua orang secara tak sadar menjalankan atau merencanakan resolusi tahun baru. 

Mulanya, resolusi tahun baru dijalankan dengan niat yang optimistis. Namun, riset menunjukkan hanya sebanyak 64% individu yang mampu meneruskan resolusi tahun baru itu hingga bulan ketiga. Kebanyakan orang gagal menjalankan resolusi tahun baru mereka pada bulan Februari. Hanya sedikit yang mampu menuntaskan resolusi tahun baru hingga akhir. 

Lantas untuk apa kita punya tradisi semacam itu? Menurut catatan sejarah, tradisi resolusi tahun baru ternyata dimulai sekitar 3.000 hingga 4.000 tahun yang lalu oleh orang-orang Babilonia (sekarang Irak dan Suriah). 

Profesor teologi dari University of Birmingham, Candida Moss mengatakan 
resolusi tahun baru menjadi bagian dari festival Akitu yang dirayakan setiap April, bulan pertama dalam kalender kaum Babilonia. Festival Akitu merupakan perayaan pembuka musim bercocok tanam. 

"Sebagaimana festival-festival tahun baru kuni lainnya, Akitu merayakan penciptaan dan kesuburan, baik untuk pertanian maupun dalam skala kosmik," jelas Moss seperti dikutip dari CNN

Berbasis mitos, orang-orang Babilonia kala itu percaya dunia diciptakan oleh dewa Marduk. Dunia lahir setelah Marduk membunuh musuh bebuyutannya yang bernama Tiamat. Dari kerangka Tiamat, Marduk lantas membangun bumi dan segala isinya. 

Dalam festival Akita, menurut Moss, orang-orang Babilonia berkumpul dan menghaturkan sesembahan dan doa. "Sebagian dimaksudkan untuk menenangkan dewa-dewa Babilonia yang temperamental, semisal bersumpah untuk membayar utang atau mengembalikan alat-alat tani yang pernah mereka pinjam," jelas Moss. 

Di era Romawi, tradisi serupa juga dijalankan. Menurut Moss, orang-orang Romawi tak menggunakan terminologi resolusi tahun baru, namun mereka memulai awal tahun dengan pola pikir positif. Sebagai bagian dari tradisi, orang-orang Romawi biasanya saling tukar hadiah dan makanan. 

Catatan tradisi semacam itu, misalnya, terekam dalam buku puisi Fasti karya penyair Ovid. Seringkali dilengkapi dengan beragam etiologi, fasti disusun sebagai serangkaian laporan saksi mata dan wawancara yang menjelaskan asal-usul hari libur Romawi dan adat istiadat terkait. 

"Mereka (orang-orang Romawi) bertukar buah ara, madu, atau makanan lainnya yang merepresentasikan kesejahteraan. Selain itu, mereka juga bekerja setengah hari sebagai simbol pertanda baik untuk sepanjang tahun," tutur Moss. 

Simbolisasi resolusi tahun baru tak selalu identik di berbagai kebudayaan. Di Irlandia, misalnya, bersih-bersih rumah di awal tahun jadi simbol resolusi hidup lebih baik. Di Kolombia dan sebagian negara di Amerika Latin, warga setempat membakar boneka kain Ano Viejo sebagai simbolisasi membuang nasib buruk pada tahun sebelumnya.  

Louisa McKenzie, sejarawan dari Warburg Institute, London, Inggris, mengatakan terminologi resolusi tahun baru ditemukan kali pertama dalam diari milik Anne Halkett, penulis memoir dan teks relijius asal Skotlandia. 

"Pada 2 Januari 1671, (di salah satu lembar diari) dia membuat serangkaian niat untuk dijalankan di bawah tajuk 'resolusi'. Ini menjadi referensi bahwa praktik-praktik semacam itu (membuat resolusi tahun baru) mulai menyebar," jelas McKenzie. 

Mulanya, menurut McKenzie, resolusi tahun baru bersifat relijius. Pada 1740, misalnya, penemu aliran Methodism John Wesley memperkenalkan Covenant Renewal Service sebagai alternatif selebrasi awal tahun yang boros dan tidak berfaedah. Tujuan perjanjian itu ialah untuk memperbaharui komitmen umat Kristen terhadap Tuhan dan gereja. 

Baru pada awal abad ke-19, resolusi tahun baru jadi tradisi global yang lepas dari nuansa relijius. Di koran-koran dan majalah di Amerika Serikat, frasa resolusi awal tahun muncul sebagai parodi atau dalam bentuk satire. 

"Penyebutan praktik aspiratif itu muncul di koran-koran, artikel majalah dan dalam bentuk kartun, seringkali merujuk pada kegagalan orang-orang untuk merawat resolusi mereka," jelas McKenzie. 

Meskipun dirayakan secara berbeda-beda, logika tradisi dan resolusi awal tahun punya logika yang sama: memulai dengan sesuatu yang positif dan menjalankannya hingga akhir tahun. Namun, hanya sedikit orang yang punya komitmen kuat untuk mematuhi resolusi yang mereka buat di awal tahun. 

Dalam sebuah analisis di The Conversation, pakar perilaku adiksi dari Nottingham Trent University, Mark Griffiths mengungkap sejumlah alasan kenapa kebanyakan individu gagal menjalankan resolusi mereka. Pertama, resolusi yang disusun terlalu banyak. Kedua, resolusi tak realistis. 

"Mereka juga mungkin jadi korban sindrom harapan palsu. Sindrom ini ditandai dengan ekspektasi tidak realistis mengenai kecepatan, jumlah, kemudahan, dan konsekuensi dari perubahan perilaku yang jadi bagian dari resolusi," kata Griffiths. 

Mengubah kebiasaan buruk, kata Griffiths, merupakan hal yang sangat sulit. Itulah kenapa banyak orang tak mau lagi bikin resolusi tahun baru. Survei yang dilakoni OnePoll terhadap 2.000  warga AS pada 2023 menunjukkan sebanyak 55% responden menganggap resolusi tahun baru sudah ketinggalan zaman. 

Namun, Griffiths menyarankan agar orang-orang tetap membuat resolusi tahun baru. Apalagi, riset menunjukkan orang-orang yang membuat resolusi tahun baru lebih berpeluang mencapai tujuan hidupnya ketimbang yang tidak. 

"Terima kemunduran sebagai bagian dari proses. Tidak terelakkan bahwa ketika kita ingin mengubah kebiasaan (konsumsi alkohol, rokok, atau junk food), akan ada kemunduran. Kita tak semestinya merasa bersalah karena menyerah tapi menerima itu sebagai bagian dari proses belajar," ujar Griffiths. 


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan