Lukman Hakim, 25 tahun, mengaku sudah bertemu dengan calon mertua untuk menyunting perempuan yang dia idam-idamkan. Namun, dia mengatakan, masih banyak hal yang menjadi kekhawatirannya. Misalnya, menjalankan peran sebagai pembimbing dalam rumah tangga dan menafkahi calon istrinya itu.
“Tentu masalah keuangan. Dengan situasi saya saat ini, belum settle secara keuangan, tentu khawatir,” kata Lukman kepada Alinea.id, Rabu (30/10).
“Persiapan untuk pernikahan, ya kuatin mental, pendanaan, dan saling memahami satu sama lain.”
Eva Nur, 25 tahun, juga sempat merasakan khawatir saat harus menjalani peran sebagai ibu dalam mengurus anak kelak. Sebagai anak terakhir dalam keluarga, dia tidak merasa pernah menjalankan peran untuk mengayomi. Belum lagi harus mengatur emosi, yang masih kurang dari harapan.
“Kalau kesiapan untuk menghilangkan kekhawatiran, kita berdua harus terbuka tentang apa yang lagi dirasa dan dialami, biar ketemu jalan tengahnya,” ujar Eva, Rabu (30/10).
Kekhawatiran itu kemungkinan berkorelasi dengan menurunnya jumlah pernikahan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, tahun 2023 pernikahan sebanyak 1.577.255. Turun sekitar 128.000 dibanding tahun sebelumnya, dan menjadi yang terendah dalam 10 tahun terakhir.
BPS pun mencatat, proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang berstatus menikah atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun pada 2023 sebesar 6,92 poin. Turun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 8,06 poin.
Menurut psikolog Diah Nurayu Kusumawardani, generasi Z kerap dibayangi dengan pikiran pragmatis. Dia mengatakan, generasi Z tidak berpikir untuk menikah karena prioritas mereka adalah perkembangan personal dan kemampuan secara finansial.
Secara khusus, kata Diah, perempuan di kalangan generasi Z khawatir untuk menikah karena terkait kebebasan saat lajang. Independensi mereka seakan terenggut.
“Padahal, masih ingin jalan-jalan maupun nongkrong,” kata dia, Rabu (30/10).
Sementara untuk laki-laki, Diah melihat, ada kekhawatiran soal ketidakcocokan yang bisa berujung pada perceraian dan tidak bisa lagi melakukan hobi yang selama ini digemari.
Di sisi lain, muncul anggapan minimnya pria mapan dan banyaknya perempuan mandiri, yang menyebabkan pernikahan menurun. Padahal, menurut Diah, bukan hanya soal itu. Namun, informasi yang sangat terbuka saat ini, sering kali membentuk pola pikir mereka terkait pernikahan.
“Nah, dari informasi yang didapatkan mereka, menciptakan standar dan akhirnya mereka cenderung lebih selektif. Karena mungkin mereka juga ada beberapa yang melihat rekam jejak pernikahan orang tuanya atau mungkin saudara-saudaranya,” tutur Diah.
Terpisah, psikolog klinis A. Kasandra Putranto menilai, ada perubahan peran gender lantaran perempuan banyak terlibat dalam dunia kerja dan pendidikan. Masyarakat pun semakin menerima kondisi ini. Apalagi banyak pria yang dilihat sulit mencapai kestabilan finansial, dengan maraknya pengangguran, kurangnya kesempatan kerja, dan labilnya kondisi ekonomi.
Segala kondisi tadi membuat perempuan mandiri semakin meninggikan level saat mencari pasangan agar sama atau lebih tinggi darinya. Dengan meningkatnya kemandirian perempuan, kata dia, hubungan romantis juga mengalami perubahan. Banyak perempuan yang lebih memilih tidak bergantung pada pria secara finansial.
“Banyak generasi muda, terutama generasi Z, lebih memprioritaskan pencapaian stabilitas finansial, sebelum memasuki pernikahan. Mereka merasa perlu untuk mandiri secara ekonomi, sebelum berbagi hidup dengan orang lain,” kata Kasandra, Selasa (29/10).
Karenanya, Kasandra pun menyarankan, ketika ditanya kapan menikah oleh keluarga, sebaiknya tetap tenang dan jangan tersinggung, dengan mengendalikan emosi serta menjaga suasana positif. Anak muda juga harus menetapkan prioritas untuk pencapaian pribadi maupun hobi, serta bisa mengabaikan pendapat orang lain.
“Bila dalam keadaan tertekan, bisa berbicara dengan orang terdekat agar mendapatkan dukungan emosional serta membangun hubungan yang kuat,” ucap Kasandra.
Selain itu, bisa pula menjawabnya dengan humor atau sikap jujur. Meski pertanyaan tersebut dapat membuat tidak nyaman.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Tuti Budirahayu mengatakan, fenomena penurunan pernikahan dan generasi Z yang khawatir menikah karena mereka berada dalam kondisi “generasi sandwich”. Mereka harus menanggung beban ekonomi orang tua maupun adik-adiknya.
“Ada juga karena ketakuran dalam kehidupan yang tidak harmonis,” ujar Tuti, Rabu (30/10).
Di samping itu, kata Tuti, mereka lebih menyukai kebebasan dan kemandirian. Mereka cenderung tidak mau terikat dalam hubungan yang permanen. Saat ini, generasi muda pun lebih mementingkan karier dan pendidikan, dengan harapan lebih aman untuk melangkah ke jenjang berikutnya.
Dia melanjutkan, jika dahulu generasi yang lebih tua percaya menikah adalah salah satu pintu membuka rezeki, maka generasi muda kini punya pemikiran yang berbeda.
“Persepsi pernikahan bagi generasi muda dianggap sebagai hal yang bukan menjadi prioritas utama dalam kehidupan mereka,” kata Tuti.