close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Alinea.id/MT Fadillah
icon caption
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Alinea.id/MT Fadillah
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Selasa, 21 Januari 2025 06:10

Perkara antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan di balik klaim yang tertahan

Apa penyebab klaim BPJS Kesehatan oleh rumah sakit tertahan?
swipe

Sejumlah rumah sakit mitra BPJS Kesehatan mengalami klaim yang tertahan (pending claim), rata-rata melonjak sekitar 20% per September 2024. Hal ini ditengarai karena BPJS Kesehatan memperketat kelayakan klaim seiring adanya sistem verifikasi berbasis komputer. Akibatnya, beberapa rumah sakit terpaksa melakukan efisiensi buntut keuangan yang cekak.

Dikutip dari Tempo.co, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Pusat, Iing Ichsan Hanafi menyatakan, per Agustus 2024 dia menerima banyak keluhan dari rumah sakit yang klaimnya mandek di BPJS Kesehatan.

Kepada Tempo.co, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah menampik kondisi keuangan cekak karena melonjaknya angka pending claim itu. Menurut Rizzky, realisasi kondisi aset bersih Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan hingga 2024 sekitar Rp52 triliun.

Namun, Rizzky mengakui, BPJS Kesehatan memperketat verifikasi klaim yang diajukan rumah sakit. Pengetatan ini adalah tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Tim Pencegahan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) demi mencegah kecurangan atau fraud.

Anggota Komisi IX DPR dari fraksi Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago mengatakan, kelayakan klaim memang sudah seharusnya diperketat untuk menghindari klaim fiktif, yang banyak dilakukan rumah sakit nakal yang ingin mendulang keuntungan.

“Bayangkan selama ini pasien rawat inap tiap tiga hari disuruh pulang, Tiga atau empat hari bisa masuk lagi, banyak kasus seperti ini,” kata Irma kepada Alinea.id, Sabtu (18/1).

“Ada kenaikan tarif INA CBGs (Indonesia case base groups), ada kenaikan tarif kapitasi juga. Jadi memang klaim harus diperketat after kejadian ada klaim fiktif di Sumatera Utara.”

Sebagai informasi, pada Juli 2024 KPK dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap skandal klaim fiktif di dua rumah sakit di Sumatera Utara dan satu rumah sakit di Jawa Tengah untuk mendapat uang dari BPJS. Klaim fiktif itu menimbulkan kerugian negara puluhan miliar rupiah pada 2022-2023.

Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, akar persoalan BPJS Kesehatan memperketat kelayakan klaim untuk mencegah kecurangan adalah ada persepsi yang tidak sama dalam melihat kondisi kedaruratan pasien, yang perlu segera ditangani rumah sakit.

Pada banyak kasus, kata Timboel, ketika rumah sakit menangani pasien BPJS Kesehatan dalam kondisi darurat, klaimnya di kemudian hari tidak diterima karena setelah diverifikasi, BPJS merasa pasien tidak masuk kriteria yang harus ditangani instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit.

“Selama ini ada persepsi abu-abu antara pihak BPJS dengan rumah sakit, yang selama ini banyak dapat masukan saat pasien datang ke IGD kondisinya sudah parah, misalnya suhu tubuhnya masih 38 derajat. Terus ditangani. Data mengatakan, (suhu tubuh pasien) belum 39 (derajat Celsius), (maka) rumah sakit  mengatakan dia belum bisa dimasukan kategori gawat darurat,” ujar Timboel, Sabtu (18/1).

“Padahal pasien itu sudah tidak kuat. Rumah sakit mau nanganin, tapi tidak bisa diklaim.”

Kondisi yang tidak sepemahaman antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan dalam melihat pasien gawat darurat itu, menurut Timboel, sering kali membuat pihak rumah sakit merugi. Sebab, sudah telanjur memberi penanganan terhadap pasien. Namun, setelah diperiksa data, pasien tak masuk kategori darurat. Akhirnya rumah sakit dianggap melakukan kecurangan, sehingga klaim tidak dibayar.

Padahal, kata Timboel, dokter di rumah sakit memiliki intuisi dalam melihat kedaruratan. Perkaranya, bisa saja pasien suhu tubuhnya masih dianggap normal, tetapi ada kemungkinan jika dibawa pulang dan tak ditangani akan mengancam nyawa.

“Ini persoalan abu-abu, sehingga menciptakan posisi yang dituduh fraud. Akhirnya klaim tidak dijamin dan tidak dibayar,” ucap Timboel.

“Rumah sakit dan BPJS harus mengakhiri perselisihan dan masalah yang akhirnya klaim tidak dibayar.”

Timboel mengatakan, jika pasien BPJS Kesehatan sudah dalam kondisi gawat versi dokter rumah sakit, maka seharusnya BPJS Kesehatan menerima klaim tersebut. Sebab, bagaimanapun rumah sakit sudah mengedepankan asas keselamatan pasien.

“Harus ada mekanisme atau sistem yang pada saat pasien datang (ke rumah sakit) untuk bagaimana menyelamatkan pasien, bisa dipastikan JKN menjamin,” ujar Timboel.

“Kita tidak setuju ada fraud. Tapi sekarang, bagaimana ketika ada pasien masuk, dilayani. Kemudian rumah sakit klaim dibayar.”

Menurut Timboel, asosiasi rumah sakit, KPK, dan BPJS Kesehatan mesti duduk bersama dalam membuat kesepahaman yang adil untuk menentukan kriteria pasien yang mesti ditangani. Di sisi lain, tetap mengedepankan asas keselamatan pasien agar tidak merugikan masyarakat, serta tidak memberi peluang rumah sakit melakukan kecurangan yang merugikan keuangan BPJS Kesehatan.

“Kondisi pasien itu tidak bisa dilihat sekadar dari angka-angka,” tutur Timboel.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan