Media sosial belakangan telah menjadi etalase bagi setiap orang untuk menampilkan citra diri. Sebagian orang menggunakan kolom dalam akun media sosial mereka sebagai tempat aktualisasi diri, seperti mengabarkan sedang di mana, melakukan apa, juga bersama siapa.
Di sisi lain, sejumlah peneliti kesehatan mental mulai mewanti-wanti risiko yang ditimbulkan dari penggunaan media sosial secara berlebihan. Gwenn Schurgin O’Keeffe dan Kathleen Clarke-Pearson pada artikel berjudul “The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families” dalam jurnal The American Academy of Pediatrics (volume 127, April 2011) menguraikan beberapa risiko penggunaan media sosial.
O’Keffe dan Clarke-Pearson menyebut potensi bahaya media sosial dapat “merusak diri secara perlahan dengan cara bermain yang cantik”. Setidaknya ada tiga bahaya laten akibat kecanduan menggunakan media sosial.
Pertama, media sosial membentuk delusi atau harapan-harapan yang semu. Adiksi yang dibawa oleh kebiasaan menggunggah ataupun melihat unggahan dari warganet lain berpengaruh terhadap cara seseorang menanggapi pihak lain.
“Rasa kesepian, konsep diri yang berubah, dan respons positif atas diri orang lain berbaur dengan bahaya adiktif yang memperparah kondisi psikologis,” tulis O’Keffe dan Clarke-Pearson.
Kedua, adiktif. Para ahli sepakat bahwa adiksi internet membuat seseorang mengalami perubahan karakteristik psikologis dan kepribadian. Sejumlah gejala dari ‘adiksi Facebook’ misalnya, menujukkan beberapa kecenderungan utama seseorang untuk mengabaikan kehidupan pribadinya.
Gejala ini adalah sikap lari dari masalah, pengalaman-pengalaman gairah atau mood yang naik-turun, keadaan diri yang abai atau membiarkan larut dalam mental adiksi. Selain itu, orang yang terbiasa memakai media sosial dalam kesehariannya akan bersikap cuek terhadap kondisi ketergantungannya untuk terus mengakses media sosial.
Efek negatif adiksi media sosial diilustrasikan seperti narkotika (drugs) yang menimbulkan rasa tenang dan nyaman bagi penggunanya, tetapi malah membuat hidup mereka makin terpuruk dan hancur.
Ketiga, media sosial memicu kesedihan lebih dalam dan mengganggu ketenteraman batin. O’Keffe dan Clarke-Pearson menuliskan, interaksi sosial yang nyata dalam lingkungan positif dan suportif—bukan di dunia maya—jauh lebih kuat meningkatkan kesejahteraan hidup.
Kebiasaan komentar negatif
Di samping itu, kolom komentar atau reply yang terdapat dalam format akun media sosial juga mendorong setiap penggunanya untuk bebas menyampaikan perkataan apapun. Menurut psikolog Ayoe Sutomo, penilaian atau komentar negatif terhadap seseorang adalah stimulus utama yang bisa mengganggu kesehatan psikologis orang. Tak terkecuali komentar di media sosial.
“Setiap orang akan rentan terhadap komentar tertentu dari aktivitas bermedia sosial, apalagi isi komentar yang buruk atau menjelek-jelekkan,” kata Ayoe, yang dihubungi Jumat (22/11).
Ayoe menambahkan, peluang pendapat negatif untuk menyakiti perasaan seseorang atau tidak dipengaruhi oleh faktor kondisi psikologis masing-masing orang. Meski begitu, Ayoe membenarkan bahwa kontak melalui media sosial merupakan interaksi yang cenderung merusak kesejahteraan hidup kalangan dewasa muda.
“Itu bisa jadi hal yang bertentangan dengan manfaat dari pertemuan secara langsung. Jadi komunikasinya yang seharusnya bisa lebih terbuka bisa menjadi termanipulasi di media sosial,” kata dia.
Ayoe menambahkan, bila kondisi psikologis seseorang sedang tertekan atau stres, percakapan atau berbalas tanggapan negatif di media sosial berpotensi membuat depresi.