RUU Permusikan dan para pelaku musik yang terusik
Sebanyak 200-an pelaku musik Indonesia menyatakan sikap menolak draf rancangan undang-undang (RUU) Permusikan. Mereka yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, di antaranya Rara Sekar, Danilla Riyadi, Jerinx, dan Marcel Siahaan. Di dalam koalisi ini tak hanya ada nama musisi. Produser, peneliti, dan manajer musik pun ikut bersuara.
RUU Permusikan memang sempat membuat beberapa musisi di tanah air buka mulut. Akhir Januari 2019 lalu, melalui akun Twitternya, drummer Superman is Dead (SID) Jerinx murka, dan mengecam Anang Hermansyah, yang duduk sebagai anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di dalam draf RUU yang sudah tersebar di media sosial beberapa hari belakangan, terdapat pasal yang mengatur kebebasan mencipta dan berkreasi, dan uji sertifikasi musisi, yang dianggap mengebiri para pelaku musik.
Proses penyusunan
Proses pembahasan RUU Permusikan sesungguhnya sudah dimulai sejak 30 Maret 2015. Saat itu, Komisi X DPR menggelar rapat dengar pendapat umum dengan perwakilan musisi. Pertemuan itu menjadi momentum dibutuhkannya RUU Permusikan, karena UU Hak Cipta dipandang tak memihak keberlangsungan industri musik.
Lantas, pada 12 April 2017, naskah RUU Permusikan diserahkan anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah kepada pimpinan Komisi X DPR.
Lalu, pada 7 Juni 2017, rapat dengar pendapat kedua digelar untuk membahas urgensi RUU Permusikan bagi pembenahan tata kelola industri musik. Musisi yang juga anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah mengatakan, Komisi X mendiskusikan secara terbuka, bersama sekitar seratus musisi.
“Fraksi-fraksi di DPR banyak memberi tanggapan saat itu,” kata Anang dalam acara diskusi bertajuk “Bedah Tuntas RUU Permusikan” di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2).
Diskusi tersebut diinisiasi musisi Glenn Fredly, selaku Ketua Komite Konferensi Musik Indonesia, dan difasilitasi Koalisi Seni Indonesia (KSI). Selain Glenn dan Anang, peneliti dari KSI Hafez Gumay juga menjadi narasumber diskusi ini.
Hasil pembahasan RUU itu lalu didiskusikan dengan sejumlah musisi, yang dipimpin langsung Ketua DPR Bambang Soesatyo. Kemudian, RUU Permusikan resmi masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2019 di parlemen.
“Dari 100-an rancangan undang-undang, RUU Permusikan ini ada di urutan nomor 38. Cukup cepat untuk dapat ditanggapi di DPR,” kata Hafez, dalam diskusi yang sama.
Hafeez Gumay menjelaskan, meski belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang musik, sesungguhnya selama ini telah ada beberapa peraturan yang memasukkan musik dalam ruang lingkup peraturannya, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dan UU Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Terima Karya Cetak.
Anang berdalih, gagasan RUU Permusikan merupakan upaya dia untuk mewadahi kebutuhan para musisi di tanah air. Hal ini terkait dengan pengamatannya selama ini sebagai penyanyi.
“Saya seniman musik, saya hidup dari profesi ini dan saya masih berkarya. Saya akan memperjuangkan profesi saya,” ujar Anang.
Anang kemudian mempersilakan Inosentius Samsul, selaku Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang untuk menjelaskan proses penyusunan sejumlah RUU, termasuk RUU Permusikan.
Menurut Inosentius, hingga sekarang RUU Permusikan masih terbuka untuk dibahas dan dirombak. Sebab, kata dia, naskah akademik RUU Permusikan bukan satu kebenaran yang mutlak.
“Kami membuka diri untuk berdiskusi dan memperbaiki terus naskah ini. Proses ini masih panjang, masih di tahap awal,” kata dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, misi RUU Permusikan adalah untuk menguatkan penerapan aturan untuk menjamin hak dan kewajiban pelaku musik. Hal itu, kata dia, diperlukan untuk mengejar ketertinggalan pengaturan industri musik tanah air.
Namun, Inosentius mengaku, RUU itu hanya menjahit dari ketentuan-ketentuan dalam UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, dan sebagainya. “Kita kumpulkan untuk memperkuat elemen RUU Permusikan itu,” katanya.
Terutama, kata Inosentius, untuk memperkuat hak cipta di bidang permusikan. Dalam proses penyusunannya, usai disepakati secara resmi sebagai RUU, kemudian Badan Legislasi DPR menyerahkan draf itu kepada Komisi X.
“Kemudian dibentuk panitia kerja yang mencakup perwakilan semua fraksi,” kata Anang.
Menurut Inosentius, RUU itu dibuat atas permintaan anggota DPR. Dia mengatakan, timnya hanya mengisi substansi dari RUU. Selanjutnya, ada uji konsep dan uji publik. Dia juga mengatakan, sebagai bentuk uji publik, pihaknya telah bertemu dengan perwakilan sejumlah perguruan tinggi dan praktisi musik.
Penyanyi Rara Sekar yang pernah tergabung dalam grup musik Banda Neira mengritik Anang dan tim Badan Keahlian DPR, yang dinilainya tak profesional. Menurut Rara, salah satu sumber yang diacu dalam draf RUU Permusikan, berdasarkan pembacaan Rara, hanya mencuplik tulisan dari blog seorang siswa SMA.
“Ini patut dipertanyakan karena tidak dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Saya rasa yang harus diuji kompetensi adalah Badan Keahlian DPR,” kata dia dalam sesi tanya jawab.
Sebanyak 200-an pelaku musik Indonesia menyatakan sikap menolak draf rancangan undang-undang (RUU) Permusikan. Mereka yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, di antaranya Rara Sekar, Danilla Riyadi, Jerinx, dan Marcel Siahaan. Di dalam koalisi ini tak hanya ada nama musisi. Produser, peneliti, dan manajer musik pun ikut bersuara.
RUU Permusikan memang sempat membuat beberapa musisi di tanah air buka mulut. Akhir Januari 2019 lalu, melalui akun Twitternya, drummer Superman is Dead (SID) Jerinx murka, dan mengecam Anang Hermansyah, yang duduk sebagai anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di dalam draf RUU yang sudah tersebar di media sosial beberapa hari belakangan, terdapat pasal yang mengatur kebebasan mencipta dan berkreasi, dan uji sertifikasi musisi, yang dianggap mengebiri para pelaku musik.
Proses penyusunan
Proses pembahasan RUU Permusikan sesungguhnya sudah dimulai sejak 30 Maret 2015. Saat itu, Komisi X DPR menggelar rapat dengar pendapat umum dengan perwakilan musisi. Pertemuan itu menjadi momentum dibutuhkannya RUU Permusikan, karena UU Hak Cipta dipandang tak memihak keberlangsungan industri musik.
Lantas, pada 12 April 2017, naskah RUU Permusikan diserahkan anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah kepada pimpinan Komisi X DPR.
Lalu, pada 7 Juni 2017, rapat dengar pendapat kedua digelar untuk membahas urgensi RUU Permusikan bagi pembenahan tata kelola industri musik. Musisi yang juga anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah mengatakan, Komisi X mendiskusikan secara terbuka, bersama sekitar seratus musisi.
“Fraksi-fraksi di DPR banyak memberi tanggapan saat itu,” kata Anang dalam acara diskusi bertajuk “Bedah Tuntas RUU Permusikan” di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2).
Diskusi tersebut diinisiasi musisi Glenn Fredly, selaku Ketua Komite Konferensi Musik Indonesia, dan difasilitasi Koalisi Seni Indonesia (KSI). Selain Glenn dan Anang, peneliti dari KSI Hafez Gumay juga menjadi narasumber diskusi ini.
Hasil pembahasan RUU itu lalu didiskusikan dengan sejumlah musisi, yang dipimpin langsung Ketua DPR Bambang Soesatyo. Kemudian, RUU Permusikan resmi masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2019 di parlemen.
“Dari 100-an rancangan undang-undang, RUU Permusikan ini ada di urutan nomor 38. Cukup cepat untuk dapat ditanggapi di DPR,” kata Hafez, dalam diskusi yang sama.
Hafeez Gumay menjelaskan, meski belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang musik, sesungguhnya selama ini telah ada beberapa peraturan yang memasukkan musik dalam ruang lingkup peraturannya, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dan UU Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Terima Karya Cetak.
Anang berdalih, gagasan RUU Permusikan merupakan upaya dia untuk mewadahi kebutuhan para musisi di tanah air. Hal ini terkait dengan pengamatannya selama ini sebagai penyanyi.
“Saya seniman musik, saya hidup dari profesi ini dan saya masih berkarya. Saya akan memperjuangkan profesi saya,” ujar Anang.
Anang kemudian mempersilakan Inosentius Samsul, selaku Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang untuk menjelaskan proses penyusunan sejumlah RUU, termasuk RUU Permusikan.
Menurut Inosentius, hingga sekarang RUU Permusikan masih terbuka untuk dibahas dan dirombak. Sebab, kata dia, naskah akademik RUU Permusikan bukan satu kebenaran yang mutlak.
“Kami membuka diri untuk berdiskusi dan memperbaiki terus naskah ini. Proses ini masih panjang, masih di tahap awal,” kata dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, misi RUU Permusikan adalah untuk menguatkan penerapan aturan untuk menjamin hak dan kewajiban pelaku musik. Hal itu, kata dia, diperlukan untuk mengejar ketertinggalan pengaturan industri musik tanah air.
Namun, Inosentius mengaku, RUU itu hanya menjahit dari ketentuan-ketentuan dalam UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, dan sebagainya. “Kita kumpulkan untuk memperkuat elemen RUU Permusikan itu,” katanya.
Terutama, kata Inosentius, untuk memperkuat hak cipta di bidang permusikan. Dalam proses penyusunannya, usai disepakati secara resmi sebagai RUU, kemudian Badan Legislasi DPR menyerahkan draf itu kepada Komisi X.
“Kemudian dibentuk panitia kerja yang mencakup perwakilan semua fraksi,” kata Anang.
Menurut Inosentius, RUU itu dibuat atas permintaan anggota DPR. Dia mengatakan, timnya hanya mengisi substansi dari RUU. Selanjutnya, ada uji konsep dan uji publik. Dia juga mengatakan, sebagai bentuk uji publik, pihaknya telah bertemu dengan perwakilan sejumlah perguruan tinggi dan praktisi musik.
Penyanyi Rara Sekar yang pernah tergabung dalam grup musik Banda Neira mengritik Anang dan tim Badan Keahlian DPR, yang dinilainya tak profesional. Menurut Rara, salah satu sumber yang diacu dalam draf RUU Permusikan, berdasarkan pembacaan Rara, hanya mencuplik tulisan dari blog seorang siswa SMA.
“Ini patut dipertanyakan karena tidak dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Saya rasa yang harus diuji kompetensi adalah Badan Keahlian DPR,” kata dia dalam sesi tanya jawab.
Menghambat kreativitas
Banyak ketakutan dari pelaku musik bila RUU Permusikan terbit menjadi undang-undang. Bagi Agus Teguh Prakosa Andarusman alias Sandy dari grup musik PAS Band, adanya ketentuan dalam RUU Permusikan sangat berpotensi menghambat kreativitas seniman dalam mencipta lagu.
Sandy merujuk pada Pasal 5 RUU Permusikan, yang menyebut larangan untuk membuat karya yang provokatif dan merendahkan martabat manusia.
“Kita sebagai seniman kan tanggung jawabnya sama diri kita dan Tuhan aja. Tuhan yang ngasih kita untuk mendengar, melihat, dan merasakan,” kata Sandy, ditemui setelah diskusi “Bedah Tuntas RUU Permusikan” di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2).
Dia mengatakan, jika ada karya lagu yang menyebutkan anggota parlemen mangkir dari tanggung jawab dan jabatannya, tentu itu bukan hal yang bersifat provokasi.
“Itu sebuah lagu. Janganlah menganggap itu sebagai sebuah provokasi. Tapi itu (refleksi) bahwa kalian (anggota DPR) memang buruk,” ujarnya.
Sedangkan untuk pasal terkait sertifikasi bagi musisi, Sandy memandang hal itu hanya diperlukan dalam penyelenggaraan pertunjukan tertentu. Terutama acara tertentu di luar negeri.
Dihubungi secara terpisah, musisi Galih Nugraha Su, yang namanya pun tertera di surat protes para pelaku musik Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan mengatakan, ada ancaman kebebasan berpendapat di RUU Permusikan.
Menurut vokalis grup musik folk Deugalih and Folks ini, UU Hak Cipta saja masih belum dilaksanakan dengan baik. “Sudah main jegal yang memaksa musisi tidak berkutik untuk menyalurkan ekspresi berkesenian dan beropini,” ujar Galih saat dihubungi, Senin (4/2).
Terkait ancaman bagi musisi, menurut Galih, antara lain tentang kendala hukum untuk kebutuhan dokumentasi musik dan pemasaran karya musik. Selain itu, ada aturan di dalam RUU Permusikan, yakni Pasal 18, yang mengharuskan pertunjukan musik melalui promotor yang punya lisensi dan izin usaha pertunjukan musik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, hal itu bisa membuat musisi tak lagi bisa mandiri dalam menentukan penyelenggaraan musik. “Ini bisa merugikan kolektif dan organisasi yang berkonsentrasi pada pemberdayaan masyarakat melalui musik,” kata Galih, yang juga berprofesi sebagai guru ini.
Sementara itu, peneliti dan jurnalis musik Idhar Resmadi menilai, persoalan mendasar RUU Permusikan adalah penggodokan naskah akademik yang menjadi materi RUU Permusikan. Dia menyebut, ada perbedaan pola pikir dalam ketentuan hukum RUU Permusikan dan kondisi industri musik tanah air.
Hal itu, kata Idhar, terlihat dari pasal-pasal “karet” dalam draf RUU Permusikan, seperti sertifikasi bagi profesi musisi, uji kompetensi, larangan muatan karya yang provokatif, dan penyelenggaraan acara musik.
“Negara ingin menstrukturalkan industri musik, tetapi di ranah musisi kita industri itu berjalan secara informal, komunal, dan bersifat kolektif antarpelaku di bidang musik,” kata penulis buku Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya (2019), ketika dihubungi, Senin (4/2).
Bahkan, RUU Permusikan pun mengancam para pengarsip musik, yang setiap hari bergelut dengan bau apek dokumentasi musik negeri ini. Arya T Anggara contohnya.
Dia memandang, RUU Permusikan belum menjangkau kebutuhan di bidang riset dan pengarsipan musik. Dia menyayangkan perhatian pemerintah yang sangat minim dalam menunjang penelitian karya musik.
Sebaiknya, kata Arya, RUU Permusikan sebenarnya bisa memuat kebijakan yang mendukung pengarsipan. “Misalnya, dikasih porsi atau tempat yang layak, penyediaan lembaga riset dan kelengkapannya, seperti lembaga-lembaga yang lain,” kata dia ketika dihubungi, Senin (4/2).
Selama ini, pengarsip asal Yogyakarta itu, berkutat meneliti arsip karya-karya musik, melalui majalah, buku, dan rekaman fisik secara mandiri.
Di sisi lain, Glenn Fredly melihat, perlu ada peninjauan atas isi usulan dalam RUU Permusikan. Meski banyak yang tidak dia setujui, menurutnya, tetap dibutuhkan aturan untuk mendukung kemajuan tata kelola industri musik yang mewadahi kepentingan musisi se-Indonesia.
“Selama ini kan masih berjalan sendiri-sendiri,” kata dia, dalam diskusi “Bedah Tuntas RUU Permusikan” di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2).
Sedangkan Direktur KSI Abduh Aziz memandang, pertemuan para pegiat industri musik di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, siang itu merupakan kesempatan untuk menimbang perlu tidaknya sebuah undang-undang untuk mengatur industri musik.
Dia menyarankan, rumusan RUU Permusikan juga dirombak ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan penataan dan pengelolaan yang menunjang kemajuan industri musik di era modern.
“Kalau UU Tata Kelola Industri (musik), misalnya, itu lebih jelas. Yang diatur tata kelola industrinya saja, misalnya hubungan antara perusahaan rekaman dengan penyanyi. Tapi bisa saja yang diperlukan bukan UU, melainkan peraturan pemerintah atau peraturan menteri,” ujarnya.