close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak-anak dan media sosial./Foto geralt/Pxabay.com
icon caption
Ilustrasi anak-anak dan media sosial./Foto geralt/Pxabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Minggu, 15 Desember 2024 06:10

Rumitnya membatasi akses media sosial bagi anak-anak

Australia melarang akses media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun. Apakah Indonesia bisa?
swipe

Akhir bulan lalu, pemerintah Australia menyetujui larangan akses media sosial bagi anak-anak berusia di bawah 16 tahun. Dikutip dari Reuters, undang-undang baru itu memaksa Meta—raksasa teknologi yang menaungi Facebook dan Instagram—hingga TikTok untuk membatasi anak di bawah usia masuk ke akun mereka, atau menghadapi denda hingga 49,5 juta dolar Australia atau setara 32 juta dolar AS. Uji coba aturan ini akan dimulai pada awal 2025.

Beberapa negara pun telah membuat aturan serupa. Di Jerman misalnya, secara resmi negara itu mengatur, anak di bawah umur antara usia 13 dan 16 tahun diizinkan menggunakan media sosial asal orang tua mereka memberikan izin.

Di Belgia, pada 2018 memberlakukan undang-undang yang mewajibkan anak-anak berusia minimal 13 tahun untuk membuat akun media sosial tanpa izin orang tua. Lalu di Italia, anak-anak di bawah usia 14 tahun memerlukan persetujuan orang tua untuk mendaftar akun media sosial.

Pemerintah Indonesia pun mulai menyoroti media sosial bagi anak-anak. Ketika bertemu Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid di Kementerian Komdigi, Jakarta, Senin (18/11), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Arifah Fauzi pun mengungkap, media sosial bukan lagi berbahaya secara umum, tetapi juga bagi perempuan dan anak-anak. Menurut Arifah, dari beberapa kasus yang sedang ditangani kementeriannya, masalah utamanya lantaran penggunaan media sosial yang tak cermat.

Menurut komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan, media sosial memiliki isi beraneka ragam, positif maupun negatif. Masalahnya, anak-anak belum dapat membedakan mana yang positif dan mana yang negatif.

“Seharusnya, anak-anak di bawah lima tahun tak boleh mengakses internet. Di atas lima tahun boleh, tapi dengan pengawasan yang ketat dari orang tua,” ujar Kawiyan kepada Alinea.id, Kamis (12/12).

Dia mengatakan, anak-anak memang punya hak untuk mengakses informasi. Namun, harus ada kepastian konten yang diakses positif dan mendukung tumbuh kembangnya.

Untuk mengatur soal media sosial bagi anak-anak, Kawiyan menjelaskan, saat ini tengah dibuat Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (TKPA SPE). Peraturan itu adalah kerja sama KPAI dengan Komdigi.

“(Sekarang) sedang dalam proses harmonisasi di sejumlah kementerian/lembaga. Saya berharap, Presiden Prabowo segera mengesahkan dan memberlakukan peraturan pemerintah tersebut,” ucap Kawiyan.

Sementara itu, pengamat media sosial dan pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengatakan, di Australia keputusan yang membatasi akses media sosial bagi anak-anak melibatkan pemerintah dan parlemen, yang di awali dengan fenomena anak-anak dan remaja sangat ketergantungan pada gawai.

Pemerintah Australia kemudian ingin mengembalikan kondisi tersebut ke sesuatu yang lebih “normal”. “Semacam ‘back to childhood’,” ujar Ismail, Selasa (10/12).

Di Australia metode penerapannya, kata dia, melibatkan dua pihak utama, yakni provider internet dan platform media sosial.

“Dari sisi provider, kebijakan ini baru akan diberlakukan secara penuh pada akhir 2025, sehingga mereka punya waktu untuk mempersiapkan infrastruktur dan sistem yang dibutuhkan,” tutur Ismail.

Ismail menuturkan, dari sisi infrastruktur, sebenarnya Indonesia tak jauh berbeda dengan Australia, yang sama-sama memiliki sistem digital yang terbuka. Dia bilang, tantangannya bukan pada infrastruktur.

“Melainkan pada sejauh mana pemerintah bisa menegakan aturan tersebut dan mendapatkan dukungan dari platform media sosial,” kata Ismail.

Dia menjelaskan, ada kesulitan dalam membatasi akses media sosial bagi anak-anak. Metode verifikasi usia saat pendaftaran akun, memang diterapkan platform media sosial. Namun, sering kali anak-anak memberikan informasi palsu.

Maka, platform harus memiliki sistem deteksi tambahan untuk memvalidasi data pengguna. Misalnya, kata dia, dari pola aktivitas atau konten yang diunggah, platform media sosial dapat melihat indikasi usia pengguna sebenarnya. Jika terbukti platform media sosial tidak mampu mendeteksi akun-akun palsu, maka akan dikenai sanksi.

“Intinya, tanggung jawab ada di platform untuk memastikan pengguna, sesuai aturan usia yang berlaku,” ujar Ismail.

Lebih lanjut, Ismail menegaskan, di Australia aturan mengatur media sosial untuk anak-anak didukung mayoritas orang tua. Meski ada beberapa kelompok yang menentang, dengan alasan hak asasi. Namun karena pemerintahnya tegas dan mendapatkan dukungan publik yang cukup, maka kebijakan itu tetap bisa dijalankan.

Sementara di Indonesia, tantangannya lebih kompleks. Menurut dia, harus dilihat apakah orang tua di Indonesia juga mendukung aturan pembatasan itu. Selain itu, perlu ada pendekatan yang jelas untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya kebijakan ini, demi kebaikan anak-anak.

“Tanpa dukungan dari masyarakat, kebijakan seperti ini sulit diterapkan,” ujar Ismail.

“Pemerintah juga harus memastikan adanya komunikasi yang baik antara semua pihak, mulai dari platform, penyedia layanan internet, hingga orang tua.”

img
Irene Anggraini
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan