close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seorang pekerja yang tertidur./Foto Pexels.com
icon caption
Ilustrasi seorang pekerja yang tertidur./Foto Pexels.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 13 November 2023 12:00

Risiko shift work sleep disorder bagi pekerja shift

SWSD adalah gangguan tidur yang memengaruhi seseorang yang bekerja pada jam-jam tak teratur, seperti shift malam atau jadwal yang dirotasi.
swipe

Kemajuan teknologi, meningkatnya jumlah tenaga kerja, serta meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan, makanan, dan transportasi membuat pekerja bergilir atau shift work semakin umum. Semakin banyak pekerja yang bekerja pada jam kerja yang tak normal karena beragam alasan tadi.

Dalam penelitian yang dilakukan Li Wang dan kawan-kawan dari Departments of Public Health di Xianjiang Medical University berjudul “Shift work is associated with an increased risk of type 2 diabetes and elevated RBP4 level: Cross sectional analysis from the OHSPIW cohort study” terbit di BMC Publik Health, Juni 2023 disebutkan, 20% hingga 30% pekerja penuh waktu di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang termasuk dalam pekerja shift. Angka ini, sebut Li Wang dan kawan-kawan, terus meningkat.

Pekerja-pekerja macam ini bisa memicu terjadinya gangguan shift work sleep disorder (SWSD). SWSD adalah gangguan tidur yang memengaruhi seseorang yang bekerja pada jam-jam tak teratur, seperti shift malam atau jadwal yang dirotasi. Menurut Malik Karman dalam situs Eachnight, hal itu mengganggu ritme sirkadian alami tubuh, menyebabkan insomnia dan kantuk berlebihan pada siang hari.

“SWSD dapat berdampak signifikan pada aktivitas sehari-hari dan kesehatan secara keseluruhan,” tulis Karman.

Dampak dan pengobatan

Ana Gotter dalam tulisannya di Health Line menyebut, selain rasa kantuk, ritme sirkadian atau jam biologis yang terganggu bisa memengaruhi kewaspadaan, suhu tubuh, tingkat hormon, dan nafsu makan. Di samping itu, dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, depresi, kecemasan, tidak berlebihan setelah periode tidur yang kurang, dan obesitas.

“Ini dapat menyebabkan kecelakaan dan perilaku berisiko, terutama bagi mereka yang mengoperasikan mesin berat,” tulis Karman.

Menurut Gotter, rasa kantuk yang berlebihan karena SWSD dipercaya menjadi penyebab kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl di Uni Soviet (sekarang Ukraina) pada 1986, kecelakaan PLTN di Pennsylvania di Amerika Serikat pada 1979, dan tumpahan minyak Exxon di Pantai Alaska di Amerika Serikat pada 1989.

“Oleh karena itu, gejala SWSD sebaiknya tak dianggap enteng,” tulis Gotter.

Riset Li Wang dan kawan-kawan menemukan, angka prevalensi T2DM (diabetes tipe 2) pada pekerja shift sebesar 6,56%, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pekerja biasa (4,21%). Selain itu, level RBP4 (retinol binding protein 4—adikopin yang berkaitan dengan diabetes melitus tipe 2) pekerja shift juga meningkat rata-rata 9,51 μg/mL (mikrogram per liter) dibandingkan dengan pekerja non-shift.

Dijelaskan lebih lanjut dalam riset Emerson M. Wickwire dari University of Maryland School of Medicine, Jeanne Geiger-Brown dari Stevenson University, Steven M. Scharf dari University of Maryland School of Medicine, dan Christopher L. Drake dari Henry Ford Hospital berjudul “Shift work and shift work sleep disorder” di National Library of Medicine, terbit Mei 2017, salah satu faktor yang memengaruhi SWSD adalah usia.

Riset menunjukkan, pekerja shift yang lebih tua mengalami lebih banyak kurang tidur dibandingkan pekerja shift yang lebih muda. Pekerja shift yang lebih tua kurang bisa beradaptasi dengan ritme sirkadian. Lalu, pekerja shift perempuan melaporkan kehilangan waktu tidur, rasa kantuk di siang hari, dan stres yang relatif lebih tinggi ketimbang pekerja pria.

“Dari perspektif kesehatan mental, pekerja shift mengalami lebih banyak penyakit psikiatri dan tekanan psikososial, termasuk depres, kecemasan, penyalahgunaan alkohol, dan kualitas hidup yang buruk,” tulis Wickwire dan kawan-kawan.

Meski begitu, gangguan SWSD akibat shift kerja agak sulit terdeteksi karena banyak kondisi lain mengarah perilaku serupa dengan SWSD, seperti insomnia, apnea tidur, dan efek samping obat.

Ada metode untuk mengenalinya, Menurut Gotter, untuk mendiagnosis apakah seseorang mengalami SWSD, dokter akan mengajukan serangkaian pertanyaan tentang pola dan gangguan tidur, serta jenis shift kerja seseorang. “Mereka (dokter) mungkin meminta Anda untuk membuat catatan (waktu) tidur selama setidaknya tujuh hari,” tulis Gotter.

“Anda juga kemungkinan besar akan ditanyai tentang riwayat medis dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi.

Akan tetapi, bukan berarti kita tak bisa mengatasi masalah SWSD. Di samping menghubungi dokter atau profesional terkait gangguan tidur, ada banyak hal yang bisa dilakukan.

Karman membeberkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk melawan gangguan tidur akibat shift kerja, antara lain menjaga jadwal tidur yang teratur, berhenti minum kafein empat jam sebelum tidur, makan makanan yang sehat, memasang tirai untuk menghalangi cahaya di runagan tempat kita tidur, dan menggunakan kacamata pelindung biru saat pulang ke rumah untuk membatasi paparan sinar matahari.

Lalu, usahakan punya dua hari libur berturut-turut setiap pekan untuk mengurangi stres, tidur siang kapan pun bila memungkinkan, menghindari perangkat digital yang terang setelah selesai bekerja, dan menggunakan earplug saat tidur untuk menghindari kebisingan.

Kemudian, meminum suplemen makanan seperti melatonin sebelum tidur, menggunakan lightbox agar terpapar cahaya terang sebelum bekerja, mengenakan penutup mata untuk menghalangi cahaya terang saat tidur, mengatur kamar tidur seperti menyingkirkan televisi agar tak menimbulkan gangguan, dan berbicara dengan atasan agar mereka bisa membantu meningkatkan kualitas tidur.

Selain segala usaha tadi, Karman menulis, aktif berolahraga secara teratur juga bisa dilakukan. Namun, masalahnya, jika seseorang sudah bekerja dengan pekerjaan fisik yang tinggi, menambah olahraga justru bisa membuat fisik terasa lebih lelah.

Terlepas dari itu, menurut Gotter, tak semua orang yang bekerja pada shift tak normal mengalami SWSD. “Banyak orang yang bekerja pada shift ini memiliki ritme sirkadian yang membuat mereka alami sebagai ‘night owl’ atau lebih nyaman pada malam hari, dan mereka dapat menghindari gangguan ini,” ujar Gotter.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan