

Risiko jatuhnya sampah antariksa

Akhir Desember 2024 lalu, bongkahan sampah antariksa berbentuk cincin logam seberat 500 kilogram menghantam sebuah desa di Kenya. Warga desa Mukuku, di tenggara ibu kota Nairobi, terhentak karena sampah antariksa saat terjatuh suaranya mirip bom.
Dikutip dari SpaceNews, pada awal 2025, puing-puing luar angkasa dari uji coba roket Starship milik Space X yang gagal mendarat jatuh di Kepulauan Turks dan Caicos, yang berada di wilayah Kepulauan Karibia.
Peneliti di Universitas Nasional Singapura, Taufik Rachmat Nugraha dalam The Conversation menulis, merujuk Inter Agency Space Debris Coordination Committee (IADC), sampah antariksa adalah sisa-sisa objek antariksa buatan manusia—termasuk pecahan dan semua elemen yang terdapat di dalamnya—di orbit bumi atau yang kembali ke atmosfer bumi, tetapi sudah tidak berfungsi.
Saat ini, sebut Taufik, setidaknya ada 36.000 objek antariksa yang tengah dipantau Satellite Surveilance Network (SSN). European Space Agency (ESA) tahun 2024 memperkirakan, ada lebih dari 40.000 puing-puing berdiameter lebih dari 10 cm di orbit sekitar bumi. Sekitar lebih dari 650 objek di antaranya diperkirakan berasal dari hasil tabrakan dengan objek antariksa lain, ledakan, atau kerusakan alami.
Kekhawatiran timbul, jika serpihan sampah dari angkasa itu jatuh menghantam pesawat terbang. Para peneliti dari Universitas British Columbia di Kanada dalam jurnal Scientific Reports (2025) menulis, meningkatnya risiko pesawat bakal dihantam sampah ruang angkasa karena didorong penyebaran satelit massal, seperti Starlink milik Space X.
ABC News menyebut, penelitian ini difokuskan terutama pada badan roket karena ukurannya. Badan roket cenderung masih dan tanah panas, serta menimbulkan risiko korban jiwa bagi orang-orang di darat, laut, atau udara.
Discover Magazine menulis, pada 2024 ada 258 peluncuran roket yang berhasil. Namun, ada 120 puing roket yang masuk kembali ke bumi tanpa kendali, dengan lebih dari 2.300 badan roket di orbit. Sedangkan jumlah penumpang pesawat diperkirakan akan tumbuh sebesar 7% tahun ini.
Memastikan keselataman penerbangan dalam konteks potensi serangan sampah antariksa tidak dipertimbangkan hingga bencana pesawat ulang alik Columbia pada 2003, saat pesawat antariksa itu pecah kala memasuki kembali atmosfer. Penelitian itu menguraikan risiko berdasarkan wilayah ruang udara dengan melacak kepadatan lalu lintas udara tertinggi menggunakan data tahun 2023.
Menurut Science Alert, semakin banyaknya satelit dan roket yang dikirim ke orbit, sementara semakin banyak pesawat yang mengudara, maka kemungkinan terjadinya tabrakan semakin besar.
“Wilayah dengan kepadatan tertinggi di sekitar bandara utama, memiliki peluang 0,8% per tahun untuk terkena dampak yang tidak terkendali,” tulis para peneliti, dikutip dari Science Alert.
“Angka ini meningkat hingga 26% untuk wilayah udara yang lebih besar tetapi sangat sibuk, seperti yang terdapat di Amerika Serikat hingga timur laut, Eropa utara, atau di sekitar kota-kota besar di kawasan Asia Pasifik.”
The Aerospace Corporation, menurut Science Alert, menyebut kemungkinan tabrakan pesawat yang fatal dengan benda yang jatuh dari luar angkasa mendekat 1 banding 100.000 pada 2021. Bahkan bongkahan terkecil dari roket atau satelit yang terbakar bisa menjatuhkan pesawat.
Taufik Rachmat Nugraha mengungkapkan, dalam hukum internasional sebenarnya pengelolaan sampah antariksa diatur dua konvensi utama, yakni The Outer Space Treaty 1967 (OST 1967) dan Liability Convention 1972. Dua konvensi ini menegaskan, setiap negara bertanggung jawab atas aktivitas antariksa mereka, termasuk dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain.
OST 1967 pun mewajibkan negara atau entitas swasta menghindari kontaminasi atmosfer bumi dan permukaan akibat aktivitas antariksa. Selain itu, ada Space Traffic Management (STM) yang bertujuan mengatur lalu lintas antariksa agar lebih aman, efisien, dan bertanggung jawab.
“Salah satu unsur penting dalam STM adalah Space Situational Awareness (SSA), yaitu mekanisme pemantauan objek-objek antariksa yang berpotensi bertabrakan atau jatuh ke permukaan bumi,” tulis Taufik.
Kepada ABC News, profesor madya fisika dan astronomi di Universitas British Columbia, Aaron Boley, yang ikut dalam penelitian, tak menganjurkan menutup wilayah udara untuk menghindari potensi tabrakan benda angkasa dengan pesawat. Sebab, hal itu bisa menyebabkan gangguan ekonomi dan masalah keselamatan lainnya dengan mengalihkan penerbangan.
Misalnya, pada 2022 Spanyol dan Prancis menutup sebagian wilayah udara negara tersebut saat badan roket seberat 20 ton hendak memasuki kembali atmosfer. Badan roket itu akhirnya jatuh ke Samudera Pasifik. Namun, penutupan itu menunda 645 pesawat selama 30 menit dan mengalihkan beberapa pesawat yang sudah mengudara.
Dinukil dari Science Alert, para peneliti mengatakan, ada solusinya, yakni pihak yang meluncurkan objek ke langit dapat berinvestasi dalam teknologi pengendalian kembali roket. Meskipun teknologi ini sudah ada, tetapi hanya kurang dari 35% peluncuran saat ini yang menggunakannya.
“Otoritas wilayah udara akan menghadapi tantangan masuk kembali (roket) tanpa kendali selama beberapa dekade mendatang,” tulis para peneliti.


Tag Terkait
Berita Terkait
Pesawat luar angkasa Starship milik Elon Musk meledak
Yang bakal terjadi saat asteroid menabrak bumi tahun 2182
Pecahan 'objek luar angkasa' besar jatuh di desa terpencil di Kenya
Pentagon menerima ratusan laporan penampakan UFO baru, ada aktivitas alien?

