

Sabung ayam di masa silam

Tiga orang polisi tewas ditembak di Kabupaten Way Kanan, Lampung, saat melakukan penggerebekan di lokasi judi sabung ayam pada Senin (17/3). Kasus itu diduga melibatkan dua oknum anggota TNI. Sejauh ini, polisi baru menetapkan seorang sipil berinisial Z sebagai tersangka.
Sabung ayam sudah menjadi budaya dan tradisi sejak dahulu di Nusantara. Sejarawan Asia Tenggara Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin (2014) menulis, di acara-acara hiburan kerajaan, tempat khusus diberikan untuk perlombaan hewan. Tidak satu pun pesta besar di kerajaan-kerajaan di Jawa, Aceh, Siam (sekarang Thailand), dan Birma (sekarang Myanmar) tanpa pertarungan antargajah, harimau, kerbau, atau hewan lain yang lebih kecil.
“Di tiap kota kecil dan pasar, sedikitnya diadakan acara sabung ayam untuk memeriahkan setiap pesta,” tulis Reid.
Reid mengatakan, di masa pra-Islam di Jawa dan Bali, sabung ayam kerap memiliki makna keagamaan dan merupakan bagian penting dalam pesta keramaian candi, penyucian, dan ziarah. Darah dari ayam yang disabung dianggap sebagai korban untuk menyenangkan para dewa.
Menurut Reid, dalam berbagai catatan tentang negara yang masih dikuasai monarki yang kuat, menunjukkan suatu pola di mana kerajaan mengatur dan memimpin banyak perjudian besar, terutama dalam hal adu hewan. Pengawasan atas acara-acara seperti ini oleh kerajaan, tulis Reid, mungkin sudah mengendur pada abad ke-18, sehingga para pengunjung belakangan menyaksikan suatu pola perlombaan yang lebih tetap dan spontan.
“Acara sabung ayam yang berlangsung setiap sore di Sulawesi bagian tengah abad ke-18 pastilah tidak akan berlaku di bawah raja-raja yang lebih kuat di Jawa, Thailand, Birma, atau Aceh,” tulis Reid.
Di masa itu, menurut Reid, judi sabung ayam paling populer karena nalar yang kemungkinan terkait dengan kuatnya identifikasi ayam jantan dengan ego laki-laki.
Keramaian pasar taruhan, kata Reid, tidak terutama didorong keinginan untuk menang besar, melainkan oleh keinginan mengidentifikasikan diri dengan kelompok keluarga, golongan, atau dewa pemilik ayam sabungan.
Seiring waktu, karena alasan yang berbeda-beda, semua sistem agama di Asia tidak berkenan terhadap acara sabung ayam. Namun, meski Islam jelas-jelas menentang perjudian, tetapi tak banyak raja dalam kurun niaga (1400-an hingga 1600-an) yang memilih menafsirkan larangan ini mencakup praktik sabung ayam.
“Sultan Ala’ad-din Perak dari Aceh memang melarang orang menyabung ayam dan minum minuman keras di tahun 1580-an, tapi hal itu dibangkitkan kembali secara besar-besaran oleh para penggantinya, termasuk Sultan Iskandar Muda, walau raja besar ini digambarkan secara kurang tepat oleh seorang ahli teologi Islam sebagai melarang perjudian,” tulis Reid.
Dia juga menyebut, seorang sultan di Jawa pada 1801 jelas-jelas mengecualikan tiga bentuk permainan yang paling populer di Jawa, yakni sabung ayam, sabung burung, dan adu kemiri dengan suatu ketetapan yang melarang perjudian.
“Pada praktiknya, beberapa tindakan kompromi yang sama agaknya telah dilakukan raja-raja Muslim lainnya,” kata Reid.
Dalam buku The History of Java (1910), Letnan Gubernur Inggris di Hindia Belanda, 1811-1816, Sir Thomas Stamford Raffles mengatakan, adu ayam di kalangan masyarakat sangat lazim. Di beberapa daerah, terutama di kalangan orang Melayu, tulis Raffles, hal itu menjadi sumber hiburan.
Antropolog asal Amerika Serikat Clifford Geertz dan istrinya pada awal April 1958 datang ke sebuah desa di Bali untuk mempelajari tradisi sabung ayam. Dalam esainya “Deep play: Notes on the Balinese cockfight” yang dimuat di Daedalus (1972), Geertz mengatakan, sabung ayam tak ubahnya menjadi simbol maskulinitas bagi kebanyakan laki-laki Bali.
Saat itu, menurut Geertz, sabung ayam ilegal di Bali—dan mungkin juga di daerah lain di Indonesia. Para elite, kata Geertz, ketika itu khawatir dengan petani yang miskin dan bodoh yang mempertaruhkan semua uangnya, tentang pemborosan waktu yang seharusnya lebih baik digunakan untuk membangun negara. Mereka memandang, sabung ayam sebagai sesuatu yang primitif, ketinggalan zaman, tidak progresif, dan secara umum tak pantas bagi bangsa yang ambisius.
Namun, meski dilarang, sabung ayam tetap saja berlangsung. Di sisi lain, polisi merasa perlu untuk menggerebek, menyita ayam, mendenda beberapa orang, dan bahkan terkadang menjemur beberapa dari mereka di bawah terik matahari selama sehari.
“Akhirnya, sabung ayam biasanya diadakan di sudut tersembunyi sebuah desa dengan semi-rahasia,” tulis Geertz.
Kini, ada beberapa aturan hukum soal sabung ayam yang disertai perjudian. Misalnya, Pasal 303 KUHP dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, yang menyebut ancaman hukuman penjara hingga 10 tahun atau denda bagi pelakunya. Lalu di dalam Pasal 426 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP semakin memperkuat larangan perjudian dan menegaskan ketentuan bagi pihak yang memberikan fasilitas perjudian, termasuk sabung ayam, dengan ancaman hukuman hingga sembilan tahun. Akan tetapi sabung ayam yang dilakukan sebagai bagian dari upacara adat, tanpa unsur perjudian, tidak dilarang.


Berita Terkait
Ratusan jejak kaki dinosaurus ditemukan di ‘jalan raya dinosaurus’
Kupu-Kupu Kertas dan apa yang terjadi dengan PKI di Banyuwangi?
Paus Paulus VI singgah sebentar di Jakarta
Kultur tuli Hindia Timur

